Antara doa dan permintaan maaf –dalam tradisi Idul Fitri— keduanya memiliki makna yang mendalam dalam memperkuat hubungan spiritual dan sosial kita
Oleh: Dr. Kholid A.Harras
Hidayatullah.com | IDUL FITRI adalah momen yang sangat dinantikan oleh umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, Idul Fitri menjadi hari kemenangan yang dirayakan dengan penuh suka cita. Namun, ada beberapa aspek tradisi Idul Fitri di Indonesia yang menarik untuk direnungkan, terutama terkait dengan makna doa dan permintaan maaf.
Doa dan Harapan di Hari Kemenangan
Secara teologis, Idul Fitri adalah waktu untuk saling mendoakan agar ibadah Ramadan yang telah dijalani diterima oleh Allah SWT. Ucapan “minal aidin wal faizin” yang sering terdengar, memiliki arti “semoga kita termasuk orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan orang-orang yang menang”.
Ini mencerminkan harapan agar setiap Muslim yang telah berpuasa dapat meraih kemenangan spiritual dan kembali ke fitrah, yaitu keadaan suci seperti saat dilahirkan.
Namun, tidak ada jaminan bahwa setiap ibadah puasa yang dilakukan akan diterima oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadist, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari)
Hadist ini menekankan pentingnya niat dan kualitas ibadah puasa, bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga. Oleh karena itu, doa dan harapan agar ibadah diterima menjadi sangat penting dalam tradisi Idul Fitri.
Permintaan Maaf: Lahir dan Batin
Di Indonesia, tradisi meminta maaf lahir dan batin menjadi salah satu ciri khas perayaan Idul Fitri. Ucapan “mohon maaf lahir dan batin” sering kali diucapkan sambil bersalaman dengan keluarga, teman, dan tetangga. Namun, secara semantik, pengertian “maaf lahir dan batin” bisa jadi membingungkan.
Lahir berarti tampak atau di luar, sedangkan batin berarti tidak tampak atau di dalam. Permintaan maaf ini seharusnya mencakup kesalahan yang terlihat maupun yang tidak terlihat, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Permintaan maaf ini mencerminkan kesadaran bahwa manusia tidak luput dari kesalahan (error) dan kekhilafan (mistake). Dengan meminta maaf, kita mengakui kelemahan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, serta berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan sesama.
Namun, perlu diingat bahwa permintaan maaf bisa dilakukan kapan saja, terutama ketika terjadi kesalahpahaman. Oleh karena itu, yang seharusnya lebih diprioritaskan dan dipahami saat Idul Fitri adalah saling mendoakan agar ibadah Ramadan diterima oleh Allah, karena inilah esensi dari hari kemenangan tersebut.
Tradisi di Zaman Rasulullah
Dalam literatur Islam, tidak ditemukan dalil atau hadist yang secara khusus menganjurkan tradisi bermaaf-maafan saat Idul Fitri. Menurut sejumlah hadist, saat hari Idul Fitri atau usai Ramadan, Rasulullah ﷺ dan para sahabat ketika bertemu saling mendoakan dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amalan kami dan kalian)
Pada masyarakat Timur Tengah saat ini, tradisi saling bermaafan saat Idul Fitri juga tidak umum dilakukan. Perayaan Idul Fitri di negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab lebih fokus pada shalat Id, berbagi hidangan, dan saling mendoakan. Permintaan maaf biasanya dilakukan kapan saja, terutama ketika terjadi kesalahpahaman atau konflik, bukan khusus pada hari raya.
Kesimpulan
Tradisi Idul Fitri di Indonesia, dengan segala keunikannya, mengajarkan kita tentang pentingnya doa dan harapan agar ibadah kita diterima oleh Allah, serta kesadaran akan pentingnya meminta maaf atas segala kesalahan.
Meskipun ada perbedaan dalam penekanan antara doa dan permintaan maaf, keduanya memiliki makna yang mendalam dalam memperkuat hubungan spiritual dan sosial kita. Semoga kita semua dapat meraih kemenangan sejati dan kembali ke fitrah yang suci.*
Penulis dosen FPBS UPI