Hidayatullah.com—Militer penjajah ‘Israel’ (IDF) menyebutkan Brigade Al-Qassam, sayap militer kelompok Hamas melakukan salah satu rencana pengecohan terbesar dan paling kompleks dalam sejarah militer dalam serangan 7 Oktober 2023, demikian dikutip Surat kabar ‘Israel’ Maariv, tentang “Operasi Taufan Al-Aqsa”.
Maariv mengatakan, berdasarkan penyelidikan IDF, bahwa selama bertahun-tahun Brigade Al-Qassam telah bekerja untuk mengembangkan strategi ofensif yang komprehensif.
Investigasi ‘Israel’ mengungkapkan kegagalan bersejarah dalam menghadapi serangan “Taufan Al-Aqsha”.
Menurut penyelidikan, pihak penjajah gagal memprediksi serangan itu meskipun ada beberapa sinyal, karena Hamas menunda operasi dua kali, yang pertama pada Oktober 2022 selama hari libur Yahudi, dan yang kedua pada April 2023 selama Paskah.
Sayangnya, intelijen Militer dan dinas keamanan ‘Israel’, Shin Bet tidak dapat memberikan peringatan pre-emptive.
Investigasi juga menunjukkan bahwa kepemimpinan ‘Israel’ –baik secara politik maupun militer— percaya bahwa pejuang Hamas tidak tertarik pada eskalasi dan mencari penyelesaian politik, sementara kepemimpinan gerakan, yang dipimpin oleh Yahya Sinwar, sedang mengembangkan rencana sistematis untuk serangan itu.
Menurut penyelidikan IDF, setelah runtuhnya sistem pertahanan ‘Israel’ dan hanya dalam 6 jam, sekitar 5.500 pejuang perlawanan Palestina berhasil masuk wilayah ‘Israel’ melalui 114 titik penetrasi perbatasan.
Mereka lolos masuk menggunakan 59 jalur serangan, sementara unit angkatan laut dan udara berusaha melakukan serangan simultan.
Akibatnya, ‘Israel’ menderita pukulan telak pada jam-jam awal serangan, menurut penyelidikan, dengan melihat brigade dan komandan lapangan tewas, yang menyebabkan runtuhnya sistem komando dan kontrol IDF.
Menurut klaim ‘Israel’, “Operasi Taufan Al-Aqsha” menewaskan 1.320 orang ‘Israel’, termasuk 457 personel militer, menangkap 251 orang, dan melukai ribuan lainnya.
Seorang pejabat senior IDF menggambarkan serangan itu sebagai “bencana militer yang belum pernah terjadi sebelumnya,” menambahkan bahwa penyelidikan telah mengungkapkan kelemahan serius dalam kesiapsiagaan dan kemampuan respons cepat.
“Kegagalan membutuhkan pembelajaran untuk generasi yang akan datang,” kata militer, menambahkan bahwa penyelidikan tidak memberikan “penjelasan yang memuaskan” untuk kegagalan itu.
Investigasi menunjukkan bahwa perencanaan serangan 7 Oktober dimulai lebih dari satu dekade yang lalu, dengan strategi Hamas mengkristal setelah operasi ‘Israel’ bertajuk Guardian of the Walls pada tahun 2021, ketika kelompok tersebut menyadari bahwa mereka dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan pada pihak ‘Israel’.
Menurut IDF, operasi itu menandai titik balik dalam doktrin tempur Hamas, karena telah mulai mengembangkan taktik ofensif canggih yang memanfaatkan kelemahan dalam pertahanan ‘Israel’.
Investigasi ini juga menunjukkan gambaran yang meresahkan di ‘Israel’ tentang tingkat kegagalan militer dan intelijen ‘Israel’ dalam menghadapi “Taufan Al-Aqsha,” di tengah pertanyaan tentang kesiapan negara Yahudi untuk menghadapi ancaman serupa di masa depan.*