SULMIATI Shaleh, 53 tahun, terdiam setelah melafalkan sebuah ayat Al-Qur’an. Muslimah kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan ini lupa lanjutan hafalannya. Tiba-tiba, suaminya yang sedang beristirahat sigap menyambung ayat tersebut.
Kegiatan murajaah demikian kerap dilakukan ustadz Zainuddin Musaddad (53) bersama istri bahkan anak dan cucunya.
Dai yang juga pemerhati dunia keluarga ini memang aktif mendorong pembangunan rumah tangga berbasis Al-Qur’an. Apalagi di bulan suci Ramadhan 1441H/2020M saat ini, sungguh momen yang tepat.
“(Ramadhan) ini madrasah paling besar,” ujarnya saat ditemui hidayatullah.com dalam dialog empat mata di Jakarta, awal April 2020, sebelum ibu kota negara ini mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena pandemi Covid-19.
Zainuddin menjelaskan, lewat Ramadhan, Allah telah mendesain kurikulum yang sempurna dalam pendidikan bagi keluarga, termasuk anak-anak.
Bukan cuma teori. Ia mempraktikannya langsung. Keenam anaknya hafizh-hafizhah. Saban Ramadhan, ia rutin menggelar pengajian keluarga. Di luar Ramadhan, pengajian serupa juga tetap dilakukan.
Di rumahnya di pinggiran timur Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Zainuddin-Sulmiati mendirikan Rumah Qur’an Ahlul Jannah.
Putra sulungnya, Baharun Musaddad, yang telah menguasai sejumlah sanad, turut mengajar di rumah Qur’an tersebut.
Namun, karena terjadinya pembatasan sosial demi mencegah penyebaran virus corona jenis baru, Rumah Qur’an ini terpaksa ikut “lockdown“.
“(Sebelumnya) masih aktif banget,” tutur Harun, sapaan alumnus Universitas Islam Madinah (UIM) yang beberapa kali juara pada lomba hafal Qur’an tingkat dunia ini, kepada hidayatullah.com secara terpisah.
Baca: Mahasiswa Indonesia Juara II Lomba Hafal Qur’an 30 Juz di Madinah
Kegiatan dakwah di luar seperti ceramah dan mengajar boleh dibatasi, namun tidak dalam spirit mensyiarkan Islam. Di bulan Ramadhan ini, Zainuddin dan keluarga terus aktif menebar spirit Al-Qur’an.
Misalnya, baru-baru ini, Harun didaulat menjadi salah satu qari dalam acara Khataman Qur’an Bersama Qori Internasional bertajuk “Indonesia Bahagia” yang digelar Hubb Asia, Halal Expo Indonesia (HEI), Paskas Indonesia, dan Kalif, sebuah event online pada Ahad (26/04/2020).
Ia juga menjadi salah satu pembicara pada Talk Show Internasional “Menikmati Ramadhan di Luar Negeri” yang digelar Pendidikan Ulama Pemimpin, program unggulan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, baru-baru ini.
Seakan berlomba, sang ayah, Ustadz Zain, demikian akrab disapa, juga aktif menyapa jamaah secara langsung dalam berbagai acara keagamaan seperti tarhib nasional dan tausiyah bersama. Acara-acara ini digelar secara live streaming melalui akun Youtube. Tausiyah yang direkam dan diunggah banyak institusi juga ramai menghiasi media sosial.
Jarak memang bukan penghalang untuk terus mendidik umat dalam ber-Qur’an. Begitu pula di keluarganya. Zainuddin bertutur, sudah menjadi tradisi lama, setiap menghubungi anak-anak maupun para cucunya, ada satu kata kunci (password) khusus dalam perbincangan tersebut.
Kata kuncinya yaitu dialog-dialog mengenai Al-Qur’an. Seperti bertanya kepada anaknya, apakah mereka sudah mengaji hari ini? Kadang pula ia meminta anaknya membacakan ayat Al-Qur’an yang barusan dihafalkannya. Rutin dilakukan.
Begitu pula kepada istrinya. Misalnya, suatu saat terjadi dialog sebelum membacakan Al-Qur’an kepada anak mereka.
“Eh, Dek, sudah dibacakan Qur’an si kecilkah?” tanya Zainuddin kepada Sulmiati.
“Kakak dulu,” jawab sang istri.
“Ya sudah,” timpal Zainuddin dengan logat Balikpapannya, lalu membacakan Al-Qur’an kepada sang generasi penerus.
Dari situ, Ketua Departemen Adab dan Pembinaan Keluarga Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah ini berpesan kepada setiap suami agar jangan hanya bisa menyuruh istri membacakan Al-Qur’an anak-anak. Tapi suami juga harus aktif langsung.
“Jangan ibunya terus yang disuruh baca Qur’an, “Kamu lagi, Dek!”,” pesannya.
Baca: Pilihan dan Tips Mengkhatamkan Al-Qur’an di Bulan Ramadhan
Otak Istimewa Penghafal Qur’an
Zainuddin merasakan salah satu dari sekian banyak keistimewaan menghafal Al-Qur’an, sebagaimana pengalamannya, bahwa seorang hafizh berpikir lebih dinamis.
Menurutnya, otak penghafal Al-Qur’an bersifat sangat global, menjadi modal untuk menyerap berbagai disiplin keilmuan. Sehingga, seorang penghafal Qur’an bisa menjadi ilmuwan apapun.
