Sambungan artikel PERTAMA
Hidup Dari Penjara ke Penjara
Kepergian Andi Mappetahang Fatwa (AM. Fatwa) membawa duka dan meninggalkan jejak yang sangat berharga bagi bangsa kita, terutama buat generasi muda.
Sebagaimana diketahui, ia adalah sosok aktivis pejuang yang bernyali tinggi, tak takut mati, teguh, lantang menyuarakan kebenaran, dan kritis terhadap penguasa. Karena itu, harus membayar mahal keyakinannya. Dipermalukan, diteror, disiksa, dan dipenjara.
Pria kelahiran Bone 12 Februari 1939 ini adalah segelintir tokoh di Indonesia yang paling sering keluar masuk penjara. Bukan karena berbuat kriminal, tapi karena ‘dikriminalkan’.
Saat menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Sumbawa merangkap Ketua Umum PII Wilayah Nusa Tenggara tahun 1958, mantan anggota Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Isa Anshari ini sempat ditahan beberapa hari oleh Pembantu Pelaksana Kuasa Perang (Pepekuper) –setingkat Kodim sekarang- karena sering menyampaikan kritik-kritik kepada Pemuda Rakyat, underbouw-nya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kemudian,saat kuliah di IAIN Jakarta dan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tahun 1962, Fatwa terpaksa bersembunyi selama beberapa waktu karena dicari dan dikejar oleh aparat intelijen akibat memimpin demo mengkritik kebijakan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Prof. Priyono yang dianggapnya selalu menguntungkan PKI, dan menuntutnya dipecat.
Selama periode 1963/1964, mantan pengajar Pancasila untuk pegawai-pegawai Pemda DKI Jakarta pernah ditahan selama enam bulan dan dipindah dari satu tempat ketempat yang lain. Mulai dari Tangerang, Mabes Polri, Sukabumi, Solo, Karang Anyar, hingga Tawangmangu. Penahanan ini karena tuduhan melanggar UU Anti Subversi (PNPS XI/ 1963). Ia kala itu demo menggugat penyimpangan-penyimpangan yang ada di Departemen Agama. Dan ini dianggap merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi.
Pria yang mengenyam pendidikan tinggi di IAIN Jakarta Fakultas Dakwah (1960-1965 minus ujian akhir) ini kembali ditahan oleh Laksus Kopkamtibda Jaya selama Sembilan bulan dengan tuduhan subversi lagi.Ceritanya, tahun 1977, MUI DKI menyelenggarakan peringatan 1 Muharram di Istora Senayan. Ia yang waktu itu jadi Sekretaris MUI DKI sekaligus Ketua Panitia.
Dalam peringatan itu, ada ikrar penolakan aliran kebatinan/kepercayaan masuk GBHN. KH Rahmatullah yang membaca ikrar itu juga diinterogasi aparat kemanan.
Bersamaan dengan itu, para mahasiswa sedan ggencar-gencarnya menolak program penguasa Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Fatwa dipenjara karena menentang pembubaran dewan-dewan mahasiswa dan pembentukan NKK/BKK.
Fatwa berpindah dari penjara satu penjara lain. Pertama masuk di Batalyon 202 Bekasi, lalu Rumah Tahanan Militer(RTM) Boedi Oetomo, dan terakhir RTM Guntur.
Pernah saat khutbah Idul Fitri di Lapangan Pacuan Kuda Pulomas pada 1979, membuatnya ditahan kurang lebih sebulan oleh Laksus Kopkamtibda Jaya. Khutbah itu banyak mengkritik kebijakan penguasa, khususnya maneuver-manuver politik Ali Moertopo cs., kegagalan indoktrinasi P4, dan terlalu jauh nya intervensi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) lembaga think-thank yang dipakai Orde Baru dalam mempengaruhi kebijakan politik-ekonomi pemerintah sehingga praktis lebih berperan ketimbang Bappenas. Kegiatan ini dianggap melanggar UU Anti Subversi dengan tuduhan “merongrong kewibawaan pemerintah”.
Lagi-lagi pada 1980 ia ditahan kurang lebih sebulan oleh Laksus Kopkamtibda Jaya akibat khutbah Idul Fitri di Lapangan Urip Sumoharjo. Fata tiba-tiba dilarang naik mimbar untuk berkhutbah dan langsung diganti oleh khatib lain yang disediakan oleh penguasa. Tak pelak menimbulkan reaksi protes dan huru-hara jamaah setelah selesai shalat.
Penahanan ini tentu saja disertai dengan penyiksaan-penyiksaan oleh Satgas Intel.
Begitu juga waktu Idul Adha tahun 1980. Karena bersikukuh tetap tampil sebagai khatib, deklarator berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengalami siksaan yang dilakukan oleh Danramil Setiabudi dan oknum-oknum intelijen hingga mengalami gegar otak dan harus dirawat selama tiga minggu di RS Islam Jakarta.
Baca: AM Fatwa Pejuang Ikhlas, Bangsa Indonesia Berhutang Budi
Atas kejadian ini Fatwa menuntut Pangkopkamtib di pengadilan. Akibatnya ia justru mengalami tekanan dan teror lebih keras supaya mencabut tuntutan. Karena Fatwa tetap ogah mencabut, ia harus dihadang dan disiksa oleh oknum intel di tengah jalan (belakang Masjid Agung Al-Azhar) dan dilukai dengan clurit sehingga harus dirawat selama dua minggu di RS AL.
Selama periode 1980-1984, penulis 29 buku itu terus-menerus mengalami teror fisik dan mental dan selalu kuntit intelijen karena aktivitas selaku sekretaris kelompok kerja (Pokja) Petisi 50.
Pembantu kantor dan supir pribadinya pun pernah diculik dan dibuang di pinggir jalan dan pinggiran kota sebagai bagian terror kepadanya.
Itulah pengalaman getir hidup beliau keluar masuk penjara tanpa proses pengadilan. Baru setelah Tragedi Tanjung Priok, beliau diproses di pengadilan hingga divonis 18 tahun penjara. Beliau dituduh terlibat dalam peristiwa berdarah itu dan dianggap sebagai konseptor “Lembaran Putih” yang memprotes penembakan rakyat dan mendesak pembentukan Panitia Pencari Fakta atas kejadian itu.
Hukuman itu ia jalani sembilan tahun. Dari tahun 1984-1993, ia dipindah-pindahkan. Mulai dari Polres Jakarta Pusat, RTM Guntur, RTM Cimanggis, Bogor, Rutan Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, LP Sukamiskin Bandung, LP Bogor, dan kembali ke LP Cipinang lalu bebas sementara dan baru dinyatakan bebas bersyarat dan baru dinyatakan bebas penuh sekaligus rehabilitasi politik pada 17 Agustus 1998. Ia merdeka di hari kemerdekaan Indonesia.*/Andi, dari buku “AM. Fatwa Dari Mimbar ke Penjara”