Oleh: Wildan Hasan
KEHIDUPAN kaum Muslimin di tanah air saat ini banyak masalah, beban kehidupan dan tantangan yang harus dihadapi.
Di negeri sendiri, kita menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, liberalisasi ekonomi dan pemikiran, konflik sosial, merebaknya budaya barat, tirani media, tirani minoritas, korupsi birokrasi, eksploitasi kekayaan nasional, berkembangnya aliran-aliran sesat, dekadensi moral, kriminalitas, apatisme publik dan lain-lain.
Masalah-masalah ini saling kait-mengkait, terkoneksi secara komplek satu jalur dengan jalur lainnya.
Dalam kondisi demikian, mestinya kita berfikir arif dan bijak, menghemat energi kehidupan (waktu, tenaga, pemikiran dan harta), memaksimalkan kerja dan peluang, merapatkan barisan, menambal kebocoran, saling menolong mewujudkan kebaikan, saling menjaga, mengasihi, peduli dan setia kawan antara sesama Muslim. Namun kenyataannya, ternyata tidak mudah mewujudkan harapan-harapan itu. Dalam situasi penuh tantangan ini, kita tidak tergerak untuk bersatu, atau mencari jalan mengishlahkan perselisihan; tetapi kita justru banyak terlibat dalam konflik dan perselisihan antar sesama.
Salah satu masalah besar yang dihadapi kaum Muslimin di nusantara yang menghalangi terwujudnya persatuan umat, ialah sulitnya menyatukan barisan Ahlus Sunnah wal Jamaah atau kerap disingkat ASWAJA.
Kita patut bersyukur, bangsa ini didominasi oleh kalangan Ahlus Sunnah. Eksistensi Ahlus Sunnah sendiri tersebar di berbagai organisasi, lembaga, sikap politik, dan bidang aktivitas. Andaikan semua ini dipandang sebagai sebuah keragaman yang saling melengkapi, tentu kita sangat mensyukurinya. Namun dalam kenyataannya, antara sesama Ahlus Sunnah kerap terlibat dalam perselisihan sengit yang akhirnya saling menegasikan.
Ketika Ahlus Sunnah masih terpuruk dalam labirin pertikaian, akibatnya umat Islam di Nusantara terus-menerus didera kelemahan, penderitaan, dan akhirnya berujung pada kelemahan yang berdampak pada kelamnya wajah Indonesia saat ini. Karena kondisi bangsa ini adalah cerminan dari kondisi umat Islam sebagai mayoritas rakyat tanah air. Saat ini kita sangat dituntut untuk mencari jalan titik temu dan jembatan penghubung yang bisa menyatukan hati-hati sesama Ahlus Sunnah. Kita harus berusaha sekuat tenaga membangun kekuatan umat. Kalau tidak bisa menyatukan pemikiran, setidaknya memiliki komitmen untuk saling menghormati dan mengasihi.
Kalau tidak mampu berkomitmen, berarti kita harus mampu menahan diri dari sikap-sikap yang bisa memperlebar jurang perpecahan. Apalagi musuh-musuh Islam terus berupaya memerangi umat Islam dengan memecah belah dan mengadu domba berbagai kalangan Ahlu Sunnah satu sama lainnya. Sebagai contoh, mereka mengadu domba antara Wahabi dan NU yang keduanya sejatinya berada di rumah besar Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sama dengan meniup-niupkan isu Takfiri dan sebagainya.
Tidak diragukan lagi, bahwa persatuan umat adalah dambaan kita semua. Banyak dalil syariat yang menyerukan umat Islam agar bersatu padu, merapatkan barisan dan saling tolong menolong dalam kewajiban dan takwa. Hingga disebutkan dalam riwayat, “Berjamaah itu adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab.” [HR: Al Qadha’i, dari Nu’man bin Basyir]. Persatuan kaum Muslimin akan tercapai, jika Ahlus Sunnah wal Jamaah bisa bersatu. Karena Ahlus Sunnah merupakan mayoritas dari kalangan umat Islam di seluruh dunia; mereka adalah pengikut salah satu dari imam-imam Ahlus Sunnah, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Asy Syafi’i dan Imam Hambali. Ahlus Sunnah inilah yang dijanjikan mendapatkan keselamatan dan pertolongan.
Namun dalam praktiknya, tidak mudah menyatukan Ahlu Sunnah, karena disana terdapat perselisihan antara elemen-elemen Ahlus Sunnah sendiri yang tidak jarang dijadikan celah bagi musuh-musuih Islam untuk merusak ukhuwah Islamiyah. Mereka berselisih dalam perkara fiqih, cabang-cabang aqidah, pemikiran, hingga kepentingan politik. Salah satu perselisihan yang menonjol ialah antara paham Asy’ariyah dan Maturidiyah di satu sisi dan Salafiyah di sisi lain. Inilah yang kemudian mengemuka pada beberapa opini di harian Republika belakangan ini. Tulisan KH. Ali Mustofa Ya’qub yang mengangkat tema “Titik Temu Wahabi-NU” dikomentari oleh dua orang cendekiawan; Mohammad Khoiron dan Asyhari Masduki yang juga dari kalangan internal NU.* (bersambung)
Penulis Ketua MIUMI Kota Bekasi dan Bidang Penelitian dan Pengkajian MUI