MALAM itu suasana lain terhidang di Masjid Ummul Quraa, Cilodong. Ratusan jamaah sudah berdiri hendak menunaikan shalat Isya. Ini adalah waktu Isya pertama di bulan Ramadhan 1436 H. Tapi tak sebatas itu yang membuat malam jadi berbeda.
Kebiasaan di Ummul Quraa hari-hari sebelumnya, setiap habis azan Isya langsung iqomat lalu shalat fardhu. Namun, Rabu (17/06/2015) itu, para jamaah mesti menunggu dulu beberapa menit. Bukan apa-apa, yang ditunggu adalah seorang imam spesial.
Ialah Syeikh Na’im Abdullah Sulaiman Abu Shindhi, pria asli Palestina kelahiran Irbidh, 26 Agustus 1971. Ia datang ke Indonesia untuk mengimami shalat fardhu, tarawih, dan tahajud di berbagai masjid selama Ramadhan. Ummul Quraa kebagian jatah sebagai masjid pertama di malam pertama bulan suci tahun ini.
Momen langka ini pun disambut antusias oleh para jamaah masjid di bilangan Jl Raya Kalimulya, Depok, Jawa Barat itu. Pengamatan hidayatullah.com, saat mereka telah menyusun shaf, calon imam sudah berjalan kaki mendekati masjid.
Tak lama kemudian….
“‘Abasa watawallaa. Anjaa ahul a’maa….” Na’im melantunkan ayat demi ayat al-Qur’an dalam Surat Abasa. Dilanjutkan Surat al-Maa’un pada rakaat berikutnya. Suara merdunya menambah kesakralan ibadah para jamaah.
“Duet” Imam
Keesokan harinya, Kamis (18/06) pagi dinihari. Syeikh Na’im kembali melangkah menuju Ummul Quraa. Pria tinggi besar ini ditemani Amin Insani, penerjemahnya. Keduanya sama-sama menginap di guest house Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, sekompleks dengan masjid.
Begitu tiba di tujuan, jam dinding digital depan mihrab masih menunjukkan sekitar pukul 01.54 WIB. Namun, seperti dituturkan Amin, ruang utama masjid sudah diramaikan para jamaah. Na’im pun shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat.
Tak beberapa lama, datang Dr Abdul Mannan, ustadz senior di masjid itu. Lampu-lampu pun dimatikan kecuali bagian teras. Seketika ruangan jadi temaram. Sesaat kemudian Na’im sudah di depan barisan para jamaah yang awalnya berpencar. Pukul 02.00 WIB, sesuai jadwal, dimulailah shalat tahajud berjamaah.
“Allahu Akbar!”
Suara Na’im, sang imam, diiringi takbir oleh hampir ratusan santri, mahasiswa, ustadz, serta warga. Gerakan seirama para pria itu serasi dengan pakaian putih kebanyakan mereka. Perlahan, jamaah lain berdatangan hingga tiga shaf.
Shalat tahajud 11 rakaat termasuk witir itu berlangsung selama sekitar 1,5 jam. Pada rakat keempat, sesuai permintaan Na’im, posisinya diganti oleh Imam Rawatib Ummul Quraa, Aminullah. Pada sesi witir, sang syeikh kembali mengimami shalat.
Kedua imam itu membaca Surat al-Baqarah 1 juz pertama, serta untuk witir Surat al-A’laa, al-Kafirun, dan al-Ikhlash. Awak media ini turut merasakan kesyahduan dalam ibadah tersebut.
Mengenai alasan Na’im “berbagi posisi”, menurut kesimpulan Amin berdasarkan obrolan dengannya, syeikh bersanad tersebut ingin bersikap tawaddu.
“Beliau nggak mau ‘sombong’ karena membaca 1 juz, karena ini jarang dilakukan orang. Sehingga nggak mau dianggap oleh jamaah terlalu lama dalam shalat. Seakan (beliau) nggak percaya kalau di Indonesia ada orang yang tahan shalat lama-lama,” ujar Amin kepada hidayatullah.com.
Selama ini, bangun tahajud pada pagi dinihari sudah menjadi rutinitas jamaah Ummul Quraa, terutama setiap Ramadhan. Program membaca 1 juz tiap malam tiap tahajud, sejak beberapa tahun ke belakang memang sudah berjalan. [Lihat foto-fotonya di sini]
Jadi tak aneh jika saat lewat tengah malam, di kompleks ini tampak sosok-sosok berpakaian putih melintas dari tempat tinggal masing-masing. Para jamaah itu menyambut panggilan shalat malam dari pengeras suara masjid. Warga sekitar pun sudah lumrah akan suasana itu. Namun, pemandangan demikian terasa istimewa bagi Na’im.
Kamis itu, usai tahajud, ia mencurahkan perasaannya kepada Amin. “Asy’uru ka annanaa fii zamanish shohaabah….” ungkapnya seperti ditirukan penerjemah tersebut kepada media ini.
Curahan berbahasa Arab itu menyiratkan kekagumannya akan suasana ibadah, jamaah, dan kesakralan di masjid tersebut. “Saya merasa seperti ke zaman Sahabat (Rasulullah),” ujarnya yang diterjemahkan Amin kepada para jamaah Ummul Quraa, usai shalat Shubuh.
Ungkapan tersebut memang disampaikannya lagi saat Na’im mengisi tabligh akbar di masjid itu. Kata dia, sangat beruntung orang-orang yang telah menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan beribadah. Keutamaan Ramadhan itu telah disabdakan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Saking terkesannya, ia mengaku ingin menerapkan sistem pendidikan dan pengelolaan jamaah masjid tersebut di tempatnya, Jordania.
“Karena tidak ada tempat (lain) seperti ini. Tadi malam saya minta profil pesantren dalam bahasa Arab. Saya mau buat konsep seperti di Hidayatullah ini,” ujarnya.
Selepas tahajud itu, tutur Amin, syeikh tersebut menemui Abdul Mannan di tangga masjid. Keduanya pun terlibat obrolan dalam bahasa Arab. Intinya, Na’im benar-benar ingin meniru konsep berjamaah di kawasan tersebut.
“Wallahi!” ujarnya bersumpah atas nama Allah akan janjinya tersebut di depan jamaah Subuh.
Tahun lalu, pengajar di pengungsian Palestina di Jordania itu juga datang ke Indonesia dalam misi yang sama, atas prakarsa Sahabat Al-Aqsha (SA). Tahun ini, kegiatan Na’im di nusantara merupakan kerjasama SA dan Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH).
Indonesia, baginya, menyimpan kekaguman tersendiri. Saat ditanya seorang jamaah mengenai ungkapan “seperti ke zaman Sahabat” itu, ia merasa, kebangkitan Islam ada kemungkinan lahir dari negeri ini. “Mungkin dari Indonesia, bisa jadi,” ujar pria murah senyum ini.*