Oleh: Sholih Hasyim
Hidayatullah.com–Salah satu proses dan persiapan spiritual yang wajib dilalui bagi santri baru di pesantren Hidayatullah pada awal perintisannya, adalah menepis dan mengikis sikap tagha. Tidak pandang bulu baik santri yang memiliki latar belakang akademis umum, ataupun pesantren, keturunan orang yang hidupnya pas-pasan ataupun berlebih, mereka harus melewati masa orientasi yang sama dengan penuh kesadaran dan kesabaran.
Tujuan utamanya adalah An yurawwidhahum awwalan wa yuhadzdzibahum bil ta’dib (dijinakkan dan disucikan hatinya terlebih dahulu melalui ta’dib – latihan kesopanan lahir dan batin -), meminjam istilah Syed Naquib Al-Attas. Para santri ditempatkan pada posisi yang kontradiktif dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sebelumnya. Santri dilatih sepi ing pamrih rame ing gawe (berorientasi pada amal shalih tanpa hiruk pikuk, bukan jabatan). Mengisi bak wudhu dan bak mandi, membajak sawah, menggali empang, membantu tukang, mencari dan mengambil donatur, mengasuh dan mencarikan dana anak asuh, kepala dapur umum, kepala kampus, dll. Qaddimil khidmah qablal ‘ilm (dahulukan pengabdian sebelum mencari ilmu), meminjam ucapan ahli hikmah.
Semua proses itu dilakukan agar hati santri disterilkan dari pengaruh kontaminasi Tagha. Menepis (membuang) dan mengikis (melenyapkan) sikap tidak tahu diri tersebut. Sebab virus itu menurunkan tiga induk perbuatan dosa yang menjadi pemicu perbuatan maksiat sepanjang masa. Yakni, serakah yang diwariskan oleh Adam as, sombong yang ditularkan oleh iblis, dan dengki yang diperagakan oleh Qabil terhadap adiknya Habil karena berebut wanita. Dengan mengosongkan hati dari berbagai virus tersebut, memperlancar memperoleh ilmu (hidayah) yang bermanfaat, yang membela pemiliknya pada hari kiamat (hujjatun lahu). Sedangkan ilmu yang dijauhkan dari adab akan menghujat pemiliknya pada Mahkamah Ilahi kelak (hujjatun ‘alaih).
Tagha adalah sikap melampaui batas. Memiliki ilmu sedikit merasa sudah paling ahli, sementara orang lain dianggap bodoh. Menduduki jabatan tertentu merasa diri lebih unggul derajatnya dari orang lain. Mempersepsikan bahwa harta yang dimilikinya efek dari penguasaannya dalam teori-teori ekonomi. Bukan karunia dari Allah Swt, seperti perilaku Qarun. Yang menjadi standar penilaian orang yang thagha adalah asesoris (atribut) lahiriyah.
Sikap tagha menjadi kewaspadaan tingkat tinggi bagi pesantren itu karena dinilai sebagai batu sandungan utama kesuksesan seseorang di dunia dan keselamatannya di akhirat.
“Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (QS. An-Naba (78) : 21-22).
Air yang sudah meluber disebut thaghal maa’ seperti diisyaratkan dalam Al-Quran Surat Al-Haqqah (69) ayat 11.
“Sesungguhnya kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera (yang dibawa dalam bahtera Nabi Nuh untuk diselamatkan ialah keluarga Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman selain anaknya yang durhaka).”
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq (96) : 6-7).
Sikap tagha sesungguhnya mewarisi karakter asli Fir’aun, dan indikator orang yang menutup diri dari kebenaran (kafir). Orang yang terjangkit virus rohani yang ganas tersebut akan mengalami stagnasi, berjiwa kerdil, sehingga lambat dalam merespon perubahan. Karena merasa cukup, tidak memberi peluang yang luas untuk pengembangan dirinya. Efeknya ia merasa tidak perlu banyak mencari tahu dan belajar.
“Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia (Fir’aun) segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (QS. Thaha (20 ) : 45).
Kehancuran bangsa-bangsa yang pernah jaya pada zaman dahulu pemicunya adalah melestarikan sikap thagha.
