AMAT disayangkan banyak pasangan suami istri tidak mengerti bagaimana harus menjaga dan menumbuhkan cinta mereka –sesungguhnya mereka telah mengawali pernikahan dengan cinta. Mereka tidak mengerti bagaimana mempertahankan cinta.
Suasana rumah tangga menjadi kering kerontang, tiada sentuhan cinta dan kasih sayang. Kekerasan demi kekerasan terjadi; mulai dari kekerasan dengan kata-kata, raut muka, juga dengan fisik. Suasana rumah tangga berubah menjadi neraka yang sangat menyiksa seluruh anggotanya.
Persoalan-persoalan kecil yang sesungguhnya akan selesai dengan keterbukaan dan musyawarah, ternyata berkembang menjadi masalah besar yang sulit terselesaikan. Komunikasi menjadi terhambat, sehingga menambah rumitnya permasalahan. Suami sibuk dengan urusan sendiri, demikian pula istri disibukkan dengan agendanya.
Mereka hanya sekadar tinggal dalam satu rumah, tetapi tidak saling peduli dan tidak saling berinteraksi. Mereka masih bertahan, mungkin karena pertimbangan anak-anak, mungkin karena pertimbangan keluarga, atau kepentingan gengsi dan status sosial.
Padahal, apabila mereka pandai merawat cinta, rumah tangga akan tumbuh dan berkembang di atas landasan keindahan. Mereka bisa melihat taman di depan rumah yang dipenuhi bunga-bunga cinta yang tengah mekar. Rumah yang dipenuhi hiasan indah mengabarkan kegairahan hidup yang terus menyala.
Tiada kalimat yang mereka ucapkan, kecuali ekspresi cinta. Mereka mendapatkan cinta yang tumbuh dan bersemi di mana-mana. Di ruang keluarga, mushala, perpustakaan, tempat tidur, dapur, taman, teras, kamar mandi, dan juga dinding rumah. Semerbak aroma cinta bertebaran di segenap penjuru ruangan rumah mereka.
Terdengar nyanyian cinta dari rumah sepanjang hari. Di dalam rumah, mereka menemukan cinta, kesetiaan, kepercayaan, dan kasih sayang. Mereka saling mendukung dalam kebaikan, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menasihati dalam ketaatan.
Mereka mengedepankan saling percaya, keterbukaan, kesetiaan, dan penghargaan. Mereka menjauhkan sifat curiga, tidak percaya, dan dendam. Tiada yang tersimpan dalam hati mereka, kecuali ketenangan, kesejukan, kedamaian, dan perasaan aman.
Mungkin, kedengarannya utopis dan berlebihan. Akan tetapi, persoalan rumah tangga sesungguhnya kembali kepada masing-masing anggotanya; akan dijadikan seperti apa suasananya. Jika semua bersepakat menjadikan rumah tangga mereka sebagai surga, tiada yang mustahil apabila mereka berusaha bersungguh-sungguh menghendakinya. Segala konsekuensi yang muncul akibat keinginan tersebut hendaknya dipenuhi secara serius oleh semua pihak.
Akan tetapi, jika masing-masing tidak peduli dengan membiarkan hidup mengalir tanpa keinginan dan perencanaan yang dipertemukan, rumah tangga akan cenderung berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti; sulit dievaluasi. Pada akhirnya, mempercepat munculnya berbagai penyakit yang akan menggerogoti cinta di dalamnya.
Semakin tidak dipedulikan, semakin memperparah kondisi keburukannya. Rumah tangga bisa karam tiba-tiba karena tiada lagi kemudi yang mengendalikan arahnya.
Maka kembali kepada kita; cintakah yang kita harapkan di dalam rumah tangga, ataukah pengkhianatan? Kasih sayangkah yang kita tumbuhkan atau penyelewengan? Semua memiliki konsekuensi yang harus dipenuhi.*/Cahyadi Takariawan, dari bukunya Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah.