Hidayatullah.com– Menjalankan bulan suci Ramadhan selama musim dingin di Jepang tampaknya menjadi pengalaman tersendiri bagi umat Islam. Mereka akan menjalani waktu berpuasa lebih singkat dari berbagai negara belahan Eropa maupun Indonesia sekalipun. Hal inilah yang dialami Sayyidah Murtafiah (36 tahun), Ibu tiga anak selama bermukim tiga tahun di Jepang.
“Tiga kali menjalani puasa jatuhnya selalu di musim dingin. Shubuh jam 06.00 kurang dan maghribnya pukul 17.00. Artinya subuh datangnya lama dan berbuka lebih cepat,” katanya kepada hidayatullah.com, Selasa (07/08/2012) di Jakarta.
Selama kurun waktu 2003-2006, Moenk, begutu sapaan akrabnya, tinggal di kota bernama Aichi-Ken. Kota yang terletak di wilayah Nagoya ini memiliki sebuah masjid bernama Anjou Shi Mosque. Hebatnya, mesjid setinggi tiga lantai itu selalu padat jama’ah selama bulan suci. Bahkan jika masuk hari raya, suasananya akan lebih semarak.
“Kalau Idul fitri, sholat sampai tiga kloter karena membludaknya jamaah. Parkiran mall sampai disewa untuk semua muslim yang sholat,” kenang Moenk yang kini aktif di Komunitas Ngaji Yuk.
Kegiatan keagamaan di Jepang tergolong lumayan aktif. Pengajian seminggu sekali selalu dilaksanakan di sebuah rumah warga negara Sri Lanka. Sedangkan kajian khusus warga negara Indonesia diselengarakan sebulan sekali.
“Biasanya diadakan di gedung olahraga bernama Taikukan,” ujarnya. Selama di Jepang, Moenk mengaku bekerja secara arubaeto atau paruh waktu.
Ada pengalaman menarik dalam aktivitas keseharian muslimah di Jepang. Menurutnya, muslimah yang selalu berjilbab modis di kota Tokyo justru mengundang kecurigaan bagi warga Jepang. Ibu-ibu Jepang kerap berbisik dengan kata-kata “Tero” terhadap muslimah dengan penampilan seperti itu.
“Maksudnya adalah teroris,” jelasnya.
Namun pemandangan berbeda justru terjadi di kota Anjou. Meski umat Islam di kota ini menonjolkan identitas lebih kental dari Tokyo, mereka tidak merasakan kecurigaan berarti. Padahal Anjou terkenal sebagai kota dengan pengawasan ketat polisi terhadap umat aktivitas umat Islam.
“Setiap hari Jum’at coba deh ke mall, pasti akan banyak ketemu muslimah bercadar,” terangya.
Untuk berbuka, muslim Jepang tidak sulit untuk mendapatkan menu halal. Info tempat makanan halal biasa di-update dari Islamic center di Tokyo, dan disebar keseluruh masjid. Oleh karena itu, muslim Jepang dituntut dekat dengan mesjid agar selalu mendapat perkembangan terkait makanan halal.
“Alhamdulillah, makanan halal mudah didapat, karena suami intens ke masjid untuk shalat berjamaah,” kenangnya.
Menu berbuka puasa di Jepang sendiri sangat menggiurkan. Bubur Kanji khas pakistan, dimasak beramai-ramai oleh muslim laki-laki yang bergantian mendapat tugas memasak di mesjid.
“Kompak banget,” tutur Moenk. Dan salah satu menu spesial berbuka adalah ayam lalkun. Satu potong ayam Kalkun di Jepang sama dengan setengah ayam potong di Indonesia. Mereka bersantap bersama secara kompak sebagai bagian dari ukhuwah Islamiyah.
“Kenyangnya bisa sampe subuh!” tandasnya.
Islam itu makin indah sekali saat kita berada di “negeri orang”. Persaudaraan dan persatuan, serta kebanggan kita sebagai Muslim, benar-benar terasa di kedamaian Bumi Sakura, kenang Moenk yang sedang mendapat tawaran untuk kembali ke Jepang.*