“Dan kaum Tsamud maka tidak seorang pun yang ditinggalkannya (hidup). Dan kaum Nuh sebelum itu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka.” (QS. An Najm (53) : 51-52).
Sikap thagha menutup pintu masuknya hidayah. Sehingga kehidupan pelakunya tidak terarah.
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS. Al Baqarah (15).
Banyak macam dan model thagha atau sombong. Ada thagha karena ilmu, prestasi, kekuasaan atau kekayaan yang digenggamannya. Tetapi sombong yang tidak beralasan, lebih dimurkai oleh Allah Swt. Misalnya, miskin berpenampilan kaya (‘aa-ilun mistakbar), bodoh yang berperilaku pandai (jahilun murakkab), rakyat berlagak elit (kementhus, red), berwajah biasa-biasa bergaya seperti orang yang terkenal ketampanannya (kemagus, red). Mengakui prestasi orang lain, yang bukan hasil karyanya. Orang tua yang senang main perempuan (syaikhun zan). Tua-tua keladi, makin tua semakin menjadi-jadi dorongan libidio seksualnya. Padahal pada umumnya semakin bertambah usia, berkurang umurnya. Dorongan untuk berbuat baik lebih kuat dibandingkan dorongan untuk berbuat jahat. Tua-tua berbudi, makin tua makin mengabdi.
Thagha Hanya Milik Allah Swt
Keagungan adalah sarung-KU, kesombongan adalah pakaian-KU, maka siapa yang merebutnya dari-KU niscaya Aku akan menyiksanya.” (HR. Muslim).
Sikap thagha adalah mengundang siksa Allah Swt, itulah makna tersirat dalam hadits Qudsi di atas. Pembuktian bahwa sikap thagha mengundang azab Allah terkuak dalam kisah-kisah yang tersurat dalam Al-Quran.
Sebut saja kisah Fir’aun. Raja sombong dan jago thagha yang memproklamasikan dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi ini dibinasakan Allah Swt di bumi milik-Nya dengan cara diombang-ambingkan oleh ombak setinggi gunung bagaikan bola ping-pong saat mengejar pengikut Nabi Musa as.
Thagha merupakan virus yang mematikan hati. Seseorang yang mengidap virus ini, sekalipun hanya setitik, dijamin masuk neraka.
??? ???????? ?????????? ???? ????? ??? ???????? ????????? ??????? ???? ??????
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong meski hanya sebesar biji sawi.” (HR. Abu Dawud).
Kita mewaspadai sikap thagha, karena pada prinsipnya yang berhak memiliki sikap unggul, paling suci hanyalah Allah Swt. Karena Dia memiliki segala sifat kesempurnaan, kemuliaan. Jauh dari segala sifat kelemahan dan kekurangan. Sedangkan manusia tidak layak untuk bersikap thagha, karena dirinya adalah tempat salah dan lupa (mahallul khatha’i wan Nisyan). Lubang qubul (muka), dubur (belakang), mata, telinga, hidung dan mulut, semuanya mengeluarkan kotoran. Manusia itu pada asalnya hina, miskin, lemah, bodoh.
Virus thagha juga dapat merusak tatanan kehidupan sosial. Sebab, salah satu karakter dasar sombong adalah menganggap dirinya lebih baik dan mulia dan meremehkan orang lain (al-Kibr batharul haq wa ghamthun Nas). Selalu merendahkan orang lain, meremehkan, membelakangi, dan menjauhinya. Bila ada yang memberikan kritik (nasihat) dipandang sebagai intrik (politik menjatuhkan). Dari sifat ini umumnya menjelma menjadi perilaku yang berpotensi melahirkan kedengkian, dendam, dan permusuhan.
Dalam konteks kekinian betapa banyak masyarakat yang terjangkiti penyakit yang diwariskan oleh iblis ini. Alangkah banyaknya yang berbangga dengan etnis, golongan dan kelompok serta partainya. Yang benar adalah islamiyah qabla hizbiyyah (mengedepankan atribut keislaman sebelum simbol kepartaian) .
Al-Quran mengkritik orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dirinya suci dan makhluk pilihan Allah Swt.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikit pun.” (QS. An Nisa (4) : 49).
