Oleh: Desti Ritdamaya
Hidayatullah.com | KEBIJAKAN dibukanya sekolah tatap muka, kembali menuai pro kontra. Sebelumnya awal semester ganjil lalu, ketika pemerintah mengeluarkan SKB 4 menteri yang mengizinkan tatap muka untuk semua jenjang pendidikan di zona kuning dan hijau. Kali ini dengan SKB 4 menteri terbaru, pemerintah mengizinkannya untuk semua jenjang pendidikan di semua daerah (hijau, kuning, oranye dan merah). Keputusan ini berlaku mulai semester genap di bulan Januari 2021.
Nadiem Makarim selaku Mendikbud mengemukakan alasan pemberlakuan keputusan tersebut. Yaitu hasil evaluasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama 9 bulan yang memiliki banyak kendala dan berdampak negatif. Kendala tersebut tidak hanya dihadapi oleh orang tua dan siswa, tetapi juga para guru. Siswa yang tidak mempunyai gawai belajar; kesulitan keuangan orang tua membeli kuota internet; kesulitan orang tua dalam membimbing anaknya sehingga terjadi kekerasan fisik dan verbal; kekurangprofesionalan guru dalam akses teknologi dan lain sebagainya. Kendala ini semakin bertambah di daerah 3 T (terdepan, terluar dan tertinggal). PJJ sangat sulit dilakukan karena minimnya sarana dan prasarana untuk akses internet. PJJ yang terlalu lama dianggap berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan psikososial siswa. Terjadinya ancaman putus sekolah, penurunan capaian pelajaran, bahkan akan menyebabkan lost generation di masa depan secara permanen.
Bagaimanakah pandangan terbaik menyikapi kebijakan pemerintah ini ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Islam sudah memberikan panduannya dari hadist Rasulullah ﷺ.
إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Artinya : Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Jadi mau tidak mau, masyarakat harus merujuk pada pendapat para ahli terkait pembelajaran tatap muka pada masa pandemi. Dalam masalah ini pendapat ahli dapat diambil dari pakar kesehatan dan pakar pendidikan. Kemenkes melaporkan data 50.790 kasus anak Indonesia (usia 0-17 tahun) terinfeksi Covid 19. Angka ini lebih besar dari kelompok usia di atas 60 tahun yang hanya 47.666 kasus.
Sudah ada 238 anak Indonesia yang meninggal akibat Covid-19. IDAI melaporkan kematian anak ini tertinggi di Asia. IDAI juga menjelasakan bahwa anak-anak yang terkena Covid-19 akan mengalami kerusakan paru-paru dan berpengaruh pada kesehatannya di masa depan.
Anak-anak akan lebih besar terpapar Covid-19, karena anak-anak lebih sulit untuk melaksanakan protokol kesehatan. Sehingga IDAI menolak dilakukannya pembelajaran tatap muka secara langsung. Menyarankan anak-anak untuk tetap belajar dari rumah sampai nol kasus.
Bahkan epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai kebijakan pemerintah ini tidak realistis. Karena tingkat penularan Covid 19 masih tinggi yaitu di atas 10 %. Padahal WHO sendiri memberikan kelonggaran kegiatan di suatu negara jika positvy rate di bawah 5 %. Artinya sangat berbahaya bagi Indonesia jika memaksakan membuka sekolah (cnnindonesia.com 22/11/2020).
Bulan Juni Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI) melakukan survei di 34 provinsi dengan 1656 responden dari guru dan kepala sekolah. Hasilnya sebanyak 55,1 % sekolah belum siap dengan kenormalan baru dalam pembelajaran. Kendala yang dialami adalah kekurangan sarana prasarana penunjang protokol kesehatan dan anggaran.
Selain itu mayoritas sekolah tidak memiliki pedoman berperilaku bagi seluruh warga sekolah dalam memulai pembelajaran tatap muka (BCC.com, 23/11/2020). Sehingga sekolah tidak mampu menjamin keamanan guru, siswa dan TU untuk terhindar dari Covid-19.