“Sebagaimana huruf-huruf Al-Qur’an betapa bervariasinya gitu. Dari mulai ada makharijul huruf-nya, sifatul huruf-nya, ismamul harakah-nya, ada zaman-nya, ada tebalnya, ada tipisnya. Ketika itu kemudian membentuk kekuatan energi otak, maka otak itu menjadi otak global. Otak yang bisa dipakai oleh ilmu apapun.
Jadi begitu dia hafal Qur’an, ya sinapsis otaknya itu sinapsis otak yang sangat global. Menyiapkan untuk menjadi ilmuwan apapun. Tentu nanti ada bakat-bakat yang menyertainya,” tuturnya.
Terbukti, sambungnya, para ulama ulama besar dulu yang ternyata menjadi ilmuwan di bidang fisika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya.
“(Saat ini) belum ada rumusan baru tentang sel, masih tetap yang ditemukan oleh para ulama, yang tiada lain mereka penghafal Qur’an. Adapun hari ini bentuk teknologi, teknologi itu adalah pengembangan dari ilmu-ilmu dasar. Itu contoh sederhana,” tambah Alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) IKIP Ujung Pandang (1991) ini.
Terbukti saat ini. Beberapa ilmuwan mengakui bahwa mengajari anak yang dasarnya menghafal Qur’an lebih mudah untuk bisa diajari hatta dari nol kembali. “Ada fakultas yang menerima penghafal Qur’an tanpa tes,” sebutnya.
Begitu pun pada ruang-ruang sosial. Zainuddin mencontohkan Imam Syafi’i yang disebutnya sebagai seorang filosof, ahli berhitung, ahli faroid, tapi juga menjadi penasihat hal-hal terkait dengan kondisi sosial dan lain-lain.
“Cuma yang kita tahu Imam Syafi’i seolah-olah dia di ruangan fikih saja kan. Padahal dalam sejarah kan tidak seperti itu,” sebut Zainuddin.
Para ulama dan kiai di daerah-daerah pun bukan hanya ngaji kitab. Hampir semua urusan sosial, banyak orang datangnya ke ulama dan kiai. “Begitu hebat itu pemimpin informal, dia manajer dari kehidupan nonformal. Itu riil sampai sekarang belum berubah,” sambungnya.
Zainuddin pun menyarankan, perlunya mengaktualisasikan dunia hafal Qur’an dalam dimensi global. Bukan dalam dimensi ritual semata. Menurutnya, yang kurang pas adalah cara berpikir bahwa seseorang menghafal Qur’an harus jadi ustadz atau pasti jadi imam. “Saya kira itu hanya salah satu di antara ruangan yang disiapkan,” katanya.
“Apalagi hanya pada doktrin bahwa satu orang penghafal Qur’an akan memberikan syafaat kepada 70 keluarga, (lalu berpikir) “yang penting sudah ada lah anak kita yang menghafal Qur’an”. Ini benar, tetapi tidak tepat menyikapinya. Tidak tepat. Karena, kalau sudah penghafal Qur’an di saat yang sama penghafal Qur’an enda ngerti apa-apa, penghafal Qur’an juga ternyata perilakunya ini, ya itu bukan salah Qur’annya, (tapi) metodologi yang diterapkan dalam menghafal Qur’an selalu didimensikan dalam ruang-ruang yang bersifat keagamaan saja. Padahal ini potensi (global),” paparnya.
Nah, di bulan Ramadhan ini, peran Al-Qur’an semakin penting dikaitkan pula dalam kehidupan keluarga. Ketiga instrumen: Ramadhan, Al-Qur’an, ketahanan keluarga, memang begitu erat korelasinya.
Lebih jelasnya, tutur Inspirator “Rumah Cahaya” ini, seseorang tidak bicara Ramadhan kecuali Al-Qur’an yang menjadi inti utama kehadirannya. Dan yang menjadi sasaran fokus atau objek utama adalah hadirnya tatanan peradaban kemanusiaan.
Pada prinsipnya, lanjut dai kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat ini, di bulan Ramadhan, umat Islam ada pada kondisi dan suasana berupaya tampil menjadi orang yang terbaik. Pondasi untuk itu ada di keluarga.
“Artinya apa? Ber-Ramadhan yang benar (internalisasi Qur’annya hidup), niscaya mengantar hadirnya ketangguhan keluarga. Ini adalah sebuah fadhilah agung yang Allah karuniakan bagi orang-orang yang beriman,” tuturnya.
Ada satu hal penting lainnya dalam mendidik keluarga menjadi pencinta dan pejuang Al-Qur’an yang diterapkan Zainuddin. Apa itu? “Bibit!”
Maksudnya, jelas pembicara mengenai parenting ini, seorang suami atau ayah, harus menjadi bibit kebaikan bagi istri dan anak-anak.
“Jadi, “arrijalu qowwamuna ‘alannisa” (Surat An-Nisa’ ayat 34, red) itu laki-laki itu mengarahkan, mengayomi, memimpin wanita itu supaya nanti wanita menjadi kurikulum,” jelasnya.
Sehingga, seorang ayah tak cukup mendidik anak-anaknya hanya dengan mendelegasikan kepada pihak lain. Seperti memberikan anak tontonan tentang Al-Qur’an. “Ini motivasi aja,” jelasnya mengingatkan. Begitu pula katanya tidak boleh didelegasikan ke sekolah.
Maksudnya apa? Bagaimana penjelasan lengkap tentang “bibit dan password” pendidikan Al-Qur’an ala Zainuddin? Lebih rinci diulas Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2020/Ramadhan 1441H.*