Hidayatullah.com–Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan (PIMPIN) Bandung kembali menggelar Special Lecture. Kali ini tema yang diangkat adalah “Falsafah Sains Ibn Al-Haytham” dengan pembicara Usep Mohamad Ishaq, Ph.D. Kajian yang berlangsung di Aula Rabbani, Dipati Ukur, Bandung, Sabtu (17/11/2018) ini tidak lain merupakan bedah karya disertasi pembicara yang berjudul “Ibn al-Haytham dan Falsafah Sainsnya dengan Rujukan Khas Kepada Kitab Thamarah al-Hikmah”
Usep yang juga Ketua Program Studi Sistem Komputer Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung ini menjelaskan, selama penelitian, ia telah berhasil mengumpulkan berbagai karya Ibn al-Haytham (w. 1040) seperti Kitāb al-Manāẓir (optik), Majmuʿ Rasāʾil Ibn al-Haytham (matematika), Kitāb Hayʾah al-ʿAlam (astronomi), dan yang terpenting karya langka bertajuk Kitāb Thamarah al-Ḥikmah (falsafah dan geometri).
Belum Banyak Dikenal
Dunia Barat menyebut Ibn al-Haytham sebagai Alhazen. Ia dikenal sebagai salah satu dari tokoh yang paling terkemuka dalam dunia sains dan matematika dari dunia Islam. Sejumlah sarjana Barat seperti, Hevelius (w. 1687 M), George Sarton (w. 1931), Henry Corbin (w. 1978), Rossana Giorini (w. 2003) sepakat dengan klaim diatas.
Tahun 2005, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) memasukkan Ibn al-Haytham sebagai salah satu ilmuwan penting (milestone) dalam perkembangan penelitian tentang cahaya, bersama deretan ilmuwan terkenal lainnya seperti Augustin-Jean Fresnel (1788-1827), James Clerk Maxwell (1831-1879), Albert Einstein (1879-1955).
“Sayangnya, nama besar Ibn al-Haytham di dunia internasional justru tidak banyak dikenal kaum muslimin sendiri, khususnya di Indonesia. Tidak seperti Ibn Sīnā, Ibn Rushd, ataupun al-Bīrūnī, sosok dan sumbangan Ibn al-Haytham bagi ilmu pengetahuan belum banyak dikenal. Buktinya, tidak banyak sekolah dinamakan Ibn al-Haytham dibandingkan tiga nama itu,” demikian tutur peraih Ph.D. dari Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (CASIS) – UTM Malaysia ini.
Al-Haytham banyak menyumbangkan teori-teori sains seperti hukum optika, matematika, camera obscura, dan anatomi. Namun, sumbangan terpentingnya adalah tentang kaidah penyelidikan yang disebut sebagai scientific method. Artinya, ilmuwan Basrah, Irak ini mendahului Bacon (w. 1626) ataupun Galileo (w. 1642) sebagai peletak dasar kaidah ilmiah sains (scientific method).
Falsafah Sains
Usep yang juga dosen fisika dan matematika ini menjelaskan bahwa tujuan belajar sains menurut Ibn al-Haytham adalah menjadi al-Insān at-tām (manusia yang sempurna) dengan memanfaatkan semua potensi yang Allah berikan. Selain itu, belajar sains juga hendaknya dimaksudkan untuk mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan mengarahkan orang agar bertaqwa. Ini sangat berbeda dengan tujuan belajar sains orang sekarang yang umumnya demi tujuan pragmatis dan ekonomis.
Falsafah sains Ibn al-Haytham sejalan dengan Pandangan Alam Islam (worldview of Islam) dalam hal menerima keberagaman saluran pengetahuan. Bagi al-Haytham menerima kebenaran dapat diperoleh melalui berbagai sumber, termasuk wahyu. Ini tidak seperti sains modern yang hanya mengakui akal dan panca indra sebagai sumber pengetahuan.
Tidak seperti sains modern yang menolak agama, falsafah sains al-Haytham tetap berlandaskan kepada agama dan keyakinan kepada Tuhan. Bahkan, dalam pemikiran ilmuwan yang digelari “bapak optika modern” ini, scientific method justru menjadi kokoh berkat landasan metafisika dari agama (Islam). Kaidah ilmiah sains dapat diterapkan karena alam ini teratur, dan keteraturan itu terwujud berkat berlakunya sunnatullah.
Al-Haytham juga telah melakukan suatu bentuk Islamisasi konsep-konsep falsafah Yunani, seperti konsep ‘Tuhan’ dalam pemikiran Aristoteles. Baginya Tuhan bukan sekedar prima mover (pengerak pertama) sebagaimana anggapan Aristoteles, tapi juga Pencipta (al-Bariy), Yang Disembah (al-Ilah), Pembentuk (al-Shani‘), Maha Mengetahui (al-Khābir), Maha Kuasa (al-Qādir), dan Pertama dari Segala Permulaan (Awwal Awa’il).
Pandangan-pandangan saintifiknya yang sangat religius ini membantah anggapan kebanyakan pengkaji al-Haytham yang menilainya sebagai ilmuwan sekular atau penganut positivisme. Sebaliknya, ia adalah ilmuwan yang religius, meski di zamannya bukan termasuk golongan ulama.
Dalam kata penutupnya, Dr. Wendi Zarman, Direktur PIMPIN, sangat bersyukur atas terselenggaranya kajian ini dan bertekad akan terus menyuguhkan kuliah-kuliah penting lainnya. “Ke depan PIMPIN tetap fokus mengadakan special lecture dan kursus-kursus pandangan alam Islam lainnya,” ujarnya.*/Agus Dwi Saputro, Junior Research PIMPIN Bandung, Alumni ISID / UNIDA Gontor