Dari pendapat pakar kesehatan dan pendidikan ini, dapat diambil benang merah bahwa pembelajaran tatap muka secara langsung di sekolah belum aman. Masih menyimpan potensi bahaya yang mengancam jiwa warga sekolah.
Jika pemerintah memaksakan untuk dilaksanakan, dipastikan banyak sekolah akan melanggar protokol kesehatan. Klaster Covid-19 di sekolah pun akan kembali bermunculan.
Sudah ratusan guru yang terpapar Covid-19 bahkan ada yang meninggal. Pun banyak kasus sekolah buka pembelajaran tatap muka, tetapi tidak lama setelah itu ditutup kembali karena ada yang terpapar Covid-19.
Mengapa pemerintah keukeuh menerapkan kebijakan ini, mengabaikan pendapat ahli dan membiarkan Covid-19 memangsa lebih banyak warga sekolah? Ada dua alasan menurut penulis. Pertama, diakui atau tidak tata kelola pendidikan di negeri tercinta ini dilakukan secara sekuler kapitalistik.
Pendidikan dianggap ranah publik yang tidak terikat dengan aturan agama. Yang menjadi standar adalah sesuatu yang sifatnya nisbi seperti materi atau kemashlahatan. Seperti capaian belajar, angka partisipasi siswa, kualitas pendidikan dan lain sebagainya.
Standarnya bukan sesutu yang tidak nisbi seperti pahala atau dosa. Sehingga ketika ada siswa atau guru yang meninggal akibat Covid-19, para pemangku jabatan tidak merasa berdosa dan bertanggung jawab terhadap Allah SWT.
Kedua, pemerintah ‘sengaja’ menutupi ketidakmampuannya dalam menyelenggarakan PJJ. Pemerintah belum dapat menyediakan sarana prasarana yang memadai di seluruh tanah air. Sampai detik ini, kendala gawai belajar dan akses internet selama PJJ belum mampu diatasi oleh pemerintah.
Pandemi ini semakin membuka mata bahwa realitas pendidikan di Indonesia sudah menjadi lahan basah (komersialisasi). Realitas ini tidak bisa dinafikkan. Karena akses pendidikan secara adil dan merata belum menyentuh semua anak negeri. Akses pendidikan terutama pendiidikan tinggi masih hanya milik rakyat yang berpunya.
Solusi Islam
Menghadapi multi krisis (kesehatan, pendidikan, ekonomi) seperti sekarang memang tidaklah mudah. Tetapi syari’at Islam yang berasal dari Allah SWT Yang Maha Mengetahui akan mampu mengatasinya dengan solusi yang tepat dan adil. Rasulullah ﷺ bersabda :
لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل المرء المسلم
Artinya : “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, ketimbang terbunuhnya nyawa seorang Muslim.” (HR: Nasai 3987, Turmudzi 1455).
Ketika terjadi wabah penyakit menular yang akan mengancam jiwa manusia, kesehatan rakyat harus menjadi prioritas utama. Negara dalam Islam harus berorientasi menyelamatkan jiwa rakyat. Islam telah lama menerapkan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran wabah penyakit menular.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Dengan karantina wilayah ini pemerintah akan mampu memisahkan antara rakyat yang sakit dan sehat. Bagi daerah yang tidak terkena wabah akan dapat melaksanakan aktivitas publik seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan lain sebagainya secara normal.
Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan mendasar rakyat. Kebutuhan rakyat ini harus dipenuhi layaknya memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kewajiban negaralah untuk menjamin pendidikan rakyat sekaligus menyediakan sarana dan prasarananya secara memadai dan cuma-cuma.
Rasulullah ﷺ bersabda :
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya : “Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR: Bukhari).
Sebagai negeri yang mayoritas Muslim sudah seharusnya pemerintah tidak ragu untuk menerapkan solusi tersebut. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Penulis minat masalah sosial keagamaan