Oleh: Rahim Hamid
SITUASI hak asasi mengerikan di Iran masih belum membaik sejak Hassan Rouhani – disebut-sebut oleh beberapa kalangan di Barat sebagai seorang ‘moderat” dan seorang ‘reformer’ – menjadi presiden Iran pada 2013.
Sejak menjabat, lebih dari 2.000 orang telah digantung di bawah pengawasan Rouhani, skala eksekusi terbesar dalam 25 tahun terakhir, menambah lembar hitam sejarah pelanggaran hak asasi rezim sejak revolusi Iran pada 1979.
Pesta eksekusi dalam setengah tahun 2015 tidak luput dari pantauan kelompok hak asasi manusia, Amnesty Internasional, yang mencatat bahwa “hukuman mati di Iran secara khusus mengganggu karena mereka selalu ditetapkan oleh pengadilan yang sepenuhnya kurang independen dan kurang adil”.
Kelompok hak asasi menambahkan:
“Mereka menjatuhkan keputusan yang tidak jelas kata-katanya atau memperluas pelanggaran, atau tindakan yang seharusnya tidak dikriminalisasi sama sekali, apalagi menarik hukuman mati. Proses pengadilan di Iran secara mendalam telah cacat, tahanan seringkali ditolak mengakses pengacaranya dalam tahap investigasi, dan tidak mencukupinya prosedur untuk naik banding, grasi dan keringanan hukuman.”
Hasilnya, Iran menjadi negara teratas yang melakukan eksekusi per kapitanya – lagi-lagi dibawah pengawasan Rouhani.
Setiap penggunaan istilah ‘moderat” yang berhubungan dengan pemerintahan Rouhani merupakan hiperbola yang menggelikan; dia hanyalah presiden terpilih dari daftar kandidat yang dipilih oleh Dewan Penjaga, sebuah badan 12 anggota yang terdiri dari enam ahli hukum dan enam ulama Syiah, bertugas memeriksa kandidat untuk kualifikasi mereka dan mengonfirmasikan hasil pemilihan umum, sesuai konstitusi Iran.
Kandidat sekuler atau non-Syiah hanya berkesempatan kecil mendapat persetujuan Dewan Penjaga, juga calon presiden yang loyalitasnya pada ideologi revolusi dianggap kurang sempurna.
Peluang “terpilih” dalam parlemen secara relatif lebih baik, tetapi Majlis memiliki kekuatan yang kecil dibandingkan pengadilan agama rezim dalam menghentikan atau memperlambat laju eksekusi, dengan pengadilan secara rutin mengeluarkan vonis bahkan tanpa mendengar bukti atau menginvestigasi tuduhan terhadap pihak yang dituduh.
Satu contoh sistem sah rezim Iran yang adalah tuduhan “moharebeh” atau “memusuhi Tuhan,” yang secara umum dituduhkan pada aktivis kemanusiaan dan para pembangkang yang tidak sepakat dengan pemerintah dimana ujungnya menerima hukuman mati, terkadang dilakukan penggantungan massal di depan publik dengan crane (derek) – bahkan meskipun rajam tidak mengesampingkan secara legal. Banyak dari mereka yang digantung memerlukan waktu hingga 20 menit menuju kematian perlahan dan mengalami cekikan secara menyakitkan. Jasad korban dibiarkan beberapa saat sebelum dipindah sebagai bentuk intimidasi pada publik agar diam. [Baca juga: Ada Banyak ‘al-Nimr’ di Iran [1]]
Banyak dari mereka yang dieksekusi berasal dari masyarakat minoritas seperti Arab Ahwazi – yang didominasi Syiah – serta Kurdi dan Sunni Baluchi. Minoritas sebagai target eksekusi tidak berubah sejak Rouhani menjabat. [Baca: Nasib Keturunan Arab di Iran [1]]
Selama satu dekade terakhir, banyak tahanan politik Ahwazi Arab, mulai dari penyair, guru hingga blogger dan aktivis kemanusiaan, telah dieksekusi atas tuduhan palsu di Pengadilan Kanguru atau pengadilan tontonan. Lagi-lagi, tidak ada peningkatan dibawah kepemimpinan Rouhani.
Daripada menemukan bukti wajar bagi komisi kejahatan(commission of a crime), para juri secara umum lebih bergantung pada pengakuan, yang didapat dari terdakwa melalui penyiksaan fisik dan paksaan psikologis. Sementara itu, teman dan saudara terdakwa terkadang tidak mendapat informasi dimana orang yang mereka cintai ditahan, atau bahkan dikubur.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, hingar bingar kesepakatan nuklir dengan Iran menyebabkan isu hak asasi tersingkirkan.
Lupakan kalau Iran merupakan satu dari beberapa negara yang terus mengeksekusi pelaku kriminal remaja, dimana menurut PBB setidaknya 160 mendekam di penjara menunggu eksekusi mati atas kejahatan yang mereka lakukan ketika berumur di bawah 18 tahun. Jumlah pelaku remaja yang dieksekusi pada 2014-2015 – tentu saja di bawah pengawasan Rouhani – lebih tinggi daripada kapanpun selama lima tahun terakhir ini. [Baca: Pengadilan Iran Eksekusi 27 Warga Sunni dengan Tuduhan Melawan Allah dan Rasul-Nya]
Berdasarkan laporan Amnesty Internasional yang dirilis beberapa hari yang lalu, otoritas Iran telah berusaha untuk “menutupi pelanggaran hak asasi anak yang terus mereka lanjutkan dan membelokkan kritik atas rekor mengerikan mereka sebagai satu-satunya pengeksekusi pelaku remaja terakhir di dunia”.

Para pemuda itu “telah dirampok tahun-tahun berharga dalam hidup mereka – seringkali setelah didakwa dengan hukuman mati lewat pengadilan yang tidak adil, termasuk pengakuan paksa yang didapat melalui penyiksaan dan perlakuan menyakitkan lainnya,” berdasarkan Said Boumedouha, deputi direktur Amnesty Internasional program Timur Tengah dan Afrika Utara.
Laporan itu tidak menghentikan Rouhani menerima sambutan hangat di tur Eropa nya, seperti pertemuannya dengan politisi top serta Paus. Banyak negara yang ingin berbisnis dengan Iran, dan mereka tidak ingin keributan atas hal-hal sepele seperti hak asasi manusia rakyat Iran – bukan hanyasuara oposisi terkemuka di Barat, seringkali memprotes pemerintah mereka yang mengabaikan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan mitra bisnis berharga mereka.
Ketika itu datang pada Iran, para hipokrit akan dengan senang hati mengorbankan darah orang Iran – bukan untuk kekayaan atau kesejahteraan penduduk Barat tetapi hanya untuk alasan yang bersifat ideologi.*
Rahim Hamid adalah seorang jurnalis paruh waktu dan advokat hak asasi manusia yang menulis tentang keadaan buruk komunitas nya – Arab Ahwazi – dan kelompok etnis lain di Iran. Tulisan dimuat di laman middleeasteye.net, Jumat 29 Januari 2016*