BELAKANGAN publik geger dengan berita gemparnya seorang pendiri padepokan di Probolinggo, Jawa Timur yang dipercayai memiliki kesaktian untuk melipatgandakan uang dan memunculkan sejumlah harta atau perhiasan. Sosok itu adalah Taat Pribadi.
Kini, Taat Pribadi telah ditahan kepolisian. Dia dituduh melakukan penipuan uang dan pembunuhan santrinya. Ada sejumlah modus penggandaan uang yang dilakukan. Salah satu modusnya, para pengikut padepokan tersebut diberi peti ajaib berukuran kecil seperti kotak amal. Modus lainnya adalah pengikutnya menyerahkan mahar sejumlah uang jutaan rupiah dan membaca amalan atau wirid. Ribuan pengikut Taat tersebar di seluruh Indonesia. Mereka bukan hanya masyarakat biasa, bahkan tokoh nasional ada yang menjadi pengikut Taat.
Kasus ini pun menarik, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur untuk angkat bicara. Menurut Katib Syuriah PWNU Jatim Syafrudin Syarif di sela pertemuan Lembaga Takmir Masjid (LTM) NU dan Ketua Takmir Masjid se-Jatim di Surabaya, Taat Pribadi merupakan penipu yang menggunakan agama untuk meraih kepercayaan masyarakat. Aksi penggandaan uang yang digembar-gemborkan selama ini juga hanya trik penipuan saja.
Rasanya, begitu miris menyaksikan pemberitaan di media terkait banyaknya korban yang tertipu oleh aksi Taat pribadi. Terlebih, ia menggunakan kedok agama untuk memuluskan perbuatannya tersebut. Meskipun, kini ia telah ditahan oleh pihak kepolisian, namun aksi peniupan ini telah menyebar luas ke berbagai level masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Kalau sudah begini, bagaimana dengan nasib dari korban penipuan yang sudah kehilangan banyak hartanya?
Jika kita rinci dengan seksama kita dapat menilai bahwa kasus ini merebak luas disebakan karena 3 hal:
Pertama, rusaknya aqidah individu umat akibat sistem sekulerisme.
Aqidah atau keimanan yang rusak akan membuat manusia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan duniawi, sekali pun cara tersebut tidak rasional. Hal tersebut membuat manusia tidak lagi takut terhadap larangan Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam kasus ini, manusia sudah tidak lagi memiliki pegangan hidup karena sudahbjauh dari agama. Ini mengakibatkan mereka lebih percaya terhadap hal-hal ghaib untuk mendapatkan keuntungan tanpa susah payah bekerja. Apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang tersebut adalah perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan dosanya amatlah besar.
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Siapa saja yang mendatangi seorang peramal, lalu dia bertanya kepada dukun itu tentang suatu hal, maka shaltanya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim).
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapa saja yang mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu membenarkan apa yang dikatakan dukun atau paranormal itu, maka dia telah kafir terhadap apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.” (HR. Ahmad).
Kedua, lemahnya kepekaan dan kepedulian masyarakat. Masyarakat memiliki peran yang cukup urgent dalam menjalankan fungsi sebagai kotrol terhadap segala aktivitas yang terjadi di wilayah tersebut.
Masyarakat seharusnya tidak membiarkan perbuatan syirik merebak di masyarakat. Bila ketahuan ada tindakan tersebut harus segera melapor kepada penguasa setempat agar segera ditindaklanjuti.
Akan tetapi, karena racun sekulerisme yang sudah merebak, bukan hanya pada tataran individu saja, akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi kontrol masyarakat. Bukannya mencegah, justru malah ikut-ikutan menjadi pendukung perbuatan syirik. Kriminalitas berupa penipuan oleh Taat Pribadi dengan berkedok agama memang cocok dengan kondisi masyarakat yg keimanannya minim, cenderung mabuk harta, menghalalkan segala cara untuk tujuannya, dan mudah terpengaruh budaya syirik dan khurafat.
Ketiga, adalah hilangnya perisai utama dari negara. Negara sebagai pemilik kekuatan terbesar seharusnya melakukan perlindungan dan penjagaan terhadap kemurnian aqidah umat. Namun, dalam dekapan sistem sekulerisme, yang terjadi justru sebaliknya. Negara malah membiarkan praktik perdukunan dan paranormal berkembang. Padahal inilah yang mejadi jalan untuk menciptakan kondisi kesyirikan di masyarakat.
Inilah dampak sekulerisme yang masih eksis hingga sekarang. Hal inimengakibatkan kebebasan berpikir, bertingkah laku, rusaknya aqidah serta hilangnya penjagaan Negara sejak dini. Sekulerisme hanya akan menyuburkan takhayul dan khurafat. Sistem ini hanya akan menciptakan mayarakat pemimpi harta, yang enggan berusaha sehingga gelap mata mengunakan cara yang diharamkan oleh Allah. Padahal di dalam Islam tukang sihir harus diberi sanski karena merusak aqidah umat.
Sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam:
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
“Hukuman bagi tukang sihir adalah dengan dipenggal lehernya dengan pedang.” (HR at Tirmidzi).
Oleh karena itu, hendaknya kita kembali pada agama Allah secara kaffah. Sejatinya, Islam adalah agama sempurna yang memberikan keberkahan dan rahmat bagi seluruh alam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.*/Hanum Hanindita, guru SD Khoiru Ummah 25 Bekasi