Hidayatullah.com–Ada rasa yang gamang jika kita mengalami sesuatu yang sangat penting dalam hidup kita. Sebut saja seperti melakukan ritual keagamaan atau pernikahan. Dalam suasana yang sangat beda dengan budaya yang kita lakukan selama ini di Indonesia. Begitu pun yang aku alami ketika berpuasa di bulan Ramadhan di Jerman.
Menikmati puasa bulan Ramadhan pertama kali aku lakukan tahun 2003. Kala itu, bulan Ramadhan jatuh pada bulan November, tepat musim gugur sedang berlangsung. Karena itu, puasa Ramadhan pun tidak seberat ketika musim panas.
Saya kala itu itu sedang mengikuti workshop selama dua minggu penuh. Perbedaan agama membuat mereka sering bertanya atas ketidak-hadiran saya pada jam makan siang.
Kebetulan kala itu saya sempat sakit tenggorokan hingga tida bisa bicara. Bisa saja kala itu aku membatalkan puasa, tetapi saya tidak melakukan dengan satu alasan, rugi rasanya haru dibatalkan, apalagi puasa cuma sebentar saja, hanya sampai sekitar jam 5 sore.
Jumlah peserta workshop waktu itu 24 orang dan tiap negara diwakili satu orang. Jadi benar-benar merepresentasikan negara masing-masing. Tentu, sebagai wakil dari Indonesia, apalagi saya memakai berjilbab harus menunjukkan bagaimana warga Indonesia (mayoritas Muslim) berperilaku.
Susahnya mencari makanan –apalagi tempatnya di hotel—membuat saya harus sedikit kreatif. Biasanya, saya mengambil buah dan roti untuk dibawa ke kamar. Sebab panitia tentu tidak nyediakan sahur hanya untuk 3 orang yang berpuasa. Maklum, dari 24 peserta, hanya 3 orang saja yang berpuasa.
Tantangan
Selain merupakan tantangan tersendiri, memang menarik berpuasa di negeri di mana Muslim adalah minoritas. Bagaimana agar kita tetap teguh menjalankan ibadah sementara lingkungan kita tidak mendukung, bahkan banyak juga yang mengaku Muslim tapi tidak menjalankan puasa dengan berbagai macam alasan.
Yang paling menantang bagiku bukannya dalam menjalankan puasa itu sendiri, karena Alhamdulillah memang sudah terbiasa melakukan sejak kecil, meski pada tahun lalu dan tahun ini (2009 – 2010) puasa Ramadhan jatuh pada musim panas, yang artinya puasa bisa sangat panjang (hampir 18 jam, dari jam 4 pagi hingga jam 10 malam).
Saking panjangnya waktu, banyak juga teman-teman Muslim hampir tidak kuat melakukan puasa penuh (sesuai jadwal berbuka puasa).
Berpuasa di Jerman harus bisa tetap menjaga stamina melakukan berbagai kegiatan di musim panas.
Atau bukan karena sahur dan bagaimana berbuka puasa itu sendiri, karena Alhamdulillah juga aku menemukan komunitas Muslim yang memudahkan bagiku untuk berbuka puasa bersama. Bahkan kami melakukan buka puasa bersama di asrama setiap hari dengan berbagi hidangan dari berbagai negara sehingga sekalian merupakan syiar Islam bagi kalangan mayoritas yang non Muslim.
Karenanya, kadang saya sedikit sedih jika ingat ayah ibu dan keluarga di rumah. Maklum, biasanya kami akan berbuka puasa bersama apalagi jika menjelang Idul Fitri bersama-sama sangat ramai.
Pengalaman Menarik
Pengalaman yang tak terlupakan adalah puasa Ramadhan hari pertama di tahun lalu, dengan kegiatan yang sudah dijadwalkan setiap weekend. Aku tetap ikut kegiatan jalan-jalan bersama dengan guru (di Goethe Institut Freiburg) dan teman-teman di bukit.
Namanya jalan-jalan ya tentu agendanya berjam-jam. Padahal aku tidak sahur malamnya karena ketiduran (setelah tarawih bersama dengan teman-teman Muslim Indonesia di Freiburg sampe jam 1 malam).
