PERCAKAPAN saya mengembalikan ingatannya pada masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang tidak Ia buka pada sembarang orang karena menyisakan pahit di dada. Di atas penyesalan yang dalam, ia kini berharap dapat membuka lembaran hidup baru. Tanpa narkoba, tanpa minuman keras dan tanpa segala pergaulan bebas. Bahkan menjauh dari hiruk pikuk kehidupan malam. Ia , kini bahkan bisa lebih fokus mengurus rumah tangganya. Terus menerus mendekat pada Allah Subhanahu Wata’ala yangtelah menjadi prioritas hidupnya.
“Saya kalau ingat masa lalu itu, ngeri. Sampe mikir…ya Allah aku pernah berbuat seperti itu,” tutur wanita cantik berdarah Manado-Sunda itu. Kedua tangannya sesekali menutupi wajahnya. Penyesalan tampak pada wajahnya.
Dewi, sebut saja demikian, mengingat kembali masa lalunya yang buruk, ketika di bulan Ramadhan, yang seharunya adalah bulan suci dan bulan ibadah meminta ampunan
“Aku sewaktu-waktu masih mengalami lupa seketika. Saat mau ke Tanah Abang lagi nyetir, tiba-tiba lupa mau kemana dan lagi berada di mana,” ulasnya.
Setelah mengucapkan istighfar berkali-kali dan berusaha menenangkan diri, memorinya muncul lagi.
Susu, air mineral, obat flu, sepatu, sandal, shampoo, alat mandi dan makanan ringan, siap masuk ke dalam tas. Tentu saja beberapa stel baju lengkap dengan ornamennya, menjadi kebutuhan pokok yang juga harus dibawa.
Gadis berkulit kuning langsat mulus dengan pakaian serba mini itu mempersiapkannya laiknya akan pergi keluar kota. Setiap closingan dipersiapkannya dengan matang.
Tangannya tak henti menghubungi teman-temannya via SMS. Jaringan komunikasi yang intens dilakukannya.
“Closingan nanti kita kemana, cong?” Dalam pesan singkatnya. Cong atau cuy, adalah bahasa akrab di antara anak gaul Jakarta.
Closingan biasanya diadakan oleh klub-klub malam dalam rangka penutupan sementara di bulan Ramadhan.
Bagi para penggila klub malam closingan merupakan malam-malam panjang menjelang bulan suci Ramadhan. Selama 24 jam setiap harinya, musik tanpa henti berdentang. Selama seminggu itu pula-lah, banyak orang membawa perlengkapan menginap seperti yang dilakukan Dewi.
Klub yang dipilih Dewi menyediakan fasilitas hotel yang terletak diatas lantai dansa.
Selama Ramadhan dugem ditiadakan. Closingan akan tergantikan dengan opening jika masuk seminggu setelah hari raya. Closingan dan opening merupakan momen yang paling ditunggu para clubbers. Sangat ditunggu karena di sana ada musik yang sudah diracik para DJ menjadi ritme yang membuat mereka kerajingan. Malam yang makin merayap justru menambah kepadatan pengunjung. Badan mereka satu sama lain berhimpitan. Suatu kondisi yang berbeda dibanding hari-hari sebelumnya. Di luar bulan suci, jumlah clubbers yang datang atau bahkan menginap sampai keesokan harinya, tidak sebanyak itu. Mereka masih leluasa berjoget tanpa harus bersenggolan dengan tubuh lainnya.
Pilihan closingan jatuh pada sebuah klub yang berada di Jakarta Pusat. Menurut Dewi, klub itu adalah klub yang dirasanya sreg.
“Lagu-lagu di sana enak-enak, mbak. Ada lagu remix, R&B dan lagu ciptaan DJ-nya,” ungkap perempuan 26 tahun itu. Itulah mengapa Ia dan gerombolan teman-temannya lebih memilih klub malam di Jakarta Pusat.
“Ada juga, sih teman-teman yang milih closingan di Selatan. Tapi, buat aku yang lebih enak closingan di Pusat,” katanya.
Lokasi Selatan yang dimaksudkannya disini adalah lokasi klub di Jakarta Selatan. Menurutnya, ada perbedaan karakter lagu yang disajikan diantara kedua lokasi tersebut.
Nama-nama yang menyatakan hadir sudah didapat. Lokasi pertemuan dan waktu sudah ditentukan. Jam 11 malam, mereka memasuki lokasi klub yang dituju. Satu kamar telah dibooking untuk menginap empat-lima orang.
Menutup Bulan Berkah dengan Ektasi
Berbeda dengan kaum Muslim yang taat menyambut Ramadhan dengan memenuhi masjid-masjid, mengajak anak-istri menghadiri majelis-mejelis ilmi, kaum clubbers jusru menanti-nanti saat closing tiba dengan pesta alcohol, ekstasi dan esek-esek.
