Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Abdullah al-Mustofa
Deklarasi Agama “Islam Nusantara”
SALAH satu “pengamalan” dan “syi’ar” dari agama “Islam Nusantara” yang paling fenomenal adalah pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa pada pada acara Peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara baru-baru ini dan dilanjutkan pada acara “Ngaji Qur’an Langgam Jawa & Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat GUSDURian di Pendopo Hijau Yayasan LKiS di Sorowajan (Rabu, 27/05/2015).
Agama baru kelompok “Jemaaat Islam Nusantara” atau JIN adalah hasil dari pemikiran dan gerakan liberalisasi agama dan sekularisasi di Indonesia. Maka pasti “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN diciptakan dan disebarluaskan dengan tujuan untuk meliberalisasi ajaran Islam dan meliberalkan umat Islam Indonesia. (Baca Satu Agama Islam Harga Mati)
Seorang wakil dari “Muslim” liberal bernama Rony Subayus dalam artikelnya berjudul “Merayakan Pluralisme Islam” yang dimuat di website resmi Jaringan Islam Liberal membenarkan (pernyataan penulis di atas) dengan menulis:
“Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.”(http://islamlib.com/?site=1&aid=430&cat=content&title=kolom)
Menurut hemat penulis, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan langgam Jawa di kedua acara tersebut adalah deklarasi dari agama “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN.
Selain deklarasi, aksi nyeleneh tersebut adalah starting point, awal dan pemanasan dari aksi-aksi yang lebih nyleneh dan berbahaya yang bisa saja akan dilakukan pada masa-masa mendatang.
Sinkretisme Agama
Bola salju agama “Jemaat Islam Nusantara” alias JIN bukan sekadar membuat umat Islam semakin liberal dalam beragama, tapi lebih dari itu. Agama baru “Jemaat Islam Nusantara” merupakan sinkretisme antara Islam dengan ajaran “Islam” liberal, dengan kearifan lokal dan (akan bisa pula) dengan agama-agama impor yang dianggap lebih sesuai untuk Nusantara, dengan kata lain yang lebih sesuai dengan kearifan lokal.
Semakin liberalnya umat Islam Indonesia dalam beragama di masa-masa mendatang bisa berupa pemakaian kemben (kain batik yang dililitkan badan perempuan Jawa untuk penutup badan tapi kelihatan dada dan lengan) oleh para Muslimah Jawa – dalam berbagai kesempatan, bahkan ketika menjalankan shalat -. Bisa berupa penerbitan dan pendistibusian Al-Qur’an berbahasa Jawa bahkan Sansekerta (bukan Al-Qur’an dengan terjemah dalam bahasa-bahasa tersebut). Bisa berupa meluasnya penerimaan dan pelaksanaan oleh umat Islam akan shalat dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal.
Sinkretisme agama Islam dengan “Islam” Liberal, kearifan lokal dan agama-agama tersebut di atas bisa menyentuh segi aqidah, syari’ah dan ibadah dalam Islam. Sinkrestisme ajaran Islam dengan “Islam” Liberal telah terjadi. Sehingga agama “Islam Nusantara” mengajarkan tawassuth (moderat), tasaamuh (toleran), tawaazun (berimbang/obyektif) dan i’tidal (adil) – dalam perspektif “Islam” liberal.
Sinkretisme dengan kearifan lokal juga sudah terjadi berupa pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Sinkretisme dengan kearifan lokal yang lebih berbahaya dari pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa adalah berupa pemakaian kemben oleh para Muslimah Jawa, Al-Qur’an dan shalat dengan bahasa-bahasa lokal yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
Di masa-masa yang akan datang bisa saja akan muncul aksi-aksi yang lebih berbahaya. Dengan alasan pribumisasi Islam, bisa saja kela ada patung Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi Wassallam, pemujaan terhadap patungnya dan pemasangan patungnya di masjid-masjid dan rumah-rumah kaum Muslim di Indonesia, dan didirikannya shalat dengan menghadap ke patungnya sebagai hasil dari sinkretisme agama Islam dengan agama-agama yang dianggap lebih melokal dan mempribumi.
Memadamkan Api
Meminjam pernyataan Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar, maka melihat betapa bahayanya agama baru hasil dari sinkretisme agama tersebut maka wajib bagi umat Islam Indonesia memadamkannya sedini mungkin dengan segala cara – yang dibenarkan agama dan negara – termasuk melakukan gugatan massal atas kaum munafiq kontemporer ke pengadilan dengan delik penistaan agama Islam.
Pemadaman ini penting untuk dilakukan agar agama sinkretisme baru tersebut mati sebelum berkembang, agar tidak berkembang seperti berkembangnya agama Kristen yang merupakan agama sinkritisme, yang mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik, sebagaimana digambarkan Gunkel, Harnadc dan Bultmann yang disebutkan dalam “Sinkretisme Dalam Pandangan Alkitab” (Jurnal Pelita Zaman, Volume 1 No. 1 Tahun 1986, http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=jpz). Wallahu a’alam bish showab.*
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri Jatim