Perjalanan itu berlangsung selama hampir tujuh jam dengan diselingi istirahat dan makan siang buat mereka. Sementara aku cuma duduk-duduk dan kalaupun mampir di café atau restaurant, aku harus menjelaskan kalau aku tidak memesan makanan karena sedang berpuasa. Ini sebenarnya bukan hal yang wajar, karena kalau ikutan duduk di restaurant tentunya harus memesan makanan atau minuman.
Bisa dibayangkan betapa capek dan gempornya kakiku setelah perjalanan itu. Alhasil sesampai asrama, langsung tidur dan cuma makan mie. Bagiku, memakan mie adalah hal paling praktis.
Meski demikian, kegiatan ini tidak membuat aku kapok. Dua minggu kemudian ada jadwal jalan-jalan lagi, dan aku ikutan lagi.
Bahkan puasa di musim panas menurutku sangat menyenangkan juga karena aku masih tetap bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Saking lamanya matahari bersinar, setelah masak buat berbuka puasa sekitar jam 19.30 (ini waktu Ashar).
Bahkan masih bisa jogging hingga pukul 20 dan balik ke asrama ketika waktu berbuka tiba, sekitar jam 21.00.
Tantangan lain, khususnya kaum Hawa adalah soal aurat yang akan nampak di mana-mana. Karena kita tinggal di Eropa di mana masyarakatnya bebas pemandangan buka aurat lebih mudah ditemui. Apalagi musim panas sehingga harus bisa menahan pandangan matanya.
Pertanyaan-pertanyaan
Selain itu, tantangan lainnya mau-nggak-mau akan mengasah pengetahuan kita akan Islam adalah banyaknya pertanyaan seputar puasa itu sendiri dari teman-teman non Muslim yang tidak tahu bagaimana kehidupan muslim yang sebenarnya.
Misalnya mengapa kita harus puasa demikian panjangnya (untuk kalangan mereka, jilbbab tidak manusiawi), atau berbagai pernyataan, kenapa kita sebagai perempuan kadang boleh tidak puasa (karena menstruasi) dan bagaimana jika kita tidak menjalankan puasa?
Waduhhh…pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang di Indonesia (atau negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim) pada umumnya jarang sekali dilontarkan.
Aku pun yang awalnya agak rishi harus menjawab mengapa aku tidak puasa pada saat menstruasi (apalagi yang bertanya teman-teman laki-laki) mau-tidak mau harus menjelaskan tentang hal ini.
Pertanyaan lain yang tidak kalah sulit untuk dijawab adalah bagaimana harus berpuasa di tempat yang musim panasnya berlangsung sangat panjang. Misalnya di beberapa negara Skandinavia pada musim panas puasanya hingga hampir 20 jam dalam sehari (padahal puasa selama 24 jam penuh tidak diperbolehkan)? Bagaimana jika tidak kuat ?
Wahhh, aku sering kalang-kabut menjelaskan pertanyaan teman seperti ini. Akhirnya dengan berbekal beberapa info tanya jawab online seputar puasa, aku kasih link jawabannya adalah berdasarkan ijma’ ulama di mana waktu berbuka bisa disamakan dengan negara lain yang terdekat misalnya di Eropa daratan yang tidak ekstrim lamanya berpuasa, atau paling tidak jika masih latihan berpuasa, waktu bukanya disamakan dengan negara tropis yang selalu tepat 12 jam puasanya.
Tapi tentu saja temanku agak kesulitan juga menjelaskan ke suaminya karena bahasa Jerman-nya belum bagus amat dan bahasa Inggris-nya pun setali tiga uang hehe…
Yang paling seru tentu saja adalah jika harus memasak untuk buka puasa. Karena anak-anak Indonesia yang di asrama juga puasa, akhirnya jika mau mengicipi makanan kadang minta tolong teman lain dari negara lain untuk menentukan masakan sudah enak apa belum. Padahal mereka pun belum tentu tahu mana rasa yang pas untuk masakan Indonesia hehe.
Alhasil kami pernah bikin lumpia untuk dibagi dengan teman sesama Indonesia pas buka puasa bersama. Namun rasa dan selera dari teman Mexico, karena yang bertugas mencicipi adonan lumpia itu mereka yang dari Mexico, hehe. Untung saja lidah orang Mexico kebanyakan mirip dengan lidah orang Indonesia yang suka makanan pedas, hasilnya enak juga.
