PUKUL lima sore lewat setengah jam, rinai hujan membasahi jalanan hitam. Seperti biasa, lalu lintas di Jalan Ragunan padat mengular. Dari perempatan Masjid Al-Ikhlash Jatipadang, iring-iringan sepeda motor bergeser ke Jalan Simatupang.
Di jalan yang lebih besar ini, tepat di turunan kedua sebelum fly over Tanjung Barat, tiba-tiba para pengguna jalan dihadang sekelompok orang. Para penghadang itu mengacung-acungkan benda mengkilap. Situasi ini membuat senja di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu menjadi tak biasa.
Saat hendak mengisi bensin di SPBU dekat situ, saya termasuk yang dikejutkan para penghadang. Sekitar lima orang pria berdiri di tepi jalan, di antara mereka mengangkut kardus-kardus. Kardus itu berisi makanan ringan, dibalut plastik bening yang mengkilap diterpa lampu kendaraan. Mereka tak lain para relawan yang membagi-bagikan menu bukaan puasa.
Sore itu adalah kali pertama saya menjajaki kawasan ini sepanjang Ramadhan 1434 H. Biasanya saat melintas di sini, sore adalah waktunya macet. Kali itu lalu lintas Jalan Simatupang lancar-lancar saja.
Saya segera menghampiri para relawan, menerima satu bungkusan. Lalu bergegas memacu kendaraan ke arah selatan. Waktu di smartphone saya menunjukkan pukul 17.44 WIB, sekitar 10 menit jelang azan Maghrib. Saatnya mencari masjid terdekat untuk singgah berbuka dan shalat.
Namun keinginan itu terhambat. Begitu melewati Jalan Raya Tanjung Barat, lalu lintas kembali padat merayap. Di sebelah kiri saya, menara sebuah masjid terlihat dari kejauhan. Sayang, padatnya jalan memaksa saya tetap berada di lajur kanan.
Meraup Untung Ramadhan
Bagi para pelanggan jalan raya rute Jakarta-Depok tiap sore, macet bukanlah pemandangan aneh. Tak cuma pada hari-hari kerja sepanjang Senin-Jumat. Hari libur pun macet kerap menjebak.
Apalagi saat masuk Ramadhan. Saat senja paling ditunggu-tunggu umat Islam. Ketika itu biasanya kemacetan meningkat tajam. Berhubung para pengguna jalan sama-sama ingin sampai secepatnya, menanti buka puasa di rumah masing-masing.
“Bagaimana jika azan Maghrib keburu tiba sebelum sampai di tujuan?”
Pertanyaan ini terbetik dalam batin saya pada Sabtu, 20 Juli 2013, itu. Perhitungan waktu tempuh setengah jam dari Pasar Minggu menuju Depok, tujuan saya, dipastikan tak tercapai. Baru saja melintasi Tanjung Barat, macet mencegat.
Apa daya, sebelum ketemu masjid, matahari keburu pergi. Berganti gelap menutupi langit yang semakin pekat. Jika sampai terlambat berbuka di masjid, alamat Shalat Maghrib juga akan telat. Betul saja. Sayup-sayup azan terdengar dari kejauhan. Saya pun memilih singgah di tepi jalan untuk berbuka.
Segendang sepenarian, rupanya para pemotor lainnya banyak yang singgah. Mereka memarkir kendaraan di pinggir jalan. Membatalkan puasa sejenak dengan menu masing-masing.
Menariknya, situasi di hari ke-11 bulan puasa itu dimanfaatkan para pedagang untuk meraup untung. Mereka menjual berbagai jenis makanan dan minuman di pinggir jalan. Mulai minuman isotonik hingga makanan berat macam bakso tersedia. Keberadaan mereka tak disia-siakan pengendara yang berpuasa.
“3 botol Rp 10.000,” bunyi promosi sebuah poster minuman isotonik terkenal.
Beberapa karyawannya menawarkan produk mereka ke para pengguna jalan. Saya cuek saja. Bungkusan dari relawan tadi segera saya buka. Isinya dua biji kue basah, dua biji kurma dan segelas air mineral. Lumayan.
Yang menarik perhatian saya, tutup air gelas itu bergambar seorang tokoh nasional yang sedang tersenyum. Bajunya koko putih, berpeci hitam. Di pecinya tertulis dua huruf besar warna putih.
“HR,” inisial seorang menteri yang ramai diperbincangkan media sebagai calon presiden.
Saya mafhum, mengingat relawan tadi membagi-bagikan bukaan puasa di depan sebuah gedung bertingkat. Di halaman gedung itu, berdiri sejumlah baliho besar dengan foto seseorang, parasnya sama dengan gambar di tutup air gelas yang saya pegang.
