Hidayatullah.com–Hari mulai gelap ketika sekelompok bocah dengan pakaian warna-warni masih asyik bercengkrama di sebuah sudut di pinggiran Jakarta. Seorang di antaranya berkostum kuning ala Bruce Lee. Yang lain berpakaian sekadarnya.
Mereka berseliweran sembari berceloteh tak karuan. Kaki-kaki mereka beradu dengan pasir tipis dan semen kasar. Seakan tak peduli dengan lalu lintas yang mulai sepi.
Mereka lalu mengerumuni sebuah kayu bundar dengan payung di tengahnya, sembari menindih kursi-kursi kayu.
Tak jauh dari bocah-bocah, bergerombol puluhan orang dewasa. Kebanyakan pria berpakaian putih-putih dan wanita dengan tudung di kepala. Pria-wanita dengan meja masing-masing.
Pria-wanita itu duduk meriung di bawah tenda panjang, mengitari dua bilah meja kotak berwarna putih yang memanjang sejajar jalanan. Piring-piring berserak di tengah mereka. Puluhan gelas plastik menumpuk di ujung-ujung meja.
Berbagai jenis benda lain disebar di situ. Ada yang bulat hitam, ada yang kuning dengan bentuk tak karuan, ada pula cairan-cairan kental dalam wadah khusus, seperti ramuan.
Gerombolan orang dewasa itu sibuk membicarakan sesuatu. Di antaranya sembari memegang-megang gelas plastik, ada yang sambil mengamati isi sebuah kotak kertas kecil. Kadang pula mereka terdiam sesaat, seperti ada yang ditunggu.
Tiba-tiba seorang lelaki melintas di tepi jalan. Dia memikul sesuatu di pundaknya. Sejumlah pria tadi langsung mengarahkan pandangan ke situ, lalu berteriak memanggilnya.
“Ke sini, ke sini!” sahut mereka.
Yang dipanggil menoleh, berhenti, lalu meletakkan jinjingannya di pinggir got. Seakan sudah paham keadaan, lelaki itu langsung menuju ke pencucian tangan. Dan, tanpa banyak tanya segera bergabung mengitari meja putih. Basa-basi sebentar, lalu diam. Sebagian orang memandang padanya.
Sesaat kemudian, satu suara berdengung di udara. Suara-suara yang sama ikut berdengung dari arah berbeda, dekat-jauh, sahut-sahutan. Seakan bunyi itu pertanda dimulainya sebuah ritual, gerombolan tersebut langsung merapalkan berbagai bacaan. Lantas bergerak cepat, mengeroyok serakan piring dan tumpukan gelas plastik. Tak terkecuali para bocah tadi, nyaris satu gerakan dengan mereka.
“Allahumma laka shumtu…” ucap mereka masing-masing sebelum menjamah hidangan di atas meja. Yang lain dengan doa berbeda.
Di dinding dekat situ, tertempel sebuah kertas putih dengan tulisan, “Menu ta’jil hari ini disediakan AQL.”
Kurma Israel
Hari itu Jumat pertama di bulan Ramadhan tahun ini. Seperti biasa, Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) Islamic Center menyediakan buka puasa bersama. Siapa saja boleh ikut nimbrung. Gratis!
Acapkali ada orang lewat, terutama pejalan kaki, selalu diminta untuk singgah membatalkan puasanya di situ, di teras bangunan yang didesain dengan nuansa kafe. Termasuk tukang sol sepatu yang melintas tadi.
Sore itu, menu yang disediakan lebih dari sederhana. Beberapa jenis gorengan dan dua jenis kurma dengan rasa berbeda. Kurma pertama masih dalam kotak kemasan, kurma lainnya dihambur di beberapa piring kaca. Ditambah lagi kolak kental manis khas Jakarta, menambah nikmat suasana berbuka. Tak ketinggalan, air mineral dan es kelapa sebagai “pencuci mulut”.
Soal kurma, sempat terjadi gurauan. “Ini kurma Israel bukan?” tanya salah seorang.
“Oh, bukan,” jawab rekannya setelah mengamati sekilas kotak kemasan kurma jenis pertama. Rupanya dia paham soal itu.
Belakangan ini memang santer diberitakan soal “kurma Israel” yang masuk Indonesia. Mereka khawatir kalau-kalau kurma yang disediakan adalah buatan Zionis.