Begitulah, bahkan selama dua kali Ramadhan aku lebih banyak mengalami suka-nya dibanding duka-nya, meski jauh dari tanah air. Bahkan kebersamaan dengan sesama teman Muslim di Jerman semakin kuat.
Tiada hari tanpa masak bareng dan buka puasa bareng. Buka puasanya pasti heboh karena masing-masing bawa makanan yang enak-enak. Tapi tentu saja juga ada pengajian selama menjelang buka puasa bersama meski tidak setiap hari karena memang jarang sekali ada ustadz/ustadzah di Jerman.
Kadang jika tidak ada ustad, kami hanya sekedar sharing, merefleksikan pengalaman kami masing-masing selama menjalani puasa atau saling mengingatkan untuk lebih sering membaca al-Qur’an selama bulan Ramadhan atau melengkapi ibadah puasa dengan amalan-amalan lain seperti sholat sunnah lain selain sholat tarawih dan witir tentunya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Yang paling menggoda iman adalah menjelang Idul Fitri. Saat itu, kebanyakan status teman-teman di Facebook atau jejaring social adalah mudik dan siap-siap bertemu keluarga. Duhhh rasanya agak depresi apalagi cuaca juga lagi jelek banget, sungguh hal yang berat bagiku.
Tahun lalu hari terakhir Ramadhan adalah hari di mana aku dan beberapa teman pindah ke kota lain (dari Freiburg, tempat kami kursus bahasa Jerman ke Osnabrueck, tempat studi kami). Untunglah semua teman-teman menyayangi kami dengan mengantar kepergian kami ramai-ramai, dan setelah sampai Osnabrueck pun ada yang menjemput dan aku serta seorang teman Muslim dari Indonesia buka puasa terakhir di stasiun kereta Osnabrueck.
Alhamdulillah aku udah punya kontak dengan seorang teman dari Malaysia yang sudah setahun tinggal di Osnabrueck sehingga shalat Ied bisa kami lakukan bersama-sama dengan sesama Muslim in Osnabrueck. Kami menangis terharu bersama, dengan hidangan Idul Fitri yang berasal dari teman Malaysia dan sedikit bekal dari Freiburg, hasil masakan salah satu teman yang membekali kami dengan sambal goreng ati dan krupuk udang.
Suasana Idul Fitriku berikutnya lebih baik, sempat masak kue Nastar dan Kastengel meski rasa dan bentuknya ngga pas, maklum baru belajar pertama kali dan tidak punya cetakan hehe.
Aku bisa merayakan Idul Fitri dengan teman-teman Indonesia yang lumayan banyak di Bonn (sekitar 200 orang plus anak-anak), karena kebetulan di hari yang sama ada acara dengan pihak DAAD (lembaga yang memberiku beasiswa di Jerman) di Bonn, jadi sebelum acara berlangsung aku sudah shalat Ied (lengkap dengan kutbah dan saling memaafkan antar sesama) dan tentunya makan-makan enak hasil masakan para ibu-ibu Indonesia yang berdomisili di Koeln dan Bonn.
Semua hidangan Indonesia dengan menu ala Idul Fitri ada. Mulai lontong sayur, opor, rendang, ayam goring, sambel goreng ati, sop, mie goreng, telur asin, krupuk, pepes ikan, plus minuman segar seperti dawet dan es campur dan makanan kecil mulai wingko babat, putu ayu, dan buah-buahan, duhhh benar-benar lebaran yang istimewa, alhamdulillah ☺
Begitulah, kunci dari semua ini menurutku adalah hubungan baik dengan sesama terutama dengan teman-teman dari Indonesia.
Sebab teman dan jalinan silaturrahmi, ada bagian obat kesepian, terutama dalam suasana Ramadhan dan Idul Fitri yang menurutku sangat penting untuk kita rayakan setelah beribadah puasa selama sebulan penuh plus dengan tidak lupa bersedekah.*/diceritakan Early Rahmawati, Alumni S2 Management for Non Proft Organizations FH Osnabrueck, Germany