Riuhan suara penggila musik membumbung sampai ke langit-langit. Ratusan orang berhimpitan. Terasa sesak karena inilah momen penutupan. Mereka tak ingin melewatkannya. Dentingan gelas dan botol minuman keras menjadi peneman malam yang makin hangat. Pil-pil ekstasi disebar. Transaksi mulus dilakukan dalam keremangan. Asap rokok semakin pekat, merayap pelan dalam partikel udara. Pesta, musik dan cinta ada di sana.
“It’s time for closing!” begitu semangat mereka yang sudah memuncak.
Untuk pesta closingan seperti ini, menurut Dewi, jutaan rupiah melayang dalam semalam. Maklum, harga hotel di dalam klub beragam. Mulai dari Rp.100 ribu sampai 400 ribu/malam.
“Dapet 100 ribu/malam untung-untungan. Sudah banyak dibooking untuk yang esek-esek alias yang pada mau begituan,”papar Dewi.
Menurut Dewi, sudah menjadi pemandangan yang biasa melihat muda-mudi bermesraan. Apalagi ketika narkoba masuk dalam tubuh, sudah tidak berpikir mana tempat yang pantas untuk berasyik-masyuk.
“Di dalam lift saja, sudah bisa lihat pemandangan yang enggak pantes,” tuturnya. Karena itulah harga kamar Rp.400 ribu/malam yang diambilnya. Itu baru semalam, bagaimana jika mereka habiskan bermalam-malam di sana?
“Rabu masuk, minggu keluar. Minimal Rp.2 Juta cuma untuk kamar,” katanya. Pandangan Dewi menerawang. Belum lagi untuk membeli ekstasi dan air mineral. Air mineral? Menurut Dewi Air mahal. Sebotolnya bisa sampai 25 ribu waktu itu.
“Kita bisa mati kalau enggak minum karena joget terus, nenggak minuman keras dan narkoba,” tuturnya. Dalam semalam sekitar tiga juta bisa melayang.
“Kala itu, kami bantingan (sumbangan) berlima,” tuturnya.
Masa Kelam
Closingan adalah masa lalu yang kelam bagi Dewi. Ia sudah memulainya sejak masih menjadi Account Executive disebuah perusahaan. Beberapa tahun sebelum ia mengikuti closingan, Dewi sudah masuk dalam jeratan narkoba. Perkenalannya dengan narkoba dimulai sejak ia masih kuliah.
Di klub yang sama pula ia mengenal cecek, istilah familiar untuk ekstasi. Sebelumnya walaupun ia bergaul dengan para pemakai, namun ia membatasi diri hanya sampai pada minum-minuman beralkohol.
“Sebetulnya aku anti banget masuk ke klub yang satu itu. Duh, jangan sampai, deh. Awalnya ada teman yang mengajak ke sana. Oke deh cuma nikmatin musiknya aja. Lama-lama ada tawaran ekstasi gratis. Aku tolak tapi akhirnya luluh juga dan ketagihan,” ulas Dewi mengenang.
Mulai dari cecek, meningkat pada ganja. Dewi mengaku tidak cocok dengan ganja. Tidak terlalu memberi efek pada tubuhnya. Satu demi satu narkoba dicobanya. Happy Five, Shabu dan Kokain juga pernah mengalir dalam darahnya.
“Tapi aku enggak kuat nyabu. Kalau sudah nyabu, badan ini kurus tinggal tulang doang,”ulasnya. Di antara merek narkoba, hanya dengan ekstasi-lah tubuhnya mau bersahabat.
Demi masih terkenang, di malam-malam yang panjang bagi seorang Muslim merupakan saat mustajab. Terutama di sepertiga malam terakhir ketika Malaikat turun dari langit untuk mengabulkan doa-doa hambanya, justru saat itulah para clubbers menyebutnya malam paling indah.
Sekitar pukul 02.00 sampai Subuh adalah waktu paling mengasyikkan. Makin merambat pagi, musik berdentang makin gaduh dan suasana menjadi panas.
“Berjam-jam kami joget dan minum. Joget lagi, minum lagi sama make cecek. Kalau udah teler kami naik ke kamar. Walaupun cuma tidur sejam, tapi jadi lebih seger,”ungkapnya. Setelah tidur, mereka minum susu dan air mineral.
Kaum clubbers juga menjaga vitalitas dan kebersihan tubuh. Itulah mengapa dalam perbekalan mereka membawa susu, obat flu dan koyo dan peralatan mandi. Suatu hal yang kontradiktif sebetulnya. Apa yang mereka kerjakan setiap malamnya justru akan merusak tubuh dalam jangka panjang.
