Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | Jagat maya kembali dihebohkan oleh aksi pemimpin yang memang agak sulit dipahami secara wajar oleh nalar manusia pada umumnya. Ia membagi-bagikan paket sembako kepada warga di sepanjang jalan Kedung Halang, Bogor Utara (26/4).
Kali ini tentu saja standar nilai umum publik bukan lagi soal pinggir jalannya, tetapi keputusan membagikan dengan cara “melempar” paket sembako dari mobil, sampai ada paket terjatuh, hingga ada masyarakat yang berlari-lari. Padahal ini dalam situasi pandemi. Masa dimana niat memberi harus dibarengi dengan sejumlah pertimbangan, di antaranya lebih baik diberikan langsung dari rumah ke rumah.
Merespon pemberitaan yang viral itu, Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman memberikan tanggapan melalui twitter-nya @msi_sohibuliman pada pukul 21:46 (27/4).
“Walau sdh dikritik banyak pihak bhw presiden @jokowi yg punya kekuasaan atas sistem tdk pantas melakukan cara2 sprt ini, tp tetap dilakukan. Boleh jd ini bukan sekedar pilihan politik tp sdh jd keyakinan. Jangan2 ada keasyikan tersendiri nonton rakyat lari2 ngejar sembako? ?”
Dalam kata yang lain ada sebuah nilai yang tidak diterapkan dalam niat baik memberi itu, yakni menghormati. Kita ketahui bersama bahwa pejabat negara bisa menikmati fasilitas negara adalah karena uang pajak rakyat. Mereka diberikan fasilitas, gaji, sehingga hidup berkecukupan adalah agar mereka berpikir bagaimana rakyat sejahtera, bukan malah kurang peka apalagi tidak berkenan menghargai dan menghormati mereka yang kecil, tapi patuh dan selalu membayar pajak.
Selain dari sisi etis, di tengah situasi pandemi seperti sekarang, memberi dengan cara seperti itu jelas tidak mendukung upaya serius pemerintah sendiri dalam mencegah penyebaran Covid-19. Senin, 27 April 2020 sebuah media daring melansir berita yang menuturkan bahwa Anies Baswedan meminta warga tidak bersedekah di jalanan.
“Saya mengimbau kepada masyarakat yang ingin bersedekah gunakan jalur yang berbeda, tahun ini jangan membagikan di jalan karena beresiko penularan,” ujar Anies dalam video yang unggah di YouTube Pemprov DKI, Senin 27 April 2020. Dia mengajak untuk sementara warga bisa menyalurkan bantuan atau sedekah ke lembaga-lembaga terkait.
Dari tinjauan nalar dan moral Pernyataan Gubernur DKI Jakarta itu jauh lebih tepat, bahwa sementara waktu, memberi tak harus di jalanan. Selain dari sisi etis terkesan kurang menghormati penerima manfaat, secara faktual, langkah itu dapat meningkatkan potensi penyebaran virus corona.
Jadi, ini pandangan yang memang didasarkan pada akal sehat, bukan sekedar kritik atau pun keberpihakan politik. Bukan pula kebencian, tapi rasa peduli demi kebaikan bersama. Bukankah ini Ramadhan, bulan dimana satu sama lain, menjaga lisan jauh lebih diutamakan?
Belajar dari Umar
Masalah kepedulian, tanggungjawab, bahkan istilah yang 2014 sangat terkenal “blusukan” telah tercermin dari sosok pemimpin hebat, bernama Umar bin Khatthab. Di zaman seperti sekarang, sungguh tidak ada kesulitan bagi siapapun untuk melakukan kebaikan dengan meneladani cara dan akhlak pemimpin di dalam menunaikan tanggungjawab dan kepeduliannya kepada rakyat.
Suatu waktu Umar yang terbiasa blusukan seperti biasa keliling ke luar kota Madinah, ia ingin memastikan rakyatnya baik dan tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Setelah beberapa lama berjalan, ia pun menemukan seorang ibu yang terlihat sedang memasak, sedangkan anak-ankanya menangis kelaparan. Umar yang ditemani Aslam pun mendekat. Ternyata, ibu itu tidak memasak melainkan untuk menghibur anak-anaknya. Sebab memang tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak.
Menyaksikan itu, dengan air mata berlinang Umar mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memilkulnya sendiri, keadaan sudah gelap, sunyi, dan manusia pada umumnya sudah tidur.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung tersebut,” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan.
Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam.
Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak?“
Sekarang jelas kita tidak mungkin menuntut pemimpin memanggul sendiri bahan yang akan diberikan, tetapi setidaknya ada cara berprikemanusiaan yang dicontohkan oleh Umar ini, yakni senyap dan menghargai rakyat yang ditolongnya itu.
Artinya, berilah sebanyak-banyaknya kepada rakyat, tapi tetaplah dengan menghormatinya. Jangan dikumpulkan lalu dibagi-bagikan. Jangan pula dilempar dari dalam mobil lalu yang menerima harus berlari-lari dan memungut kala terjatuh.
Bukankah dalam Pancasila termaktub sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab?” Kalau benar kita komitmen dengan dasar negara ini, hendaknya setiap hal benar-benar mengacu pada nilai luhur yang telah ditetapkan. Jangan sampai sebagai pemimpin komitmen pada nilai yang mendasar seperti itu malah terkesan jauh dari kenyataan. Karena bagaimanapun setiap tingkah laku pemimpin sudah pasti akan diperhatikan dan mengundang komentar dan tanggapan masyarakat dari tukang cor hingga profesor. Allahu a’lam.*