Apa pun niatan di balik hadirnya bungkusan buka puasa ini, saya berharap Allah Subhanahu wata’ala membalas amal baik para dermawan.
Mendadak Baik
Karena belum ketemu masjid, saya hanya menghabiskan kurma dan air mineral untuk berbuka. Sisanya disantap kemudian. Perjalanan pun berlanjut.
Hingga masuk kawasan Lenteng Agung, lagi-lagi sekelompok pria menghadang para pengendara. Mereka membawa termos, kardus dan nampan berisi air mineral dan kurma.
“Ayo, Pak, buka puasanya. Silahkan!” seru mereka.
Satu per satu pengguna jalan memperlambat laju kendaraan untuk mengambil tawaran gratis itu. Setelah dapat, tancap gas lagi.
Para pria itu menawarkan “dagangan” kebaikan. Mereka juga memanfaatkan situasi macet untuk meraup keuntungan. Tentu berupa pahala memberikan bukaan puasa.
Sekilas saya lihat, tutup air gelas yang mereka tawarkan hanya bergambar logo sebuah merek minuman. Bukan gambar foto seseorang. Saya pun berharap Allah membalas setimpal kebaikan mereka.
Ramadhan memang penuh berkah. Inilah yang diburu segenap kaum Muslimin. Tak aneh jika banyak orang yang intensitas ibadah dan kebaikannya meningkat drastis di bulan pengampunan ini.
Momen itu pun tak saya sia-siakan. Kamera DSLR yang sedari tadi diam di sangkarnya segera saya aktifkan. Walau macet, saya sesekali berhenti, menepi, lalu mengangkat kamera untuk menjepret. Wartawan foto media manapun termasuk Hidayatullah.com, selalu tak ingin kehilangan momen.
Kemacetan mulai terurai di sekitar tempat putaran balik kendaraan, setelah Stasiun Lenteng Agung. Beberapa ratus meter dari situ, baru ketemu apa yang saya cari-cari.
“Masjid Agung Nurul Huda,” tulisan besar yang terpampang di dinding luar sebuah bangunan megah.
Bangunan itu berada di Jalan Lenteng Agung Timur, beberapa meter setelah pertigaan yang membelah Jalan Lenteng Agung. Lepas senja itu adalah kali kesekian saya singgah di rumah suci ini. Selain hendak menunaikan Shalat Maghrib berjamaah, hajat lain sedang saya rencanakan.
Masjid ini juga dihuni para dermawan. Begitu saya hendak memarkir kendaraan, petugas parkirnya langsung menawari saya berbuka puasa.
“Silahkan, Pak, makanannya masih banyak,” ujarnya usai menyerahkan kartu parkir.
Saya senyum-senyum, menyembunyikan keterkejutan. Mengapa dia tahu salah satu tujuan saya singgah di sini? Batin saya. Mungkin dia sudah paham, saya jawab sendiri.
Kolak Pisang
Shalat Maghrib berjamaah di lantai dua berlangsung khidmat. Doa-doa dipanjatkan masing-masing oleh kaum Muslimin. Selepas ritual suci, saya dan beberapa jamaah menghampiri teras depan masjid di lantai satu. Di situ terdapat sebuah meja panjang, di atasnya berderet puluhan gelas berisi kolak pisang. Setelah basa-basi, jamaah masjid yang berkerumun di situ mempersilahkan saya untuk mengambil segelas.
Sejurus kemudian, kenikmatan kolak pisang sukses memuaskan kerongkongan. Alhamdulillah! Sungguh, kenikmatan tak harus dibeli dengan uang miliaran. Kenikmatan ini yang sejak tadi saya idam-idamkan. Kebanyakan masjid yang menyediakan buka puasa, kolak khas Jakarta ini memang jadi menu andalan.
Hingga sekitar pukul enam sore lewat setengah jam, kebutuhan rohani dan jasmani saya telah terpenuhi di Masjid Agung Nurul Huda. Sebuah acara silaturrahim menanti saya di Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Sementara itu di jalan raya, puluhan, belasan, bahkan ratusan kendaraan roda dua dan roda empat melaju kencang. Deru suaranya menyisakan bising yang hilang dan muncul silih berganti.
Seperti halnya Ramadhan yang datang dan pergi. Meninggalkan jejak-jejak kebaikan bagi Muslim yang beruntung, atau jejak-jejak kebuntungan bagi mereka yang merugi. Dalam perenungan saya, hari itu memang bukan senja biasa.*