“Pokoknya lengkap deh. Supaya bisa tahan joget sampe pagi,”ucapnya. Bahkan waktunya sarapan pagi juga digunakan untuk joget. Benar-benar non-stop. Dan dipastikan semua waktu-waktu shalat wajib terlewatkan sudah.
Ada saatnya ketika mereka sedang tidur di hotel, tiba-tiba saja terbangun. Seperti terkaget-kaget. Itu biasanya terjadi ketika masih ada unsur narkoba dalam tubuh sementara telinga sayup-sayup mendengar musik yang berasal dari klub.
Dus, dilain waktu, ketika dalam keadaan sadar sedang menikmati makanan, tiba-tiba terdengar musik favorit mereka dimainkan, serta merta makanan akan ditinggalkan.
“Bisa tuh, aku dan teman-teman langsung ngacir ke lantai bawah. Joget lagi,”ucapnya. Bahkan Ia pernah turun untuk berjoget ketika kepalanya masih terlilit handuk paska keramas.
“Saking nge-hits lagunya. Gak tahan buat joget. Lupa kalau masih ada handuk di kepala,”paparnya.
Kehidupan Vampire mengancam rumah-tangga
Berhari-hari Ia berada di dalam ruang tertutup yang gelap, tiba masanya ia harus pulang. Biasanya Dewi keluar klub sehari sebelum puasa Ramadhan dijalankan oleh umat Muslim sedunia. Kebiasaan clubbing, membuat Dewi hidup vampire, sang drakula yang hanya bisa tahan hidup di bawah gelap-gulita dan tidak tahan sinar matahari.
“Aku sudah seperti drakula. Sulit melihat matahari. Badan ini rasanya remuk semua. Mulai dari ujung kaki sampai kepala, penuh dengan koyo,”ulasnya.
Sampai di rumah, Ia hanya tidur. Tak ada yang dilakukannya selain itu. “Aku enggak bisa bangun, mbak! lebih banyak dibawah selimut. Capek luar biasa dan sakit sekali badan ini,”ulasnya. Totalitas dalam closingan sukses membuat Dewi tidak berpuasa Ramadhan hari pertama dan kedua. Pada hari ketiga Ramadhan-lah Ia mulai sanggup menahan lapar dan dahaga.
“Sebetulnya percuma juga puasa karena cuma ritual saja. Enggak ada hikmah dibalik puasa aku itu,”ucap Dewi menyadari.
Ia kini bersungguh-sungguh menjalani kehidupan bersama sang suami. “Dua tahun terakhir ini adalah masa-masa indah-ku dengan suami. Sebelumnya aku enggak pernah ngurusin dia. Setiap ia pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan kantor, aku pasti larut dengan teman-teman,” tuturnya dengan nada penyesalan.
Dahulu, bergumul dengan minuman keras dan ekstasi adalah kesukan yang dilakukan bersama teman-temannya. Bahkan menurut Dewi jika ia tidak diberi uang, ia mengamuk seraya menunjuk-nunjuk wajah sang suami.
Bukan sedikit uang yang dimintanya. Bahkan bisa mencapai jutaan.
“Waktu itu suamiku tidak tahu uangnya dipakai untuk apa saja. Aku bilang uangnya habis dipakai hangout sama teman-teman,”ucapnya dengan suara yang parau.
Setiap suaminya pulang kerja, Dewi lebih sering tidak ada dirumah. Selalu di atas jam 12 malam ia pulang ke rumah. Padahal suaminya sudah pulang tidak lama setelah adzan Isya berkumandang.
“Totally kalau mau dibilang, aku engga pernah mengurusi dia. Sarapan pagi, dia buat sendiri. Makan malam dia beli di luar,” ulasnya.
Bertahun-tahun kehidupannya seperti itu. Suaminya hanya diam dan menuruti semua permintaannya.
Tentu ada batas kesabaran bagi seorang suami, yang merupakan imam dari sebuah keluarga. Pria penyabar yang sangat mencintai isterinya itu akhirnya angkat bicara. Suatu hari akhirnya sang suami bicara tegas.
“Selama ini apa yang sudah Bunda lakukan buat Ayah? Apa? Padahal bagi Ayah, Bunda itu segalanya,” suara suaminya meninggi.
Kedua wajah tegang suami-isteri itu saling berhadapan. Malam itu mereka bertengkar hebat. Segala uneg-uneg selama dua tahun berumah tangga, tumpah ruah.
“Aku belum pernah melihat suamiku marah sehebat itu. Saat itu aku lebih banyak diam. Biasanya aku yang teriak marah-marah dan dia diam,” tutur Dewi.
