KEPALA seorang pria tersungkur ke aspal. Angin menyibak selembar koran yang menutupi kedua bola matanya. Di sampingnya, berjejer kepala-kepala lain dengan posisi yang sama. Sedikit lagi tengkorak mereka menyerempet roda-roda kendaraan. Beruntung tidak terjadi insiden serius.
Siang itu matahari menghambur panas. Ratusan manusia seakan cuek dengan pemandangan di atas. Situasinya memang darurat. Pengunjung Masjid Nurul Barkah 2 membeludak. Sebagian jamaah terpaksa shalat di area parkir beraspal. Kepala-kepala tadi adalah para pria yang bersujud di antara “shaf-shaf” sepeda motor.
Sebelumnya sekitar pukul 11.30 WIB, sebentar lagi masuk waktu shalat Jumat. Saya bergegas ke sebuah rumah ibadah di pojokan Terminal 2D Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta), Cengkareng, Tangerang, Banten. Di situ, sejumlah jamaah sedang melaksanakan shalat sunnah.
Hingga sekitar lima belas menit kemudian, tak ada tanda-tanda shalat jamaah akan digelar. Saya bingung. Sejak tahun 2006 menginjakkan kaki di DKI Jakarta, ini adalah kali pertama saya melewati waktu Shalat Jumat di pintu gerbang ibukota ini. Beberapa jamaah bernasib sama. Melihat ini, seorang penjaga sandal di situ langsung merespon.
“Jumatannya di masjid area parkir, pak!” serunya.
Tanpa basa-basi saya segera mengikuti jamaah lain menuju tempat dimaksud. Di dinding belakang saya, menempel sebuah tulisan berbunyi, “Musholla Al-Matar.” Pantas saja tak ada Jumatan. Jamaah yang shalat sunnah tadi tampaknya para musafir.
Jarak dari mushalla ke parkiran sekitar 150 meter. Saat mendekati masjid, sebuah jalan pintas sempit saya masuki. Sayangnya ada pagar kawat menghalang. Pagar ini harus saya putari untuk tiba di masjid, sekitar 100 meter bolak-balik. Jarak yang terasa jauh saat mendesak.
Tiba di tujuan masjid sudah sangat penuh. Bangunan berukuran sekitar 30×25 meter persegi itu tak mampu menampung entah berapa ratus jamaah yang hadir. Lalu lintas jamaah dari dan menuju tempat wudhu pun sangat macet. Tak ubahnya pasar senggol di malam lebaran.
Jamaah yang baru datang pada menggerutu. Seorang pria yang akan masuk ke tempat wudhu harus berteriak-teriak minta diberi jalan lewat. Tak ubahnya pedagang asongan.
“Ini mau shalat atau apa sih?” ketus pria lainnya.
Usai wudhu, saya dan puluhan jamaah lain memilih berdiri-diri saja di shaf bagian belakang masjid. Tak ada lagi tempat untuk kami duduk. Padahal khutbah Jumat telah berlangsung. Sementara jamaah seakan tiada habisnya berdatangan.
Kendala Master Plan
Ketidaknyamanan beribadah Jumat belum berakhir. Usai khatib turun dari mimbar, jamaah kembali kerepotan mengatur shaf. Pasalnya, hampir semua orang ingin masuk dalam barisan. Jamaah yang tak dapat shaf di depan tergeser ke belakang, yang di belakang semakin ke belakang, yang paling belakang terpaksa keluar ruangan. Tenda tambahan sepanjang empat meter juga penuh.
“Allahu Akbar!”
Imam memulai shalat. Saya dan beberapa jamaah belum juga berada di shaf yang tepat. Kerapatan shaf mirip shalat jenazah. Sementara shalat sudah dimulai. Dengan terpaksa saya segera melompat ke luar diikuti yang lain. Di area parkiran, seorang pria mulai ber-takbiratul ikhram. Sebuah tas punggung diletakkan di depannya sebagai alas sujud.
Melihat momen ini, segera saya potret sekilas dengan smartphone yang sejak tadi tergenggam. Lalu bergabung shalat di samping pria tersebut. Seorang jamaah lain yang ikut di situ berbaik hati memberikan selembar koran, saya gunakan sebagai alas. Tapi tak cukup untuk sujud. Saya pun membuka jaket, menghamparnya di atas aspal untuk alas tambahan.
“Aammiiin!”
