Sahabat sejatiku..
Ingatkah dalam ingatanmu saat kita..
Hidayatullah.com–Lirik lagu yang sempat tenar di masa masih berseragam putih biru itu tiba-tiba saja melintas dalam benak. Saat itu aku baru saja menguping tanpa sengaja percakapan dua murid SD kelas VI.
“Amir, nanti sore kita ngaji kan seperti biasa?” tanya Hanif kepada Amir. Mereka berdua dikenal berkawan karib sejak kelas I SD.
“Nggak ah, ntar aku gak ngaji!” balas Amir malas.
“Tumben, Mir, biasanya kamu yang paling semangat ngajakin ngaji, kok malah sekarang kamu yang malas sih?” Ammar yang baru datang rupanya langsung nimbrung dalam percakapan.
“Iyaa nih tumben banget, kenapa emangnya Mir? Ntar kamu ditanyain Ustadz lho. Kan kamu ketua gang kita, haha,” Ahmad tak mau kalah ikut menimpali.
Meski diberondong pertanyaan, rupanya tak cukup membuat goyah pertahanan Amir. “Gak apa-apa, lagi males aja!”
“Ayolah Mir, semangaat, kan kalo kita ngaji bakal dapat banyak pahala lho, iyaa gak teman-teman?” Hanif masih saja tak menyerah. Sesekali ia melirik ke kawan-kawannya.
“Betul betul betul” tanpa dikomando, semuanya kompak meniru jawaban si Ipin, film kartun asal negeri jiran tu.
“Iya, kan kita mau masuk surga, sekalian ngasi mahkota terindah buat orang tua kita Mir,” kali ini Ammar yang menyemangati.
Percakapan yang terjadi di sudut halam sekolah itu masih terus berlanjut. Hingga akhirnya Amir tiba-tiba terisak dan mengeluarkan suara. “Baiklah teman-teman, aku hadir insya Allah, terima kasih kalian sudah mengingatkanku.”
Tanpa skenario dan arahan sutradara, keempat anak itu tiba-tiba saling berpelukan dan berpekik takbir. Allahu Akbar.
Pondasi Orang tua Membentuk Cita-cita
Bagi sebagian, usia remaja dianggap sebagai masa peralihan dan pencarian jati diri. Jika tak dikawal dengan elok, terkadang jadi bumerang bagi masa depan mereja.
Terlebih dengan budaya Barat yang kian gila menyerbu. Tak heran sebagian remaja cuma bisa berkata “Let it flow saja” ketika ditanya tentang cita-cita atau masa depan mereka.
Padahal seorang Muhammad al-Fatih, misalnya sudah menjawab tegas tentang perjalalanan hiduonya sejak usia belia. Taklukkan Konstantinopel! pekik al-Fatih remaja dengan semangat menggelora.
Di sinilah dituntut peran orang tua dalam menyiapkan pondasi agar masa anak ataupun remaja itu tidak dilalui dengan krisis identitas atau keguncangan jiwa.
Hendaknya para orang tua sejak dini membimbing anak-anak dan generasi pelanjut mereka menjadi manusia yang paham hakikat dan tujuan hidup tersebut. Harus ada orientasi yang sejalan dengan visi untuk apa ia diciptakan oleh Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56).
Jika orientasi hidup yang benar telah tertancap di benak seorang anak, niscaya dengan sendirinya hari-hari anak itu dipenuhi dengan aktivitas hidup hanya untuk mencari ridha Ilahi semata.
Dalam Islam, Allah tak sekadar menilai hasil yang diperoleh. Tapi juga mengukur proses dan mujahadah yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar orang itu tak lagi terbebani apalagi hingga frustasi jika memang selama ini ia sudah berusaha keras dalam mengerjakan sesuatu.
Pun demikian dengan urusan belajar di sekolah. Sejak awal guru harus membekali murid-muridnya tentang keyakinan bahwa mereka belajar bukan cuma untuk memperoleh nilai dan ranking yang tinggi. Tapi lebih dari itu, menuntut ilmu untuk beribadah kepada Allah.
Sebagaimana orang tua menyuruh anak belajar bukan karena agar ingin disebut bintang kelas. Tapi lebih jauh, belajar untuk menggapai ilmu dan berbagi manfaat sebanyak mungkin kepada orang lain dan lingkungan sekitar.
Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Demikian sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) memberi motivasi.
Dengan semangat itu, niscaya anak termotivasi belajar dengan penuh gairah dan antusias. Sebab ia tahu, dengan ilmu yang dipunyai, kelak ia bisa menjadi bintang kehidupan dengan cahaya benderang menyinari lingkungan sekitarnya.
Sebagai khalifah, sikap peduli terhadap orang lain adalah mutlak dimiliki seorang anak. Banyak ilmu berarti banyak manfaat yang bisa dibagi, sebab sejak awal anak sudah memahami bahwa ilmu itu bukan untuk ilmu saja (sains for sains).
Sebaliknya, dengan ilmu dan keterampilannya, anak itu makin terdorong berbuat lebih banyak untuk kebaikan, sebagai pelayan sekaligus rahmat bagi alam semesta.
Pilih Lingkungan dan Teman yang Baik
Dari ilustrasi percakapan di atas, terlihat bahwa anak-anak yang mempunyai bi’ah (lingkungan) yang kondusif dan teman-teman yang baik, menjadikan mereka punya keyakinan yang kuat dan berani menyuarakan kebenaran dengan kepala tegak.
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Sebagai orang tua, memilihkan lingkungan pergaulan yang baik adalah kewajiban mutlak yang harus dipenuhi. Hendaknya maslahat agama dan perkembangan akhlak menjadi pertimbangan utama yang didahulukan ketika memilihkan sekolah buat mereka.
Sisihkanlah waktu untuk memantau ibadah harian anak-anak. Ikutkan mereka dalam halaqah-halaqah al-Qur’an. Jangan lupa pastikan dengan siapa anak-anak tersebut bergaul sehari-hari. Hal ini penting untuk menguatkan asupan rohani dan spritual sebagai bekal kehidupan mereka kelak.
Ibarat pemuda Ashabul Kahfi yang berhimpun karena iman dan kecintaan kepada Sang Pencipta. Mereka adalah sahabat sejati yang saling peduli demi kebaikan agama dan akhirat kelak. Sebuah perkawanan yang tak ternilai dengan harta dunia. Sebab mereka bisa sama-sama berjuang dan saling menjaga serta menyelamatkan dari ancaman siksa api neraka.*/Ayun Afifah, seorang pendidik di Yogyakarta