DI ANTARA kita mungkin juga sering tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang kelihatannya ringan, namun berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala. Misalnya, ketika kita mendapatkan suatu kenikmatan atau mendapatkan pertolongan, seringkali kita menyandarkan nikmat tersebut kepada selain Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidaklah dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34).
Contohnya adalah perkataan seseorang, “Kalaulah bukan karena pertolonganmu, saya tidak tahu bagaimana nasibku ini.” Atau, “Kalaulah bukan karena tadi ada polisi lewat, mungkin kita sudah babak belur dihajar preman.” Atau, “Kalaulah anjing di rumah kita tidak menggonggong keras, kita tidak akan tahu kalau ada pencuri yang masuk ke dalam rumah kita.”
Ini adalah sedikit contoh tentang beberapa perkataan yang mungkin pernah kita ucapkan tanpa kita sadari. Kelihatannya sepele, namun di dalamnya terkandung penyandaran nikmat kepada selain Allah Ta’ala. Kita justru mengaitkan nikmat tersebut kepada sebabnya, bukan kepada Allah yang menciptakan sebab tersebut.
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Mengenai ayat di atas, ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah berkata, “(Yaitu) perkataan seseorang, ‘Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan begini dan begitu.’ Atau, ‘Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan menimpamu yang demikian dan demikian.”
Bahkan, menyandarkan nikmat kepada selain Allah Ta’ala termasuk dalam perbuatan menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah Ta’ala. Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 22).
Ikrimah rahimahullah berkata, “(Yaitu) perkataan mereka, ‘Kalaulah bukan karena anjing kita ini, maka rumah kita tentu akan dimasuki pencuri.’ ‘Andai bukan karena anjing yang menggonggong di dalam rumah’, atau kalimat-kalimat semacam itu.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Contohnya adalah perhataan, ‘Demi Allah dan demi hidupmu, wahai Fulan! Dan demi hidupku.’ Atau ucapan, ‘Kalau bukan karena anjing ini, tentu kita akan didatangi pencuri-pencuri itu.’ Atau, ‘Kalau bukan karena angsa di rumah ini, tentu datanglah pencuri-pencuri itu.’ Atau perkataan seseorang kepada temannya, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Atau perkataan seseorang, ‘Kalaulah bukan karena Allah dan fulan.’ Janganlah engkau sebutkan di dalamnya, ‘Fulan’, semua ini adalah perbuatan syirik terhadap Allah.”
Demikianlah di antara bentuk perbuatan syirik yang mungkin tidak kita sadari selama ini. Oleh karena itu, hendaklah kita takut terjerumus ke dalam syirik, sebagaimana rasa takut yang ada pada diri Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah, aku berlindung dari berbuat syirik sementara aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari dosa yang tidak aku sadari.” (Riwayat Bukhari).
Jika seorang tokoh yang bersih tauhidnya saja masih takut terhadap kesyirikan, maka tentunya kita semua ini –yang sangat miskin ilmu dan iman– seharusnya tidak merasa aman dari bahaya syirik. Sangat memungkinkan bagi kita terjerumus ke dalam syirik akbar (syirik besar), apalagi syirik kecil, baik disadari ataupun tidak.*/dr. M. Saifudin Hakim, dari bukunya Saudaraku… Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?