Jamaah menjawab bacaan Surat Al-Fatihah imam. Tak beberapa lama ruku demi ruku berlangsung. Sujud demi sujud berlalu. Matahari membakar punggung kami. Kaos oblong yang saya kenakan untuk shalat bersimbah basah. Roda-roda sepeda motor menjadi saksi, siang itu shalat kami di luar kewajaran. Bukan lagi kekhusyuan yang menyertai. Terik dan keringat menemani.
Jamaah lainnya memilih shalat di emperan bangunan terpisah. Ada yang menempati halaman perkantoran kawasan bandara. Ada juga yang shalat di sela-sela taman. Sebagian beralaskan koran-koran yang dijual sejumlah remaja. Remaja-remaja ini juga menyediakan jasa penyimpanan alas kaki.
Usai Jumatan, saya mendatangi Esyandi, salah seorang jamaah Masjid Nurul Barkah 2. Dia mengaku situasi di atas terjadi setiap Jumat.
“Masjidnya kecil sih,” katanya.
“(Shalatnya) nggak khusyu. Yang penting dapat pahala, daripada nggak dapat tempat, kan,” gerutu Aris asal Jakarta, jamaah lainnya yang baru sekali Shalat Jumat di tempat tersebut. Dia terpaksa shalat di halaman belakang masjid dengan alas koran.
Sebagai seorang Muslim saya menilai, pelaksanaan Shalat Jumat tadi sangat ironis. Melihat label International Airport yang melekat pada Bandara Soetta. Sebagai jurnalis, kewajiban saya untuk mengadvokasi kepentingan umat.
Bergegaslah saya menemui pengurus masjid ini, di sebuah kamar tamu ruang takmir. Di situ saya diterima Ahmad Maehi, 45 tahun, Koordinator Masjid Nurul Barkah 2, ditemani salah seorang rekannya. Setelah memperkenalkan diri sebagai wartawan Hidayatullah.com, saya menyampaikan keluhan dan situasi Shalat Jumat di masjidnya. Apa kata dia?
“Menyikapi masyarakat tadi, keluhan itu, ya saya anggap baik dan kami pun sudah berjuang, tentunya sesuai dengan kemampuan. Kalau bicara mampu emang mampu. Ini bukan masalah mampu masalah materi, terus terang aja. Anda lihat dari kas keuangan pun yang kita umumkan, itu jelas, bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan ini tadinya kita akan pengurus buat lebih besar, tadinya lebih bagus, lebih layak, tapi tadi master plan-nya itu. Jadi kalau nggak salah semua itu hampir setengah miliar yang akan direnovasi (masjid). Akhirnya untuk menjelang Ramadhan ini, kami hanya sifatnya perbaikan saja. Terutama kawasan dalam,” jelas pria berjanggut itu panjang lebar.
Dia juga bilang begini, “Masalah parkir, otoritas bandara, jadi kita harus tahu, ya. Bukan otoritas masjid, bahkan seluruhnya otoritas bandara. Akan tetapi kita berusaha. Tetap tidak mengganggu parkir yang sifatnya umum. Supaya shalat bisa dilakukan dan motor pun bisa parkir. Karena itu arealnya cuma waktu Jumat. Karena dipakai untuk parkir. Yah, tentunya harapan-harapan ini kita sudah sampaikan dan pada prinsipnya orang Angkasa Pura (AP) 2 sendiri itu sangat memahami. Tapi karena sikonnya ini. Ini karena di sini adalah tempat publik, kita tahu, publik itu artinya masjidnya pun harus sesuai. Mau tidak mau bandara ini sebagai tempat awal singgah terutama orang yang dari luar.”
Usai mengkonfirmasi ke pengurus masjid, “emosi” kekecewaan saya pada pelaksanaan Shalat Jumat di tempat ini agak berkurang. Tentu tak sepenuhnya hilang. Di banyak kawasan publik yang saya jumpai pada berbagai kota, pembangunan masjid atau mushalla masih butuh perhatian lebih.
Saya meninggalkan Masjid Nurul Barkah 2 dengan perasaan berkecamuk. Selain khawatir seorang sahabat yang akan saya jemput terlantar di Terminal 2D Soetta, juga khawatir Shalat Jumat saya barusan “terlantar” di mata Allah Subhanahu wata’ala.
Pedagang Asongan di Bandara Internasional
Selepas Jumat saya bertemu Ivan, sahabat saya, yang baru tiba dari Yaman. Setelah menjemputnya di Terminal 2D Kedatangan Internasional, saya mengantarnya ke Terminal 1C Keberangkatan Domestik selepas Ashar.
