Hidayatullah.com — Abu Dhabi membuka kembali kedutaannya di Damaskus pada Desember 2018 dan 2020. Sebuah laporan eksklusif Middle East Eye mengatakan bahwa Putra Mahkota UEA MBZ menawarkan 3 miliar dollar kepada rezim Assad untuk menghentikan genjatan senjata antara Turki dan Rusia di Idlib, benteng oposisi terakhir di Suriah. UEA juga dilaporkan telah melatih para perwira dan teknisi intelejen rezim Suriah sejak Januari, Orient XXI melaporkan pada 23 Juni.
Emirat sedang mengincar prospek yang dapat menguntungkannya dari rekonstruksi pasca perang di Suriah, negara yang dilanda perang dengan elite bisnis minimal. Kebanyakan warga Suriah kaya telah meninggalkan negara itu selama perang, menyebabkan kekosongan bisnis yang besar. Negara seperti Rusia dan UEA sekarang sedang berupaya untuk mengisi ini demi keuntungannya. Perlombaan untuk memperoleh tender besar dalam rekonstruksi Suriah telah mengkhawatirkan AS – sekutu penting UEA.
Pada 18 Juni, utusan AS untuk Suriah, James Jeffrey, memperingatkan UEA agar memperhatikan Undang-Undang Caesar, sebuah UU yang memberi sanksi rezim Suriah setelah terungkapnya bukti foto kejahatan perang rezim terhadap warga sipil.
“UEA mengetahui bahwa kami sangat menentang negara-negara yang mengambil langkah diplomatik ini,” kata Jeffrey pada 17 Juni dalam penguraian singkat khusus.
“Dalam hal kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang di UEA atau seseorang di negara lain yang memenuhi kriteria sanksi atau undang-undang ini, mereka adalah target yang potensial terkena sanksi,” katanya.
Membuat Turki Sibuk dan Teralihkan
Untuk UEA dan Mesir, taruhannya lebih tinggi. Kerja sama dengan Damaskus menguntungkan mereka di front lain: Libya.
Sementara mendukung oposisi moderat di Suriah, Turki juga merupakan sekutu utama Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui PBB, bersama dengan Qatar.
Hubungan Turki dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir sudah tegang pada 2017, ketika Ankara mendukung Qatar melawan sanksi mereka.
Bagi UEA, membuat Turki sibuk dalam perang intensif di Suriah Utara dengan menjaga hubungan baik dengan rezim Suriah, adalah taktik impian untuk mengalihkan Turki dari perhatiannya ke GNA. Panglima perang Libya Khalifa Haftar, yang bertujuan untuk merebut Tripoli, sangat bergantung pada UEA, Mesir, serta Rusia.
Ketiganya, yang terdiri dari rezim Suriah, UEA dan Mesir, telah membentuk komite untuk berkoordinasi di Libya, dan Damaskus telah mengirim petempur untuk bergabung dengan barisan Haftar yang didukung UEA.
Laporan menunjukkan bahwa akhir-akhir ini, Turki secara rahasia mendekati Mesir, mengingat kepentingan bersama yang dimiliki kedua negara di Mediterania Timur, serta Libya. Sementara itu, Kairo malah memilih untuk menggalang negara-negara Arab melawan Turki.
Keheningan terhadap kesepakatan damai UEA-Israel
Sejalan dengan kebijakan UEA di Suriah, Mesir mengirimkan 150 tentara untuk bertempur di antara jajaran rezim Assad pada bulan Juli. Para tentara itu ditemani oleh Garda Revolusi Iran, musuh bebuyutan ‘Israel’ di Suriah, dan sekitarnya.
Sementara Mesir adalah sekutu Israel, kerja samanya dengan Garda Iran untuk mendukung Damaskus menandakan perubahan dalam dinamika di Suriah. Untuk negara-negara Liga Arab yang dipimpin oleh Mesir, tindakan yang meningkatkan kenyamanan hingga ke Damaskus, serta bermitra dengan rezim Assad, adalah cara untuk memerangi pengaruh Turki yang tumbuh di wilayah tersebut.
Kairo dan sekutu Arabnya percaya bahwa agenda kebijakan luar negeri Ankara didorong oleh apa yang mereka sebut ambisi neo-Ottoman, sebuah tuduhan yang bahkan baru-baru ini digunakan Yunani untuk melawan Turki. Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, menyangkalnya, mengatakan bahwa meskipun dia “bangga” dengan nenek moyangnya Ottoman, negara itu “tidak berniat” untuk mendirikan negara seperti itu.
Di sisi lain, Arab Saudi meningkatkan upayanya untuk memotong pengaruh Ankara di wilayah tersebut dengan secara resmi memboikot impor Turki mulai 1 Oktober.*