Matanya berkaca-kaca. Dewi tak menyangka pagi dini hari suaminya memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas, dan pergi meninggalkannya. Pernikahan mereka terancam karam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Saat itu aku bingung mau ngapain. Akhirnya aku curhat sama teman. Aku pergi ke kosannya,”ungkap Dewi.
Kejadian malam itu sangat menohoknya. Ternyata ia merasa kehilangan. Suami yang selama ini ia sia-siakannya, menjadi amat berharga. Akhirnya ada suatu kesadaran bahwa ia membutuhkan lelaki yang usianya terpaut 17 tahun darinya itu. Alhamdulillah pernikahannya masih bisa terselamatkan.
Kini Dewi telah berubah sama sekali. Ia ingin tutup buku pada noda hitam dalam lembaran hidupnya. Sudah setahun terakhir ini ia bahkan berhijab. Kecantikannya tetap terlihat dengan jilbab pasmina terjulur sampai kedua siku lengannya tertutupi. Lebih bersahaja dengan gamis panjang menutupi mata kaki. Tanpa polesan make-up, Dewi ingin tampil apa adanya. Ia tetap nampak cantik.
“Sekarang aku lebih nyaman di rumah. Ingin fokus jadi Ibu rumah tangga. Fokus melayani suamiku dan beribadah,”ucapnya.
Mumpung belum dititipi amanah keturunan, mereka memanfaatkan setiap momen bersama. Rutinitas sehabis shalat Shubuh dimulai dengan berbelanja ke pasar. Berjalan kaki berdua menambah kemesraan.
“Aku belanja, suamiku ikut mengantar sembari jogging,”ucapnya. Senyumnya terus merekah saat membicarakan kehidupannya sekarang.
Selepas suaminya berangkat ke kantor, Dewi mengisi kesendiriannya di dalam apartemen dengan membaca berbagai buku tentang Rasulullah Shallallahu ‘alahi Wassalam. Berdzikir dan mengkaji al-Quran, menjadi rutinitasnya sehari-hari.
Manisnya Hijrah
Pasca hijrahnya, Dewi banyak mengejar berbagai kajian keislaman. Ada dahaga yang mendesak untuk segera dipenuhi, yaitu dahaga untuk lebih mengenal Allah Subhanahu Wata’ala.
Momen hijrah, dianggap Dewi sebagai momen termanisnya. Ia mengalami apa yang disebut sebagai kecanduan shalat.
“Ustadz suamiku bilang, ada shalat Taubat. Bisa dilakukan sebanyak-banyaknya,” terangnya. Beberapa bulan sejak hijrahnya, ia melakukannya. Dalam sehari ia bisa melakukan 50 rakaat shalat Taubat. Dewi hanya berpikir, bagaimana ia bisa mendapat ampunan Allah dan menjalani hidup dengan tenang.
Untuk memutus semua kontak teman masa lalunya, ia hapus dan menjual Blackberry dan menggantinya dengan yang baru.
“Cuma teman-teman yang benar-benar tulus berteman dan jauh dari hal-hal begituan, yang aku save nomornya,”ulasnya. Ada juga satu-dua nama teman yang dulu sering berpesta bersama, masih ia simpan nomor kontaknya.
“Itupun sangat jarang kami kontak. Pernah sesekali dia tanya kabar dan mengenai hijrah-ku,” ucapnya. Tapi Dewi membatasi komunikasi dengannya.
Lembaran baru kini ditapakinya. Ada rasa ngeri membayangkan jika meninggal dalam keadaan belum bertobat.
“Setiap minggu pasti ada saja kabar temanku meninggal karena OD (over dosis),”nada suaranya merendah. Kepalanya tertunduk. Kenyataan itu ikut menyadarkannya untuk segera bangkit.
“Tinggalkan semua atau tidak sama sekali!”ucapnya. Jika hanya mengurangi dosis narkoba atau frekuensi clubbing, maka seseorang tidak mungkin bisa lepas dari jeratan lembah hitam. Kini ia tak ragu menepiskan berbagai tawaran nongkrong di kafe.
“Rata-rata yang diobrolkan kalau nongkrong sama teman-teman, ya seputar gosip. Nantinya malahan banyak ngomongin orang lain, ghibah,”ujarnya.
Ia kini menyadari lingkungan pergaulan justru pemberi andil dan dampak besar dalam hidup. Ia bersyukur menemukan teman-teman baru yang mendekatkannya dengan al-Quran. Sudah enam bulan terakhir ini Dewi terdaftar sebagai siswa di salah satu Lembaga Tahfidz Quran. Selain itu ia sudah merencanakan bisa memulai tahun 2014 dengan belajar bahasa Arab.
“Bismillah. Mohon doanya,”ulas Dewi tersenyum. Ia juga berharap, Ramadhan ini ada keberkahan yang diturunkan Allah baginya dan suaminya.*/diceritakan pada Rias Andriati