Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: A. Kholili Hasib
PADA masa Daulah Umayyah tepatnya masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik terjadi persengkataan politik antara Hisyam dengan Zaid bin Ali Zainal Abidin (seorang sayyid keturunan Ali bin Abi Thalib). Zaid merupakan saudara Muhammad al-Baqir, seorang keturunan ahlul bait yang diklaim oleh Syiah sebagai imamnya. Sengketa ini bukan sebab persoalan akidah. Zaid dan Hisyam sama-sama berpaham Ahlus Sunnah. Hanya saja Hisyam salah satu raja yang otoriter. Khususnya terhadap para sayyid keturunan Ali Zainal Abidin.
Zaid bin Ali ini seorang Ahlus Sunnah tulen. Beliau merupakan guru dari Imam Abu Hanifah, salah seorang mujtahid fikih dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan, ketika terjadi perselisihan dengan Hisyam, Imam Abu Hanifah menunjukkan loyalitasnya kepada Zaid bin Ali. Imam Abu Hanifah pernah menyatakan dukungannya kepada Zaid. Ia berkata: “Keluarnya Zaid (dari pemerintahan Hisyam) menyamai keluarnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pada waktu perang Badar”. Atas sikapnya ini, Imam Ja’far al-Shadiq memuji Imam Abu Hanifah: “Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan rahmat kepada Abu Hanifah. Kecintaannya kepada kami Ahlul Bait benar-benar nyata dalam pertolongan yang diberikan kepada kami” (Abu Zahrah, al-Imam Zaid Hayatuhu wa ‘Atsaruhu, hal. 72).
Terjadinya huru-hara dan fitnah kaum Syiah pada masa Dinasti Umayyah ini juga menjadi faktor banyak sayyid yang hijrah ke negara lain. Khususnya rombongan Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut Yaman. Di sini menurut informasi yang terpercaya beliau mengajarkan madzhab Syafii. Dari keturunan inilah lahir dai-dai yang menyebarkan ke Nusantara.
Prof. A. Hasymi juga menilai jejak Syiah ditemukan dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani. Dia menulis: ‘Dari uraian-uraian yang lalu, dapat dipahami bahwa pertentangan yang kian lama kian mendahsyat antara golongan Syiah dengan golongan Ahlus Sunnah, pada mulanya adalah berlatar belakang politik. Tetapi, lambat laun – seperti halnya di negeri Arab sendiri – latar belakang politik itu mengabur dan menonjol latar belakang akidah, thariqat, filsafat dan tasawuf, sekalian sekali-kali wajah politiknya menampakkan diri. Latar belakang “thariqat/filsafat” sangat menonjol setelah tampil ke arena Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Saymsuddin Sumatrani di satu pihak, dan Syekh Nuruddin Ar-Raniri serta Syekh Abdur Rauf Syah Kuala di pihak yang lain.” (hal. 52).
Selanjutnya, secara khusus ditulis tentang Syamsuddin Sumatrani: “Sekalipun Syekh Syamsuddin Sumatrani seorang ulama beraliran Syiah yang menganut wahdatul wujud, namun dia tidak dapat mengembangkan pahamnya itu dengan mempergunakan kedudukan pentingnya dalam negara karena Sulthan Saidil Mukamil dan Sulthan Iskandar Muda mempunya kepribadian yang kuat di samping kebijaksanaan yang mengagumkan sebagai negarawan ulung, ditambah lagi karena Syekh Syamsuddin sendiri berpengetahuan dan berpaham luas.
Jadi, anggapan Syiah terhadap dua sufi Aceh tersebut semata berdasarkan aliran pemikiran tasawufnya yang disebut beraliran ‘wujudiyah’. Tentu saja, alasan ini sangat lemah, serta tidak berdasar sama sekali.
Hamzah Fansuri sendiri dalam thariqah tasawufnya mengikuti thariqah Qadiriyah, thariqah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam aliran Syiah tidak pernah ditemuikan thariqah Syiah yang bernama Qadiriyah. Thariqah ini bermadzhab Ahlus Sunnah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani sendiri dalam kitab Al-Ghunyah,kitab yang menjadi panduan para pengikut thariqah berpendapat bahwa Syiah adalah aliran sesat. Kelompok ekstrim itu dijelaskan oleh Syaikh al-Jailani ada yang sampai ‘menuhankan’ saidina Ali. Adapula yang menganggap bahwa saidina ’Ali berkedudukan seperti nabi karena Malaikat Jibril salah ketika menyampaikan wahyu (Abdul Qodir al-Jailani, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, hal. 180-181). Jadi, Syekh al-Jailani yang menjadi panutan Hamzah Fansuri menolak ajaran Syiah.
Tasawuf yang disebut dengan ‘wujudiyah’ juga bukan tasawuf Syiah. Litelatur Syiah tidak ada yang menerangkan aliran tasawuf ini, kecuali dari para sufi Sunni. Taftazani menyebut ‘wujudiyah’ sebagai tasawuf falsafi. Karena menggabungkan tasawuf dan falsafah yang mendalam tentang ontologi. Para ulama yang dirujuk oleh Hamzah Fansuri semuanya sufi Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Jilli, Ibnu Arabi, Syekh Junaid al-Baghdadi, Jalaluddin al-Rumi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri di antaranya; ma’rifatullah,tajalliyat,al-wujud, dan lain-lain, dimana tidak ditemukan unsur Syiah di dalamnya.
Adapun pertentangan antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri bukan pertentangan antara aliran Syiah dengan Ahlus Sunnah. Nuruddin al-Raniri juga seorang sufi yang memiliki darah keturunan Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasani.
Dari segi ilmu tasawuf, al-Raniri memiliki dua jalur sanad tariqah. Pertama Sayyid Umar Al-Idrus, pemimpin tariqah Ba’alawi di India pada zamannya. Kedua, dia memiliki sanad Tariqah Rifaiyyah dan Qodiriyyah. Dia juga pernah belajar di Hadramaut, pusat dan tempat lahir tariqah Ba’alawi. Tariqah inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran Nuruddin al-Raniri.
Pendekatan dalam bentuk praktik tasawuf Ba’alawi ini memiliki keunikan daripada tariqah tasawuf lainnya. Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf imam al-Ghazali dan tariqah Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tariqah ini menjauhi hal-hal rumit yang bisa membingungkan Muslim awam. Untuk menghindari pemahaman yang keliru tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang rumit, termasuk kitab karya Ibnu Arabi. Terlebih lagi al-Raniri salah seorang fuqaha di Aceh. Di kalangan sebagian fuqaha ada larangan membaca karya Ibnu Arabi, bukan disebabkan Ibnu Arabi sesat tetapi karena bahasa yang digunakkan merupakan ‘tingkat tinggi’.
Walhasil, saat ini ada upaya yang cukup serius dari sarjana Syiah untuk ‘mencuri’ dan mengaburkan tokoh-tokoh besar Sunni. Upaya ini sudah sampai pada kajian-kajian akademis serius. Tujuannya adalah agar generasi berikutnya menilai bahwa jika lembar sejarah dibuka, maka yang ditemukan adalah Syiah bukan Sunni. Gaya ini mirip dengan nativisasi yang dilakukan orientalis. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya