Hidayatullah.com- Ijtima’ ulama merupakan agenda 2 tahunan sekali dengan mengumpulkan seluruh wakil komisi fatwa baik dari MUI Pusat maupun provinsi. Karena itu, forum ijtima punya maqom yang tinggi.
Demikian pernyataan disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Prof. Din Syamsuddin saat memberikan sambutan pada acara pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Ke-5 dengan tema “Ulama Menjawab Problematika Umat dan Kebangsaan” di Pesantren At-Tauhiddiyah, Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, Senin (08/06/2015).
“Dan tentu hasil produknya seperti fatwa-fatwa dan rekomendasi juga berada pada maqom yang tinggi. Karena tidak hanya sekadar dibahas dan disepakati oleh komisi MUI Pusat tetapi dari komisi fatwa MUI se-Indonesia,” kata Din.
Din menambahkan problematika umat dan kebangsaan yang akan dibahas dalam ijtima itu seperti yang sebelum-sebelumnya yakni dibagi menjadi tiga kelompok pembahasan.
“Tiga bahasan yaitu masail asasiyah wathoniyah (masalah strategis kebangsaan), masail fiqqiyah mu’asyiroh (masalah fikih kontemporer) dan masail qonuniyah (masalah hukum dan perundang-undangan),” papar Din.
Hal itu dinilai Din sebagai perwujudan tanggung jawab mas’uliyyah majelis ulama yang terdiri dari zuhama dan para ulama terhadap problematika yang tengah dihadapi umat dan bangsa.
“Jika saya amati bangsa negeri tercinta ini masih menghadapi masalah-masalah dan problematika itu mengandung arti lebih dari sekadar masalah tetapi adanya kompleksitas dari masalah-masalah yang kita hadapi,” ujar Din.
Dan tentu, kata Din, itu terkait dengan dinamika global yang terus menggeliat di tengah-tengah krisis energi, pangan, keuangan sampai krisis moral serta juga dampaknya bagi bangsa dan negara.
Maka, menurut Din, ijtima ulama inilah peran serta dari para ulama untuk ikut membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
“Kalau biasanya umat bertanya ulama menjawab tetapi sekarang ini langsung ulama menjawab problematika bangsa. Jadi, istifta’ permintaan fatwa bisa secara langsung dan bisa juga secara tidak langsung,” cetus Din.
Biasanya ulama memberikan fatwa istifta’ atau permintaan fatwa karena itu ulama berkewajiban untuk memberi pandangan keagamaannya yang disebut dengan fatwa itu.
“Tetapi kadang ada istifta’ secara tidak langsung yaitu adanya situasi dan kondisi dari kehidupan keumatan dan kebangsaan yang mengandung masalah-masalah untuk segera diselesaikan. Dan itulah yang menjadi landasan dikeluarkannya fatwa majelis ulama,” pungkas Din.*