Hidayatullah.com | SALAH satu misi dalam membangun sebuah keluarga adalah menjalankan peran dakwah dan kepemimpinan umat. Berumah tangga bagi seorang muslim tidak hanya didasari sebuah kebutuhan fitrah untuk hidup berpasangan melalui pernikahan, lebih dari itu, bagian penting yang tidak terpisahkan dari ibadah dan dakwah.
Melalui peran dakwah ini akan turut mengantarkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah (samara) sehidup di dunia dan sesurga di akhirat. Tanpa dakwah ini dapat menyebabkan sebagian anggota keluarga ‘tercecer’ tidak ikut dalam rombongan bus yang menuju ke surga. Atau, tertinggal dalam jangka waktu tertentu, baru kemudian sampai ke surga.
Langkah yang dilakukan membangun keluarga menjadi keluarga muslim dan membawa misi Islam ke dalam lingkup keluarga. Kemudian menyebarkan kepada sanak keluarga, dimulai dari yang terdekat.
Itulah cara yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ ketika memulai berdakwah;
وَاَنۡذِرۡ عَشِيۡرَتَكَ الۡاَقۡرَبِيۡنَۙ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS: Asy-Syu’ara [26]: 214).
Untuk menjadikan keluarga sebagai tempat kaderisasi dakwah, setiap anggota keluarga harus menyadari bahwa mereka terlahir sebagai pejuang kebenaran yang memiliki kewajiban untuk saling memberikan nasihat, mengajak pada kebaikan, dan mencegah kemunkaran. Lihat dalam Al-Quran surat Ali-Imran [3] ayat 110 dan surat At-Taubah [9] ayat 71.
Setidaknya tiga pilar dalam upaya menjadikan keluarga sebagai ladang dakwah.
Pertama, ibadah (al-ibadah)
Keluarga yang dibangun harus menjadi teladan bagi keluarga lainnya dan masyarakat pada umumnya dalam menunaikan aktifitas ibadah. Ibadah menjadi sumber energi bagi dai dalam menjalankan kewajiban dakwah. Karena ibadah sebagai misi dari diciptakannya manusia (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56).
Kedua, ilmu (al-ilm)
Ilmu yang terpenting diajarkan dalam keluarga adalah ilmu mengenal Allah dan jalan menuju kepada-Nya, sebab dakwah adalah menjadi teladan bagi orang lain (umat) maka keluarga dakwah harus selalu berupaya dekat dengan-Nya.
Dari Mu’awiyah RA, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, ekonomi (al-iqtishad)
Tidak sedikit keluarga bercerai karena alasan ekonomi yang tak tercukupi. Bekal lain yang dibutuhkan oleh keluarga dakwah adalah kecukupan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Jika ekonomi keluarga dakwah terpenuhi maka dai akan dapat lebih konsentrasi dan semangat menjalankan aktifitas dakwah.
Pun setiap anggota dalam keluarga dakwah hendaknya memahami hal-hal yang berkaitan dengan urgensi dakwah sehingga siap menjadi pejuang dakwah. Di antaranya;
Pertama, memahami bahwa dakwah itu bukan pilihan, namun kewajiban. Dakwah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.
Tidak ada alasan untuk tidak menunaikan kewajiban dakwah. Hal ini tampak dari perintah menyampaikan (dakwah) meskipun satu ayat. Rasanya, tidak ada seorang muslim pun yang tidak menerima atau memahami satu ayat.
Kedua, memahamkan pentingnya dakwah. Pemahaman ini akan menjadi motivasi untuk terlibat dalam dakwah. Keluarga harus paham bahwa dakwah bukan hanya dibutuhkan oleh pelaku dakwah, namun juga diperlukan untuk kelanjutan kehidupan manusia.
Tanpanya, manusia akan jauh dari kebenaran, dan tersesat di jalan yang menjerumuskan pada kesengsaraan hidup di dunia dan di akhirat kelak. (Q.S. Ali Imran [3]: 85).
Ketiga, memahamkan keluarga tentang janji Allah bagi pejuang dakwah. Berbagai kebaikan akan didapatkan sebagai buah di aktivitas dakwah. Pengemban dakwah digelari sebagai orang dengan sebaik-baiknya perkataan (Q.S. Fushshilat [41]: 33).
Keempat, melibatkan keluarga dalam aktifitas dakwah. Dengan memahami pentingnya dan kewajiban dakwah bagi setiap muslim, anggota keluarga bisa dilibatkan untuk mengikuti berbagai aktifitas dakwah di masyarakat sebagai sarana untuk pematangan diri agar siap memikul tanggung jawab dakwah. Misalnya, dilibatkan dalam kepanitiaan peringatan hari-hari besar Islam.
Kelima, membuka pintu langit dengan doa. Manusia wajib berusaha, namun jangan lupa manusia punya keterbatasan. Maka, perbanyak doa agar Allah SWT melimpahkan kesabaran dan keistikamahan kita dalam mengajak keluarga ke jalan dakwah, melancarkan lisan kita dari kekakuan dalam berbicara, melembutkan hati dan membuka pikiran keluarga untuk siap menerima tanggung jawab dakwah.
Semoga Allah membimbing keluarga kita kaum muslimin agar dapat memerankan dakwah dalam keluarga sehingga bisa melahirkan kader dakwah, berkontribusi untuk umat, dan dapat reuni di surga-Nya. Amin.*/H. Imam Nur Suharno, Pengurus Korps Mubaligh Hunsul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat