SECARA bahasa, Syahadat berarti; pengakuan kesaksian, pengakuan atas kesaksian iman-islam sebagai rukun Islam yang pertama, ijazah (KBBI, Balai Pustaka, 1995).
Syahadat (الشهادة asy-syahādah) berasal dari bahasa Arab masdar dari syahida yang artinya ia telah memberikan persaksian. Arti harfiah syahadat adalah memberikan persaksian, memberikan ikrar setia, memberikan pengakuan.
Secara terminologi, syahadat diartikan sebagai pernyataan diri segenap jiwa dan raga atas persaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasul-Nya).
Adapun menurut istilah, ia maklum dimengerti sebagai urutan pertama dari lima Rukun Islam yang wajib diamalkan oleh setiap Muslim.
Syahadat terdiri dua kalimat persaksian yang disebut dengan syahadatain, yaitu: Asyhadu an-laa ilaaha illallaah (ا شهد أن لا إله إلا الله) yang artinya “Saya bersaksi tiada Tuhan Selain Allah”. Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah (و اشهد أن محمد ر سو ل الله) yang artinya: “dan saya bersaksi bahwanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Menurut pejelasan mayoritas ulama, syahadat termasuk dalam 5 rukun Islam (arkān-al-Islām أركان الإسلام) atau rukun agama (arkān ad-dīn أركان الدين) dan ditampilkan pada rukun pertama. Melaksanakan syahadat hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah.
Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan;
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam itu dibangun di atas lima (tiang ataupun rukun): syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah ta‘ala) dan Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan Puasa Ramadhan.”
Dalil untuk syahadat adalah sebuah ayat yang agung yang menunjukkan betapa pentingnya syahadat, karena merupakan sebuah kesaksian yang sangat agung. Persaksian yang agung adalah persaksian tauhid karena yang bersaksi adalah Allah Subahanahu wa Ta’ala dan para Malaikat bahwa tiada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata.
Syahadat menurut syari’at adalah pengakuan, pembenaran dan keyakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah ‘Azza wa Jalla tiada sekutu bagi-Nya.
Sebagai pondasi, syahadat bahkan termasuk penentu utama diterima tolaknya satu amalan yang dilakukan seorang Muslim.
Disebutkan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, syahadat merupakan rukun pertama dan terbesar.
Ia adalah persaksian tiada Tuhan selain Allah yang layak disembah dan persaksian Muhammad sebagai utusan Allah.
Dalam buku “Beberapa Pelajaran Penting Untuk Segenap Umat” (Riyadh, tanpa tahun), Bin Baz juga memaparkan tujuh syarat syahadat yang wajib dipenuhi.
Yaitu; ilmu, keyakinan, ikhlas, jujur, kecintaan, ketaatan, penerimaan, dan mengingkari sesembahan selain Allah Yang Mahaesa.
Menurut cendekiawan Abdullah Said Rahimahullah, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah, syahadat adalah pernyataan sikap, keyakinan, dan pendirian mengenai suatu yang prinsip.
Ia adalah pengakuan sekaligus penetapan yang sungguh-sungguh disertai kesiapan mental untuk menanggung segala konsekuensinya, bahwa Allah Tuhan satu-satunya.
Pernyataan syahadat, lanjutnya, tidak hanya berakhir sampai di situ. Keyakinan kepada Tuhan bukanlah pernyataan sederhana.
Mengakui saja siapa presiden kita, dan menempatkan diri sebagai rakyatnya, sudah membawa konsekuensi yang tidak sedikit, minimal siap membayar pajak kepadanya.
Padahal status dan posisi itu sangat terbatas, baik waktu maupun wewenangnya.
Kalau kepada presiden saja sudah membawa akibat yang tidak sedikit, apalagi pernyataan dan pengakuan kepada Tuhan yang sama sekali tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan wewenang.
Sampai di sini, rasanya setiap kita layak berkaca mengeavaluasi diri tentang keualitas syahadat tersebut.
Khawatir tanpa sadar, diri ini terjebak dengan labeling atau sematan saja.
Berprinsip, asal sudah bersyahadat, misalnya. Padahal ia pun lupa kapan terakhir ia ber syahadat, apalagi hingga menyerapi makna kalimat agung tersebut.
Jangan heran, kata Abdullah Said, jika selama ini, syahadat yang kita temukan di lapangan tidak berhasil memberi bobot yang memadai sebagai wujud peningkatan mutu dan kadar kualitas eksistensi seseorang.
Tak mungkin kalimat itu dapat memberi bobot manakala diucapkan tidak dengan pemahaman, tanpa kesadaran akan segala macam resiko serta akibat yang merupakan tuntutan dan konsekuensi logisnya.
Kenapa itu bisa terjadi? Boleh jadi di antara kaum Muslimin ada yang beranggapan bahwa syahadat hanya sekedar ucapan formalitas.
Dipahami atau tidak, bukan menjadi soal. Yang penting, asal pengucapannya sudah tepat, baik huruf maupun makhrajnya, dianggap sudah sah sebagai Muslim.
Terserah nanti menjalankan shalat atau tidak tetap maksiat atau menjadi penjahat.
Di sinilah letak kehampaan dan kehambaran syahadat selama ini. (Kuliah syahadat, Abdullah Said, 2015).
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ahlus sunnah sepakat bahwa seseorang tidak dianggap mukmin kecuali orang yang hatinya meyakini kebenaran Islam dengan seyakin-yakinnya, bersih dari segala keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satunya tidak ada maka dia tidak termasuk mukmin, kecuali jika dia tidak mampu mengucapkan syahadatain karena cacat lisan atau dalam kondisi di ambang sekarat. Dalam keadaan demikian, tidak memungkinkan baginya untuk mengucapkan syahadat, sehingga dia tetap dikatakan sebagai seorang mukmin.” (Syarh Muslim li An-Nawawi, 1:149).*