Hidayatullah.com–Dosen Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar, Ayub Khan meraih gelar doctor setelah berhasil mempertahankan desertasi tentang media Islam di Indonesia.
Ayub Khan berhasil mempertahankan desertasinya berjudul “Linguistic Characteristics of Advocating News From Some Islamic Media In Indonesia: A Critical Discource Analysis”(Bahasa Advokasi Media Islam di Indonesia: Analisis Wacana Kritis) di depan para penguji.
Ayub yang meneliti tiga media Islam cetak di Indonesia —Majalah Suara Hidayatullah, Majalah Sabili, dan Media Dakwah— itu akhirnya dinyatakan lulus dan berhasil menggondol gelar doctor pada bulan 21 Januari 2015 lalu. Ayub akhirnya resmi dikukuhkan sebagai doktor di bidang linguistik di almamaternya itu.
Menurut lelaki keturunan Pakistan ini, penelitiannya tentang media Islam itu sengaja dilakukan untuk mengetahui penggunaan diksi dalam menulis berita yang dilakukan media Islam. Dengan begitu, dia berharap, hasil penelitiannya itu bisa jadi sumbangsih atau masukan bagi media Islam agar bisa lebih baik dan berkembang.
Penelitian itu dilakukan mulai sejak meletusnya tragedi World Trade Center (WTC) pada tahun 2001 hingga tahun 2011.
Adapun berita yang diteliti dosen bahasa Inggris ini adalah berita yang berkaitan dengan jihad dan serangan Amerika Serikat atas negara- negara Islam di Timur Tengah, seperti Iraq dan Afganistan. Selain itu, berita tentang kasus terorisme di Indonesia juga jadi bahan penelitiannya.
Dari riset itu, kata Ayub, ketiga media itu memiliki perbedaan diksi dalam memberitakan kasus yang melibatkan Amerika Serikat di Timur tengah.
Untuk Sabili, kata Ayub, diksi yang dapakai untuk menggambarkan negara Paman Sam itu cenderung sarkastik dan sinis. Diksi itu seperti kata penjajah, teroris, dan pembohong.
Ayub menambahkan, majalah Islam yang pernah memiliki tiras terbanyak di Indonesia itu dalam membuat berita yang berkaitan dengan Amerika Serikat selalu menggunakan diksi yang dianggap agitatif dan provokatif.
Sedangkan, untuk Media Ummat, diksi yang dipakai tidak jauh beda dengan Sabili. Menurutnya, diksi yang dipakai media yang berafiliasi pada Hizbut Tahrir Indonesia itu juga cenderung sarkastik dan sinis. Tapi, dari sisi idiologi pemberitaanya berbeda.
“Jika Sabili itu idiologinya lebih kepada jihad. Sedangkan Media Ummat pada khilafah islamiyah,” ujar ayah dari enam anak yang telah jadi dosen UNHAS sejak tahun 1990 ini.
Berbeda dengan Suara Hidayatullah, diksi yang dipakai lebih bersifat pencerahan kepada umat. Sebab, menurutnya, diksi yang dipakai Majalah Islam itu cenderung lembut dan tidak agitatif. Majalah tersebut sepertinya tidak mau mennggunakan bahasa yang sarkastik dan sinis. Menurut Ayub, dalam dunia jurnalistik seharusnya media Islam memang tidak boleh melakukan kekerasan non-verbalistik atau tulisan. Media harus memberikan bahasa dan diksi yang menyejukkan, tidak agitatif dan provokatif. Hal itu juga yang diinginkan oleh kalangan intelektual dan akademisi.
Sebab, yang terjadi selama ini, katanya, banyak orang yang kurang simpati kepada media Islam karena penggunaan bahasa yang dianggap sarkastik dan sinis dalam menulis berita.
Padahal, lanjut Ayub, Islam tidak harus disampaikan dengan marah-marah dan kasar. Islam, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah disampaikan dengan lemah-lembut agar dapat mengundang simpati orang. Menurutnya, kepatutan dalam berbahasa itu tidak identik dengan kelemahan dan ketakutan pada lawan. Begitu juga sebaliknya, kekerasan dan keberanian bahasa belum tentu menunjukkan keberanian.
“Bahkan dianggap gertak sambal,” katanya.
Begitu juga yang dilakukan Koran Kompas. Kompas pandai mengemas beritanya dengan bahasa yang lembut, bernas, dan enak dibaca. Berita yang ada di Kompas jauh dari kesan agitatif dan provakatif. Karena itu, katanya, tidak sedikit orang, terlebih akademisi di kampusnya yang suka membaca Kompas. Padahal, kalau mau ditelusuri, Kompas itu adalah bukan milik orang Islam, tapi, yang membacanya kebanyakan orang Islam.
“Seharusnya media Islam itu seperti Kompas,” terangnya.
Kata Ayub, media Islam kini berkembang cukup pesat. Lebih-lebih media Islam online. Perkembangan situs Islam seperti cendawan di musim hujan. Tapi, katanya, perkembangan itu harus diikuti dengan kuliatas pemberitaan yang baik. Jangan sampai, media Islam justru tidak menampilkan identitas keislamannya. Namun, bahan penelitiaanya itu tidak mencakup media Islam online. Dia baru fokus pada media cetak—majalah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pembelaan pada Islam
Sebelum ini, dalam riset tesis S2- ia juga sudah menelitik tentang kiprah media Islam. Dalam tesis S2 nya kala itu ia meneliti peran berita media Islam dalam memberitakan perlakuan Amerika Serikat (AS) terhadap negara-negara Islam pasca tragedi World Trade Center (WTC).
Judul tesis berjudul “Kritik Pers Islam atas Perlakuan Amerika Serikat Terhadap Negeri-Negeri Islam Pasca Tragedi WTC” Ayub masih meneliti Majalah Suara Hidayatullah dan Majalah Sabili.
Hasilnya menyimpulkan bahwa kedua media Islam tersebut melakukan pembelaan terhadap umat Islam.
Media itu memberitakan bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan represif dan diskriminasi terhadap negara-negara Islam, seperti: Palestina, Afganistan, Iraq, juga Indonesia.
Menurut Ayub, tindakan Amerika Serikat terhadap negara Islam berbeda. AS bertindak lebih represif kepada negara yang menentang kebijakannya daripada negara yang mau diajak kerja sama. Karena itu, negara seperti Iraq dan Afganistan itu diserang sedangkan Pakistan dan Indonesia hanya menangkap aktivis Islamnya.
“Pakistan dan Indonesia mau diajak bekerjasama oleh AS. Sedangkan Irak dan Afganistan tidak,” jelasnya Ayub.*