SYEIKH HABIB Muhammad Ismail mengatakan bahwa medan dakwah dewasa ini menghadapi tantangan semakin berat. Hal ini karena akhlak buruk tumbuh dengan sangat pesat, terutama mereka yang menganut paham at-tarbiyah an-nau’iyyah (pendidikan beragam).
Hal ini memunculkan fenomena berbahaya, seperti anak muda yang tidak menghormati orang yang lebih tua, orang-orang pandir yang berani melangkahi ulama, dan para pelajar berkelahi. Mereka saling bermusuhan, melupakan persaudaraan, tidak santun, tidak mau saling memaafkan, dan tidak mau bersabar. Mereka lebih bersikap pandir, seperti orang yang tidak berpendidikan sama sekali.
Kini para pelajar banyak tenggelam ke dalam lumpur celaan, pertikaian, dan perkelahian. Bahkan, di antara mereka ada yang berani menantang para ulama ternama. Hal ini karena mereka tidak sadar bahwa setan sedang meniupkan api permusuhan. Mereka mengira bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang dibenarkan agama.
Sungguh, seseorang yang menjadikan lidah sebagai pengontrol tingkah laku sangat disayang Tuhan. Karena itu, amal-amal berikut ia jadikan bahan evaluasi atas semua ucapannya.
Evaluasi tersebut mencakup dua pikiran utama sebagai berikut.
1. Akhlak mulia kepada sesama muslim. Hal ini dilakukan dengan menjaga kehormatan dan menjauhkan orang lain dari hal-hal yang dapat menyakitinya, seperti pembicaraan aib yang kini kian santer terdengar.
2. Akhlak mulia kepada ulama. Hal ini dilakukan dengan menjaga nama baik, serta mengenal dan mengakui kemampuan dan kelebihan mereka. Juga menghindar dari fitnah dan pencemaran nama baik.
Poin kedua patut diperhatikan lebih mendalam. Poin pertama merupakan pendahuluan karena para ulama memiliki dua hak, yaitu sebagai seorang muslim dan sebagai seorang yang memiliki kelebihan. Dalam hal ini kelebihan ilmu. Pola ini senada dengan sikap Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lebih mengutamakan kaum muslimin dibandingakan dengan umat lain, kemudian Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu di antara kaum muslimin.
Allah swt berfirman, “…Niscaya Allah mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Di sisi lain, jika Allah mengharamkan sesuatu, bisa jadi pengharamannya berbeda dengan sesuatu yang lain. Suatu kesalahan, misalnya, bisa menarik dosa yang lebih besar dibandingkan dengan kesalahan yang lain. Hal ini dihitung berdasarkan banyaknya pelanggaran. Dengan begitu, azab dan hukuman satu dosa bisa berlipat ganda.
Menzalimi diri sendiri dengan berbuat maksiat dilarang oleh agama di mana pun dan lebih tegas pada bulan-bulan haram (Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram). Mengenai pengharaman ini, Allah swt. berfirman,
“…Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (QS. At-Taubah: 36).
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam memberikan contoh lain dalam sabda beliau, “Berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan bagi seseorang daripada berzina dengan seorang wanita tetangganya. Mencuri sepuluh rumah lebih ringan baginya daripada mencuri sebuah rumah milik tetangganya.” (HR. Ahmad, hadits sahih).
Allah juga berfirman,
“…Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji…” (Al-Baqarah: 197).
Hukum diat membunuh dan menyiksa pada bulan-bulan suci tentu lebih berat. Hukuman diat karena membunuh kerabat yang masih ada hubungan darah juga lebih berat. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam mazhab Syafi’i.
Sungguh, orang yang menyakiti dan merendahkan kehormatan ulama telah melakukan kesalahan berat. Hal ini karena kehormatan ulama melebihi seorang muslim biasa. Selain memiliki hak yang sama dengan seorang muslim, ulama memiliki hak sebagai orang tua dan para pembesar.
Di samping itu, mereka memiliki hak sebagai orang yang membawa risalah Al-Qur’an, hak keilmuan, dan hak para wali saleh. Dengan begitu, kita akan mudah memahami perkataan Imam Syafi’i, “Membicarakan aib ulama dan orang-orang yang menyampaikan risalah Al-Qur’an termasuk dosa besar.”*/Sudirman (sumber buku Ensiklopedia Akhlak Muhammad Saw, penulis Mahmud al-Mishri)