Oleh: Inggar Saputra
DALAM Islam, kisah Nabi Ibrahim yang diminta Allah memberikan Qurban yakni anaknya Ismail, yang sangat dicintainya adalah sebuah peristiwa bersejarah yang tak dapat dilupakan kaum Muslimin.
Bagaimana tidak, ketika pisau sudah siap di ujung leher Ismail yang sholeh, Allah menggantinya dengan seekor kambing.
Sungguh sebuah kejadian yang mengguncang jiwa, tapi meninggalkan sebuah pesan cinta agar manusia selalu siap menaati perintah-Nya.
Melalui peristiwa itu, Allah juga secara nyata memberikan sebuah model pendidikan karakter dan spiritual yang indah, yakni semangat kerelawanan, ketulusan, ketaqwaan dan keikhlasan untuk generasi pasca Ibrahim dalam menegakkan perintah Allah Subhanahu Wata’ala .
Untuk umat Islam, Qurban yang rutin dijalankan setiap Hari Raya Idul Adha datang juga menyimpan pelajaran berharga. Pelajaran yang dimaksud yakni semangat berqurban bukan hanya menyembelih seorang sapi, kerbau, kambing atau unta, melainkan bagaimana qurban menjadi sebuah momentum mendekat Allah dan mensyiarkan agama Islam di muka bumi.
Secara tegas, menyembelih hewan qurban adalah hari kemenangannya manusia yang bertauhid yang menjalankan perintah Allah dengan menyelisihi kaum musyrikin dalam peribadahan dan penyembelihannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al Hajj : 34)
Sedangkan jika dipandang dalam perspektif pendidikan karakter, perintah berqurban meninggalkan beberapa hikmah mendalam untuk generasi kini dan mendatang.
Pertama, qurban bertujuan mendidik keimanan dan ketaqwaan seorang Muslim kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Wujud keimanan adalah kepasrahan total atas perintah Allah serta siap menerima ujian yang diberikan dengan penuh kesabaran. Ketika dua hal itu, pasrah dan sabar sudah mampu diinternalisasikan dalam kepribadian seorang Muslim, dirinya akan mudah menjadi pribadi yang bersyukur atas segala kebaikan dan kelebihan baik material maupun immaterial yang diberikan Allah.
Sahabat tentu dapat membayangkan bagaimana kepasrahan dan kesabaran hadir dalam kehidupan Ibrahim dan putranya, Ismail. Ketika Allah secara tegas memanggilnya untuk menjalankan mimpi untuk menyembelih putranya, tanpa ragu Ismail meminta sang ayah menjalankan perintah tersebut. Ibrahim pun dengan sabar melaksanakannya yang kemudian mendapatkan pujian dari Allah sebagai manusia beriman yang mampu berbuat baik dalam menerima ujian yang diberikan. Pada akhirnya, Allah meminta umat sesudah Ibrahim menjalankan tradisi agung berqurban kambing, sapi, kerbau atau unta.
Kedua, menumbuhkan empati kepada kalangan yang secara materi tak mampu seperti kalangan fakir, miskin, anak yatim dan dhuafa. Menjalankan perintah qurban bagi seorang Muslim, sama dengan mengikuti keteladanan sosial Ibrahim.
Dan berbahagialah jika kita termasuk manusia yang mampu menciptakan empati kepada sesama manusia, sebab Allah menjamin kebaikan tanpa batas di dunia dan akhirat. Dapat dibayangkan, pahala ganda menanti setiap Muslim yang berqurban yakni setiap penerima hewan qurban akan mendoakan kebaikan dalam hidup orang yang berqurban, Allah pun memberikan ganjaran pahala dan jaminan syurga di akhirat kelak.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Mumtahanah : 6)
Dengan demikian, kisah Ibrahim dan Isma’il ini jika direnungkan secara mendalam memberikan nilai-nilai kebaikan seperti Muslim (berserah diri), mu’min (komitmen dan amanah), hanif (lurus, jujur dan benar), qanit (tunduk, loyal dan taat asas), shalih (baik, patut),shiddiq (jujur, benar), halim (santun, lembut, cerdas, dewasa), syakir (berterima kasih, apresiatif), awwah (berintrospeksi diri, terus berada di jalan yang benar), munib (kembali ke jalan yang benar, mengikuti suara hati nurani) dan khalil (kasih sayang).*
Penulis peminat masalah keagamaan