“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al Baqarah (2) : 80).
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al Baqarah (2) : 111).
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al Maidah (5) : 18).
Tidak masalah kita menyebut amal yang selesai kita lakukan dalam kerangka at-Tahadduts bin Nikmah (mensyukuri nikmat). Karena kenikmatan itu kita kembalikan kepada-Nya, bukan semata-mata hasil kerja keras kita.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha (93) : 11).
Atau menceritakan kebaikan untuk memotivasi orang lain agar mengikutinya, bukan minta sanjungan dan pujian.
“Barangsiapa mempelopori kebiasaan (tradisi) yang baik, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sesudahnya.” (HR. Muslim).
Meneladani Pendahulu Kita
Semestinya kita malu dengan Rasulullah Saw, para shiddiqun (orang-orang yang benar), syuhada (orang-orang yang meninggal dalam keadaan syahid), dan sholihun (orang-orang yang shalih). Mereka adalah figur publik yang patut diteladani. Sekalipun Rasulullah Saw memiliki posisi yang tinggi di sisi-Nya (maqaman mahmudaan), beliau selalu bersikap tawadhu’ (rendah hati).
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiiqiin [orang-orang yang teguh keyakinannya kepada kebenaran rasul], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa (4) : 69).
Kehidupan manusia pilihan itu diwarnai tawadhu’ (rendah hati) dan khudhu’ (hati yang tunduk). Kebalikan dari sifat thagha dan sombong. Tawadhu’ berasal dari kata “adl-dla’ah” yang berarti kerelaan terhadap kedudukan yang lebih rendah dari kapasitas, bakat dan kompetensi yang dimilikinya. Rendah hati terhadap orang lain. Selalu mengedepankan jiwa besar, luber, dan legowo dengan sesama. Dan mau mendengar, menerima kebenaran apapun bentuknya, dan dari mana pun asalnya. Rendah hati berbeda dengan rendah diri.
Justru dengan mentradisikan sifat tawadhu, Allah Swt akan mengangkat derajat kita dan orang lain akan mencintai kita. Sesungguhnya fitrah manusia itu mengakui kebaikan yang dikenali hati (ma’ruf) dan mengingkari perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani (munkar). Senang dengan sikap tawadhu dan membenci sikap thagha dan kesombongan.
Kiat Mengikis Thagha
Bagaimanakah caranya kita dapat menghadirkan sifat tawadhu’ (rendah hati)? Ada empat kiat yang biasa dilakukan Rasulullah Saw untuk mendatangkan akhlak terpuji tersebut.
Pertama, mengenali diri. Bila kita melihat asal usul kita berasal dari air sperma (nuthfah). Jika dibungkus dengan kertas yang antik, untuk hadiah ulang tahun, tiada seorang pun yang bersedia menerimanya. Bahan baku kita adalah qatharat (percikan-percikan) fasharat insanan (maka menjadi manusia) dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kedua, bergaul dengan orang-orang miskin, dan anak-anak yatim. Selain menimbulkan rasa empati dan peduli kepada fakir miskin, kita akan pandai bersyukur kepada Allah Swt atas berbagai karunia yang kita peroleh. Dengan akrab bergaul dengan anak-anak yatim, hati kita akan menjadi lembut.
Ketiga, sesekali berpakaian lusuh. Cara ini akan melatih kita merasakan memakai pakaian yang tak beralasan untuk dibanggakan dan ditonjolkan. Menjauhi atribut kemewahan dan kegemerlapan.
Keempat, mengerjakan pekerjaan sendiri. Bila kita mampu mengerjakan sendiri, mengapa kita meminta bantuan orang lain. Rasulullah Saw seringkali membantu pekerjaan istrinya memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan rumah, merawat anak, menjahit baju, memberi makan ternaknya, menggiling gandum bergiliran dengan pembantunya, berbelanja ke pasar, menggali parit bersama para sahabatnya ketika perang Khondaq, mengumpulkan kayu bakar untuk memasak, berjabat tangan dengan orang kaya dan miskin, segala umur, dll. Itulah Rasullah yang tawadhu’, sederhana dan berendah hati. [SH/www.hidayatullahj.com]
* Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com