Hidayatullah.com–Facebook mengatakan pada 4 April 2018 bahwa data 87 juta pengguna dilanggar dan memperoleh firma konsultasi politik, Cambridge Analytica, Jauh lebih banyak dari data yang pernah diungkapkan sebelumnya, yakni 50 juta. Indonesia menjadi negara korban terbanyak ketiga dengan korban 1 juta pengguna
Melalui blog perusahaan, Chief Technology Officer (CTO) Facebook Mark Schoepfer merilis daftar pengguna berdasarkan negara yang paling terdampak dari kebocoran data ini. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat sebanyak 70,6 juta akun atau 81,6 persen.
Indonesia berada di peringkat ketiga dalam daftar tersebut dengan 1 juta lebih akun, satu nomor di bawah Filipina dengan 1,1 juta lebih akun.
Mark Zuckerberg sendiri mengakui pihaknya bersalah dalam kasus ini dan ia menerima kemarahan sejumlah pengguna, pengiklan, dan parlemen di sejumlah negara.
“Ketika kau membangun sesuatu seperti Facebook yang belum pernah ada sebelumnya di dunia, akan ada sesuatu berantakan,” ujar Zuckerberg dikutip dari Reuters.
“Ini salah saya.”
Baca: Inilah Semua Data Pribadi Anda yang Disimpan Facebook dan Google
Sementara itu, Menkominfo Rudiantara telah mengungkap bahwa Facebook terancam dikenakan hukuman perdata maupun pidana hingga 12 tahun penjara. “Ada sanksi administratif. Saya bisa mengeluarkan surat peringatan kepada mereka,” ujar Rudiantara pada sebuah sesi wawancara yang dilakukan oleh Bloomberg.
Selain sanksi administratif, Rudiantara pun mengaku jika Facebook juga bisa mendapatkan sanksi pidana. Tak tanggung-tanggung, Facebook pun terancam hukuman kurungan lebih dari 10 tahun dan denda miliaran rupiah.
Baca: Data Facebook Bocor, Pakar IT Dorong Umat Islam Buat Platform Lokal
“Hukumannya bisa hingga 12 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp12 miliar,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, Facebook mendapat sorotan dunia internasional lantaran mengalami kebocoran data sebagian penggunanya ke perusahaan pihak ketiga bernama Cambridge Analytica.
Bocoran informasi pribadi dari para pengguna Facebook tersebut lantas digunakan sebagai senjata untuk keperluan politik, dengan membentuk opini tertentu di jejaring sosial. Termasuk mendukung kemenangan Donald Trump dan menjatuhkan calon presiden di beberapa Negara berpenduduk Muslim.*