Ivan hendak melanjutkan perjalanan ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Pukul 17.11 WIB dia masuk ke ruang check in bandara. Sebelum kembali ke Jakarta, saya menunggu waktu Maghrib di sebuah mushalla Terminal 1C Bandara Soetta.
Harapan saya di tempat ini disediakan buka puasa bersama (bukber), sebagaimana yang lumrah didapati di berbagai tempat-tempat umum se-Indonesia saat Ramadhan. Apalagi dari pengeras suara, diumumkan bahwa pihak AP 2 menyediakan bukaan puasa tanpa menyebutkan tempatnya.
Pengalaman saya Ramadhan 1433 H lalu saat buka puasa di bandara ini, petugas menyediakan sekotak makanan ringan dan segelas minuman untuk tiap orang. Tapi itu di area ruang tunggu dan khusus calon penumpang.
Sementara sore itu, hingga sebentar lagi waktu Maghrib tiba, tak ada tanda-tanda saya lihat akan ada bukber di mushalla bandara. Bertanyalah saya pada orang sekitar.
“Bang, di mushalla ini ada buka puasanya, nggak?”
“Di mushalla nggak ada,” jawab seorang satpam bandara.
Saya lihat seorang pemuda berjalan membawa gorengan dan segelas teh panas. Tampaknya dia hendak berbuka puasa. Saya telusuri di mana dia mendapatkan menu tersebut.
“Di sana di balik mobil-mobil,” ujar pemuda itu saat saya tanya. Dia menunjuk area parkir C7 Terminal 1C.
Dari tempat saya berdiri, di parkiran tersebut terlihat deretan mobil-mobil. Saya bergeser ke situ. Melewati barisan pertama, belum ketemu. Setelah barisan mobil kedua, baru tampak kerumunan orang. Orang-orang itu kebanyakan berseragam merah muda, khas porter bandara. Sebagian lagi para pria yang berkepentingan di kawasan ini. Mereka mengelilingi seorang wanita penjual yang menjajakan berbagai macam makanan dan minuman.
Mulai teh panas, air mineral, susu, nasi campur, gorengan, kolak pisang, kue-kue dan sebagainya dihampar di atas taman mini penghias parkiran. Tak ubahnya pedagang asongan di terminal. Posisi penjual ini sangat strategis, tersembunyi di antara mobil-mobil. Seorang pria membantunya.
Ketika air panas dalam termos yang disediakan habis, seorang pembeli menggerutu. Tapi ibu penjual meminta tenang. Pria partner kerjanya lantas membuka bagasi belakang sebuah mobil pribadi yang terparkir di samping jualannya. Saya kaget, dalam bagasi itu memuat barang-barang serupa yang dijualnya. Rupanya dia sudah menyetok banyak. Dan mobil tadi, tampaknya juga berfungsi melindungi jualannya dari pemandangan di luar.
Saya memesan segelas kolak pisang, harganya Rp 7 ribu. Sambil menunggu waktu berbuka, saya duduk di atas taman mini dekat penjual tersebut. Ketika waktu Maghrib semakin dekat, pembelinya semakin banyak. Sejurus kemudian, mereka saling menginfokan jika waktu berbuka telah tiba. Saya dan para shoimin lainnya segera membatalkan puasa. Kami duduk lesehan di atas aspal, sebagian ada yang berdiri.
Saya duduk di dekat seorang porter, namanya Aminuddin. Sambil menikmati bukaan, saya mengobrol sejenak dengannya. Kata dia, penjual buka puasa tersebut sudah lama menempati lahan parkir ini. Dia dan kawan-kawannya pun merasa terbantu dengan adanya pedagang kaki lima ini.
“Di sana ada juga,” ujar pria yang sudah dua tahun menjadi porter ini, seraya menunjuk ke area parkir C6.
Bahkan menurutnya, di setiap terminal situasi seperti ini ada. Dia pun menyayangkan mushalla bandara yang tak menyediakan hidangan buka puasa.
Bagi saya senja itu lebih mirip di emperan pasar, bukan di sebuah bandara internasional. Selepas Shalat Maghrib dan Isya di mushalla, saya segera pulang ke Jakarta. Di luar kaca Bis DAMRI tujuan Pasar Minggu yang saya tumpangi, lampu-lampu kota begitu indah.
Hingga Catatan Ramadhan ketiga ini saya rampungkan di akhir bulan puasa, kepala saya masih tersungkur. Tersungkur di atas dua lembar ironi pada Jumat, 26 Juli 2013 itu, tepat di hari ke-17 Ramadhan 1434 H. Semoga Ramadhan selanjutnya tak ada lagi kisah-kisah ironi pengelus dada.*