KEBERADAAN mata pelajaran pendidikan agama dinilai beberapa pihak tidak berhasil memberikah pengaruh terhadap moral manusia Indonesia. Pendapat ini disampaikan pemikir liberal Indonesia lulusan IAIN, Prof Dr Musdah Mulia.
Ia bahkan pernah menyerukan untuk menghapus pendidikan agama di sekolah mencontoh Singapura dan Australia.
Jika ada seorang Muslim berpendapat seperti ini, pasti ini sangat aneh. jika selama ini agama tidak banyak berpengaruh pada budi pekerti, seharusnya di evaluasi dari sisi konten dan kuantitasnya, bukannya harus dihilangkan. Logikanya, masih ada pelajaran agama saja moral bangsa ini rusak, apalagi tidak ada?
Nah, disisi lain upaya perbaikan moral generasi dilakukan dengan menambahkan Program pendidikan karakter, yang sudah berjalan selam adua tahun kebelakang sesuai kurikulum 2013.
Pendidikan karakter (sebenarnya Islam memiliki istilah sendiri yang dikenal dengan istilah adab dan akhlaq) ini diharapkan mampu membentuk manusia Indonesia yang bermoral berdasarkan nilai-nilai etika. Persoalannya adalah nilai-nilai etika seperti apa yang dijadikan landasan dalam pendidikan karakter ini?
Bagaimanapun sebuah karakter akan lahir dari sebuah prinsip tertentu, dan prinsip tersebut adalah prinsip yang lahir dari keyakinan agama.
Maka, bisa kita pastikan jika agama dihilangkan dan tidak jadi landasan karakter anak didik, akan lahir orang-orang berkarakter yang tidak agamis, kalaupun agamis dia sekuler (memisahkan agama dari kehidupannya).
Cara pandang orang-orang yang sekuler – liberal seperti Musdah Mulia diatas bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Islam telah menggariskan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam pada anak didik yakni malahirkan anak didik yang memiliki pola pikir dan sikap Islami, tidak berbeda antara pemikiran dan sikap aplikasi dalam kesehariannya.
Hal ini bersandar pada kuatnya akidah dan pemahaman terhadap syari’ah. Sehingga output pendidikan Islam adalah manusia yang akan senantiasa ta’at pada hukum Allah, yang menjadika hawa nafsunya tunduk dan sejalan dengan aturan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya.
Karena dia yakin bahwa Allah akan meninggikan orang-orang beriman dan yang diberi ilmu beberapa derajat dan Allah Maha tahu apa yang dia kerjakan. Sehingga mustahil orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ia bermaksiat, korupsi, tawuran, narkoba, dll.
Output pendidikan seperti ini tidak akan lahir dari sebuah sistem pendidikan yang sekuler seperti saat ini. Sistem yang memiliki kurikulum pembelajaran yang tidak aplikatif alias teoritis, hanya memberikan 2 jam pelajaran saja dalam seminggu untuk pendidikan agama.
Bahkan guru yang tidak capable dan tidak menjadi teladan bagi anak didiknya.
Pendidikan kita, menjadikan etika moral agama dipelajari hanya karena asas manfaat bukan dorongan keyakinan dan akidah. Karena itu penghapusan pendidikan agama justru akan semakin memperparah moral anak bangsa. Sebab, logikanya adalah diberikan pendidikan agama saja moral anak bangsa seperti ini, bagaimana jika tidak diberikan.
Sesungguhnya, bangsa ini membutuhkan perubahan besar, tidak hanya dalam kurikulum pendidikan-misal dengan program penumbuhan budi pekerti.
Namun, lebih dari itu, perubahan paradigma pendidikan konvensional (red-sekuler) menjadi paradigma pendidikan Islam harus mulai digulirkan.
Anda bisa menyaksikan bagaimana lahirnya ulama-ulama terdahulu seperti Imam as Syafi’i, Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi.
Mereka tidak hanya terkenal sebagai orang yang berilmu, ahli kedokteran, ahli matematika, astronomi tapi juga seorang ulama.
Mengapa pula kita harus mencontoh negeri-negeri asing (Amerika, Singapura atau Australia) yang sejatinya tidak layak menjadi panutan umat Muslim.
Jika Barat dan pendidikan sekuler-liberal itu berhasil membentuk manusia yang berilmu sekaligus berakhlak mulia, berilmu sekaligus alim dan banyak beramal sholeh, maka tunjukkan pada kita, siapa wakil produk sekuler-liberal yang bisa kita rujuk dan bisa kita jadikan panutan untuk kehidupan sehari-hari? Tidak ada.
Tokoh ilmuwan yang lahir dari Barat bisa saja pandai, tapi akhlaknya tidak akan bisa menjadi rujukan hidup umat Islam.
Namun jika kita bicara Islam, hampir dengan mudah kita temukan banyak ulama yang ilmunya, akhlaqnya, perilakunya bisa kita jadikan panutan sehari-hari.
Nah, di mana kita bisa menemukan pada saat sekarang, generasi-generasi yang tidak hanya hafal Al-Qur’an, faqih fiddin, tapi juga dia seorang politikus dan negarawan yang unggul?
Generasi seperti ini hanya lahir dalam sistem pendidikan Islam dalam tatanan pemerintahan Islam atau pemerintah yang islami. Wallahu A’lam.*
Penulis: Iseu Sutinah, S.Pd
Pengajar di Madrasah Diniyah Tahfidz al Quran Ibnu Sina Unpad, Tinggal di Jatinangor Sumedang