UMAT Islam di abad modern ini sedang melewati fase goncangan dan kemunduran di titik nadir akibat akumulasi ratusan tahun keterpurukan.
Sampai- sampai orang yang paling pesimis dalam barisan umat Islam tidak percaya bahwa akan sejauh ini dekadensi itu.
Goncangan yang menimpa umat; musibah yang bertubi-tubi menerjang, ujian-ujian yang mematahkan, kejadian-kejadian yang cepat dan sporadis menggetarkan eksistensinya, semua ini menyebabkan trauma yang mendalam dalam diri umat Islam dan ketakutan yang ekstrem.
Rasa takut ini berhasil menciutkan mental umat Islam, melumpuhkannya, menjatuhkan panji-panjinya, menggoyang keyakinannya, dan mengubah kesatuan menjadi perpecahan dan perselisihan berkepanjangan.
Dan yang lebih menyakitkan dari goncangan ini adalah hilangnya Qiyadah (kepimpinan) ‘Alamiyah Islam, lenyap ia bersama gelapnya fitnah dan pertempuran; sempoyongan umat berjalan menahan serbuan musuh dari segala penjuru, sampai sampai umat ini berteriak dengan kuat: Dimana pemimpin kami, siapa yang menyelamatkan kami, dimana jalan keluar, ‘Apakah masih ada harapan?’.
Dalam kondisi seperti ini, ada di antara kaum Muslimin yang mencari jalan keluar dengan menghibur diri dalam khayalan dan mimpi, waktunya habis dalam angan-angan dan ilusi.
Sebagian yang lain menunggu kapan datang Imam Mahdi mengubah keadaan negeri, mereka melupakan asbab (sebab-sebab), yang ada dalam pikiran mereka bahwa Al-Masih Dajjal pasti akan melumat dan menghabisi.
Sebagian yang lain; asyik ‘bernyanyi’ dengan masa lalunya. ‘Dulu kami…, dulu kami…’. Akhirnya habis waktu untuk melempar tuduhan-tuduhan kepada selain dari komunitasnya, atau yang tidak sependapat dengannya.
Ada juga yang merasa sudah tidak punya harapan, bahkan mereka sudah “kafir” dengan istilah harapan itu, bagi mereka; tidak ada cahaya kebaikan, habis mereka digerogoti dengan penyakit putus asa.
İni belum termasuk umat Islam yang salah memilih jalan, mereka menganggap bahwa pembunuhan dan kekerasan adalah satu-satunya jalan kebahagiaan. Membunuh atau bunuh diri. Tidak ada dalam kamus mereka bahwa umat Islam itu Rahmatan Lil Alamin, kasih sayang untuk semesta alam.
Macam-macam corak pikiran umat Islam yang disebutkan di atas kelihatan aneh, namun yang lebih aneh dan ajaib adalah, ada di antara umat Islam yang tidak sadar bahwa sekarang agamanya sedang digoncang, tidak ada zalzalah (goncangan) itu menurut mereka.
Mereka lupa bahwa Allah Subhanahu wa Taala sudah memproklamirkan dalam Al-Quran:
(أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah.” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).
Saudaraku -semoga Allah merahmati, bahwa ujian dan goncangan adalah ketetapan dan Sunnah Rabbaniyah yang tidak berubah dan tergantikan.
Keberhasilan melewatinya adalah indikasi sukses meniti jalan ke Surga. Al-Qur’an menganggap aneh pikiran-pikiran yang menganggap Surga itu mudah diraih tanpa ujian sebagaimana ummat terdahulu.
Umat Islam yang tidak faham akan realita ini, akan mudah ditimpa kebimbangan dan kegelisahan. Mereka akan hilang keseimbangan bahkan akan merubah titik tolak dalam perjalanan ini.
Para Sahabat -semoga Allah meridhoi – telah melewati goncangan ini sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an, yaitu pada Perang Ahzab, dimana goncangan kepada mereka bukan sebatas ketakutan maknawi semata, melainkan ketakutan yang merasuk tubuh dan dirasakan secara zahir.
إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيداً
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat dahsyat.” (QS: Al-Ahzab: 10-11).
Potongan akhir ayat ini mengabarkan bahwa goncangan ini berhasil menggetarkan hati mereka, menguji ketangguhan iman mereka. Ujian yang begitu berat menampakkan wajah sejati pejuang kebenaran dan wajah orang orang yang belum meresap keimanan dalam sanubari.
{لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا} [الأحزاب: 60، 61]
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik; Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS: al Ahzab: 60-61)
Ikhwah sekalian, apa yang menimpa mereka kemudian terulang kembali. Ujian itu persis menimpa umat Islam hari ini.
Di mana Allah? Kenapa Allah “rela” ketika agamanya dihina? Umatnya dibantai? Kenapa Allah tidak memberi karomah dan mukjizat-Nya? Kenapa Allah tidak menghabisi semua musuh-musuh-Nya? Kenapa…. kenapa…. Pertanyaan seperti ini sering terlontar di setiap dada umat Islam.
Sebenarnya teriakan ini menggambarkan kualitas tauhid kita, seakan-akan iman kita adalah iman bersyarat. “Kami beriman jika tidak ada ujian, kami beriman tanpa perlu penyaringan, kami beriman dengan syarat jauh dari gangguan; kami beriman namun harus terealisasi semua keinginan dan harapan.”
Inilah fakta, kita belum menyadari bahwa perjuangan itu maknanya adalah perjuangan.
Jalan Islam ini -sebagaimana jalan para penyeru kebaikan sepanjang sejarah- tidak mudah dan asyik-asyik saja. Kadang ia berjalan manis, sebaiknya justru dipenuhi dengan kendala dan kesulitan.
Jalan ini panjang lagi berat, berdiri di atas kesungguhan dan pengorbanan; berhamparkan duri, peluh, dan darah. Menuntut kesabaran, ketegaran, dan dedikasi penuh untuk Allah Subhanahu wa Taala.
Kewajiban kita adalah memahami realita ini. Mengerti tabiat musuh dan pertempuran kita sebenarnya. Musuh menginginkan agar umat Islam gagal memahami Zalzalah dan ujian ini serta hilang At-Siqah (sikap percaya diri) dalam diri mereka. Dan akhirnya mereka kehilangan harapan dan asa.
Mari kita kembali belajar, agar tabir Zalzalah ini terbuka dengan jelas. Dan yang terpenting lagi, kewajiban kita adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla secara total dan bersandar hanya kepada-Nya, dengan berdoa dan berusaha -sebagai bentuk Akhzu bil asbab- dengan penuh kesabaran.*/Muzhirul Haq, Ketua Komunitas el-Fatah Balikpapan, anggota PENA, kuliah di Istanbul, Turki