Hidayatullah.com | ISLAM mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT termasuklah juga kepada hewan. Ini sepertimana dalam firman Allah SWT dalam al-Quran:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Artinya: Dan tidak seekor binatang pun yang merayap (melata) di bumi, dan tidak seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah kaum seperti kamu. Kami tidak meninggalkan apapun di dalam Al Qur’an ini; kemudian mereka semua akan dikumpulkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima pembalasan).” (QS: Al-An’am: 38).
Menurut Ibn Kathir dalam tafsirnya, maksud daripada ‘umat-umat seperti kamu’ di dalam ayat di atas ialah makhluk-makhluk yang dicipta seperti kamu juga. (Tafsir Ibn Kathir, 3:253).
Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Nabi ﷺ, ketika Nabi memerintahkan untuk memperelok penyembelihan korban sebagai bentuk kebaikan terhadap hewan dan binatang.
Dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR: Muslim).
Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, maka ini juga berlaku kepada binatang seperti anjing. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dalam shahih al-Bukhari, Bab Keutamaan Memberi Minuman, tentang seorang pria yang memberi air kepada anjing yang kehausan dengan mengambil air dari sumur menggunakan sepatunya.
Kemudian anjing itu bersyukur dan laki-laki itu diberi ampunan oleh Allah SWT. Maka para sahabat bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا
“Maksudnya: Wahai Rasulullah ﷺ, adakah bagi kami atas perbuatan terhadap binatang juga ada pahala?”
Rasulullah ﷺ bersabda:
نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Maksudnya: Benar, bagi setiap hati yang basah (bersikap rahmah) ada pahala.” (HR: al-Bukhari).
Karena itu, berbuat baik dan menjaga kebajikan kepada semua hewan termasuklah juga anjing, dikira sebagai berbuat baik kepada binatang dan mendapat pahala di sisi Allah SWT.
Berbuat Baik dan Memelihara Anjing
Oleh karena itu, berbuat baik dan menjaga kesejahteraan semua hewan, termasuk juga anjing, adalah pebuatan baik kepada hewan dan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Namun, antara menjaga kesejahteraan anjing dan memelihara anjing ada perbedaan yang nyata. Jika berbuat baik kepada anjing seperti memberi makan dan minum itu adalah perbuatan yang mendapat pahala, berbeda dengan hukum memelihara anjing.
Imam Syafii membolehkan memelihara anjing untuk berburu, menjaga tanaman, menjaga hewan ternak, atau tujuan-tujuan yang senada dengannya. Namun jika tujuannya di luar itu, mislnya hanya untuk menyalurkan hobi agar bisa bermain-main dengan anjing, tidur bersama, makan bersama, atau untuk diikutkan dalam perlombaan kecantikan hewan, maka hukumnya haram.
Beliau berkata:
وَلَا يَجُوزُ اقْتِنَاؤُهُ إلَّا لِصَاحِبِ صَيْدٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُمْ
Tidak boleh memeliharanya kecuali bagi orang yang memiliki hewan buruan, atau tanaman, atau hewan ternak, atau sesuatu yang semakna dengannya.
Hukum tersebut berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا، إِلَّا كَلْبًا ضَارِيًا لِصَيْدٍ أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ، فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barang siapa memelihara anjing kecuali anjing pemburu hewan buruan atau anjing (penjaga) hewan ternak, maka sesungguhnya ia akan berkurang dari pahalanya setiap hari dua kirat (1 kirat = 0,21 gram).” (HR. Bukhari no. 5481).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لاَ يُغْنِي عَنْهُ زَرْعًا، وَلاَ ضَرْعًا نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطٌ
“Barang siapa memelihara anjing yang pertanian dan air susu hewan (yang dimaksud adalah hewan ternak itu sendiri) tidak cukup darinya, maka setiap hari dari amalnya berkurang 1 kirat.” (HR. Bukhari dan HR. Muslim)
Imam Badruddin Al Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Al Bukhari jil. 12, hal. 158 mengatakan bahwa qirath itu adalah kadar yang tertentu di sisi Allah Swt. Intinya berkuranglah sebahagian dari amalannya.