Ternyata bukan. Mereka pun terkikih. Tak kalah lucu dengan tingkah para bocah yang juga sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Gerombolan dewasa itu, tak lain adalah awak media ini yang berkesempatan menyambangi AQL Islamic Center.
Menariknya, beberapa menit pascaacara memanjakan lambung itu berlalu, sejumlah awak media ini tak lantas pulang. Kami langsung diarahkan untuk bergeser posisi ke dalam bangunan utama, menuju sebuah ruangan kosong dengan hamparan permadani tebal. Sebuah podium berdiri tegak di depan ruangan. Di dinding ruangan tergantung sejumlah kaligrafi Arab bertuliskan “Allah”.
Setelah mengisi kekosongan jasmani, setelah menghadapi hidangan, tiba saatnya mengisi relung ruhani, menghadap ke haribaan Tuhan.
Seseorang lantas mengumandangkan iqomah.
“Allahu Akbar, Allahu akbar …!”
Sholat maghrib segera kami tunaikan.
Bayang-bayang Rohingya
AQL Islamic Center memang tak hanya menyediakan menu buka puasa bersama. Lembaga dakwah prakarsa Ustadz Bachtiar Natsir, Lc. yang baru berdiri di Jalan Tebet Utara I Nomor 40, Jakarta Selatan itu juga menyediakan menu rohani bagi masyarakat. Usai sholat maghrib berjamaah saat itu, misalnya, sang imam langsung naik ke atas podium.
Di depan para jamaah, imam membacakan kitab “Riyadhus Shalihin”. Lalu sedikit disampaikan tausyiyah (ceramah) tentang keutamaan ilmu dalam Islam.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan dengannya, maka (Allah) akan memberikan kepadanya pemahaman dalam agama Islam,” kata imam mengutip arti sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan Muttafaq ‘Alaih.
Jamaah menyimak dengan antusias. Begitu pula dengan jamaah wanita yang menempati ruangan berbeda, agak ke belakang.
Usai pembacaan hadits, ritual ruhani belum selesai. Selang beberapa menit kemudian, jamaah segera menunaikan sholat sunnah ba’diyah Maghrib. Otomatis, tanpa dikomando.
Masya Allah!
Awal malam di hari ke-delapan bulan puasa itu, serasa ada kepuasan tersendiri bagi kami menyambangi AQL Islamic Center.
Beberapa jam sebelumnya, masih terasa lelah dan penat usai kami, para wartawan, berjibaku dengan panasnya ibukota. Meliput unjuk rasa mahasiswa muslim yang mengecam penindasan junta Myanmar terhadap etnis Rohingya, juga butuh tenaga dan pikiran ekstra. Apalagi, tragedi Rohingya adalah tema besar yang semakin mendunia. Dengan perut keroncongan, kami harus konsentrasi penuh menyerap aspirasi massa. Agar yang disampaikan ke umat lewat media kami tidak sembarangan.
Rupanya, “sekadar” wawancara, menulis dan memotret saja, cukup menguras energi. Terbayang, bagaimana menderitanya saudara-saudara kami di Rohingya yang sedang mengalami berbagai penderitaan. Lapar juga, disiksa pula.
Tolong mereka, Ya Allah!
Di sisi lain, suatu kesyukuran kami masih diberi kesempatan menikmati buka puasa dan menjalankan ibadah dengan tenang.
Sekeluar dari ruang sholat, awak media ini bergegas untuk pulang. Eh, belum juga pamitan, ternyata tuan rumah sudah menyediakan makan malam di tempat berbuka. Masing-masing seporsi Pecel Lele, lengkap dengan sambal dan sayur-mayurnya. Juga, buah kelengkeng.
“Alhamdulillah! Kenyang luar dalam,” celetuk penulis usai menandas menu berat itu. Yang lain senyum-senyum.
Dengan perut kenyang dan ruhani tenang, kami bergegas pulang diiringi ucapan salam.
“Besok-besok ke mari lagi, ya!” pesan Ustadz Qusaini, salah satu pengurus AQL Islamic Center.
“Insya Allah, ustadz!”
Kami lantas memacu kendaraan menuju markas perjuangan, kantor redaksi. Di sana, setumpuk amanah sudah menunggu. Termasuk amanah memperjuangkan kebebasan muslim Rohingya, Arakan, Myanmar lewat media.
Semoga kelak, mereka bisa juga dengan bebas dan tenang berujar, “Alhamdulilah! Kenyang luar dalam!”. Amiin!*