MERUPAKAN sebuah kelaziman jika momen Ramadhan bisa merubah secara drastis intensitas dan kuantitas ibadah kebanyakan orang Islam. Fenomena ini bisa dilihat dari ramainya shalat berjama`ah di masjid, semaraknya khataman al-Qur`an, semakin meningkatnya sedekah, demikian juga amal-amal lainnya. Tentu –secara hukum- tidak ada yang salah dengan hal ini.
Hanya saja, selama ini cara kita berinteraksi dengan Ramadhan, sudahkah sesuai dengan teladan para salaf?
Ibnu Rajab Al-Hanbali pernah menceritakan bagaimana persepsi sebagian ulama salaf mengenai Ramadhan, “Puasalah –selama- di dunia! Jadikan (waktu) hari rayamu adalah kematian. Seluruh –waktu- di dunia adalah bulan puasa(Ramadhan) bagi orang yang bertakwa. Mereka berpuasa di dalamnya dari berbagai syahwat serta hal yang haram. Ketika maut datang menjemput, maka berakhirlah masa puasa mereka, lalu mereka mengawali hari raya idul fitri mereka.”(Lathâif al-Ma`ârif, 147).
Kata-kata tersebut sungguh melecut kesadaran kalbu. Bila pada umumnya orang menganggap bahwa puasa Ramadhan dan Idul Fithri adalah ibadah tahunan, justru ulama salaf menganggap lebih esensial bahwa kehidupan di dunia ini pada dasarnya berpuasa. Dalam arti, menahan diri dari berbagai syahwat, maksiat, dan segala yang haram. Masa berbuka, masa hari rayanya adalah setelah ajal tiba menuju kehidupan yang lebih hakiki.
Kalau persepsi salaf itu dijadikan sebagai cermin, maka kira-kira Ramdhan kita sekarang ini sudah sejauh mana kualitasnya? Masing-masing individu tentu bisa mengukurnya. Yang menjadi persoalan kemudian ialah: bagaimana kita meneladani jejak para salaf dalam berinteraksi dengan Ramadhan, sehingga bisa memanfaatkannya secara maksimal?
Pertama, memperbaiki persepsi tentang Ramadhan. Memang benar Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk mengerahkan segenap tenaga untuk beramal. Akan tetapi, menjadi persepsi yang salah kaprah jika Ramadhan hanya dijadikan momentum tahunan saja. Mereka para salaf –sebagaimana riwayat tadi- tidak pernah membeda-bedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan yang lainnya, dalam arti: tetap beramal secara maksimal baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Sebagai contoh kecil, kalau kita jeli membaca perintah puasa di bulan Ramadhan, dalam Surah Al-Baqarah: 183, maka harus diingat bahwa goal terakhirnya adalah:
{ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } [البقرة: 183]
Yaitu, “Agar kalian bertakwa.” Nah, takwa ini, tentu saja senantiasa terus diupayakan sepanjang hayat. Maka, Ramadhan justru dijadikan momentum untuk menularkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan di dalamnya kepada bulan-bulan lainnya.
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi menceritakan: Ada seorang budak perempuan yang dijual oleh salaf. Waktu itu, tuan barunya lagi sibuk menyiapkan makanan, minuman dan lain sebagainya untuk menyambut Ramadhan.
Buda itu pun berkomentar, “Kalian tidak puasa, melainkan saat Ramadhan. Dulu, aku bersama tuan yang semua waktunya adalah Ramdhan. Kembalikanlah aku kepadanya!”(Nidâu al-Rayyân, 163).
Bagi mereka, Ramadhan adalah sepanjang usia, sehingga tidak ada bulan lain yang sia-sia.
Kedua, jadikanlah ini seolah-olah sebagai Ramadhan terakhirmu. Tidak ada satu pun yang tahu bahwa akan menjumpai Ramadhan selanjutnya. Jika kesadaran ini tumbuh, maka tidak akan membeda-bedakan amal baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Kalau setiap orang tahu bahwa ajal sudah dekat, pasti akan berusaha beramal semaksimal mungkin.
Kesadaran akan datangnya ajal ini, sangat efektif dalam meningkatkan kepekaan seseorang dalam beramal. Dalam al-Qur`an kita bisa melihat bagaimana kematian bisa menjadi pelecut kesadaran:
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?.”(QS. Al-Munafiqun[63]: 10).
Jika ini dikaitkan dengan Ramadhan, kira-kira bahasanya demikian, “Jika ini Ramadhan terakhirku, maka aku akan berusaha semaksimal mungkin beramal dan menjadi bagian penting dari orang-orang yang shalih.” Intinya, mengingat ajal atau kematian bisa menjadi sarana efektif agar kita selalu sadar beramal –sebagaimana para salaf- baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan.
Tidak berlebihan jika Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sering mengingatkan:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat yang bisa memutus kelezatan.” (HR. Tirmidzi).
Maksudnya adalah memperbanyak mengingat kematian. Para salaf menjadikan kematian sebagai pemicu kesadaran agar konsisten beramal di sepanjang tahun.
Ketiga, memperlakukan Ramadhan dan segenap ibadah di dalamnya dalam bingkai ihsan. Sebagaimana sabda nabi ketika ditanya tentang ihsan, beliau menjawab:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihatNya. Sedangkan jika kamu tidak bisa melihatNya, maka sungguh Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, ketika kita menjalani Ramadhan, yang dijadikan acuan adalah pengawasan Allah. Pengawasan Allah itu ada di sepanjang bulan. Orang memperlakukan Ramadhan dengan kesadaran ihsan, maka akan berusaha maksimal, intens beribadah, selalu merasa diawasi Allah sepanjang waktu. Sehingga nilai-nilai Ramadhan bisa tetap terlaksana di bulan lainnya.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan, cara agar kita bisa meneladani salaf dalam memperlakukan Ramadhan adalah: memperbaiki persepsi tentang Ramadhan, menjadikan kematian sebagai pelecut kesadaran di bulan Ramadhan, serta memperlakukan Ramadhan dalam bingkai ihsan. Wallâhu a`lam.*/Mahmud Budi Setiawan