Imam An-Nawawi mengungkapkan memelihara anjing dibolehkan jika ada tiga kebutuhan, yaitu untuk berburu, menjaga tanaman, dan menjaga hewan ternak. Sementara memeliharanya untuk tujuan menjaga rumah, gedung, gang, dan semacamnya, maka ada dua pendapat.
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berdasarkan pemahaman dari teks hadis. Sebab teksnya hanya menyatakan boleh untuk tiga tujuan di atas. Pendapat kedua, ini merupakan pendapat terkuat, mengatakan boleh sebab diqiyaskan (dianalogikan) dengan tiga tujuan tersebut.
Demikian pula, memelihara anak anjing untuk dilatih agar bisa berburu dan menjaga hewan ternak dan tanaman hukumnya boleh menurut pendapat yang paling kuat.
Ulama fikih dari Mazhab Hanbali Imam Ibnu Qudamah berpendapat sama dengan Mazhab Syafii, yaitu haram memeliharanya kecuali untuk berburu, menjaga ternak, dan tanaman. Beliau juga mengharamkannya untuk tujuan menjaga rumah, karena rumah tidak bisa diqiyaskan dengan ternak atau tanaman.
Mengapa amalannya berkurang karena memiliha anjing? Imam Badruddin Al Aini Dalam kitab Umdatul Qari menukilkan bahwa para ulama menyebutkan beberapa faktor. Di antara penyebab keharamannya adalah: Malaikat tidak mau masuk ke dalam rumahnya, Orang-orang akan tersakiti setiap melewati rumahnya, Anjing banyak makan najis, sehingga buruk aromanya, Anjing adakalanya menyebabkan munculnya najis besar ketika ia menjilati bejana baik dengan sepengetahuan pemilik atau tanpa sepengetahuannya, Atau karena mereka memelihara sesuatu yang dilarang oleh agama.
Berkaitan hal ini, Imam al-Nawawi menyebutkan di dalam kitab al-Minhaj Syarh Sahih al-Muslim bahwa:
وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية وهل يجوز لحفظ الدور والدروب ونحوها فيه وجهان أحدهما لا يجوز لظواهر الأحاديث فإنها مصرحة بالنهى الا لزرع أو صيد أو ماشية وأصحها يجوز قياسا على الثلاثة عملا بالعلة المفهومة من الاحاديث وهى الحاجة
Artinya, “Adapun memelihara anjing tanpa hajat tertentu dalam madzhab kami adalah haram. Sedangkan memeliharanya untuk berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak, boleh. Sementara ulama kami berbeda pendapat perihal memelihara anjing untuk jaga rumah, gerbang, atau lainnya. Pendapat pertama menyatakan tidak boleh dengan pertimbangan tekstual hadits. Hadits itu menyatakan larangan itu secara lugas kecuali untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga ternak. Pendapat kedua–ini lebih shahih–membolehkan dengan memakai qiyas atas tiga hajat tadi berdasarkan illat yang dipahami dari hadits tersebut, yaitu hajat tertentu,” (Imam An-Nawawi, dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim ibnil Hajjaj, Kairo, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah).
Oleh itu, digalakkan untuk berbuat baik dan menjaga kebajikan kepada anjing-anjing yang jinak dan tidak membahayakan seperti memberi makan dan minum, merawat jika ia cedera dan sebagainya. Namun tidak dibolehkan untuk menjadikannya sebagai hewan peliharaan. WaAllahu a’lam.
Ini sesuai sabda Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلا صُورَةٌ
Maksudnya: Sesungguhnya malaikat tidak akan memasuki rumah yang ada anjing dan patung. (HR: al-Bukhari).*