Hidayatullah.com–Selama ini sertifikasi dan fatwa halal suatu produk dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ada beberapa pihak yang berkeinginan agar sertifikasi halal tidak dimonopoli oleh MUI. Bahkan saat ini sudah ada Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) yang juga memfokuskan diri melakukan sertifikasi dan fatwa halal.
Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim menilai sertifikasi dan fatwa halal harus tetap dimonopoli oleh satu lembaga. Karena jika tidak, maka akan terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Dampak negatifnya lebih besar jika sertifikasi halal dilakukan banyak lembaga,” kata Lukmanul Hakim, kepada hidayatullah.com, baru-baru ini.
Misalnya saja, jelas Lukmanul Hakim, di Indonesia ini ada 60 Ormas Islam, dan setiap ormas Islam ini membuat juga lembaga sertifikasi dan fatwa halal. Maka bisa jadi setiap produk diminta mengantongi sertifikat halal 60 ormas Islam tersebut.
“Belum tentu fatwa halal Muhammadiyah akan diterima oleh NU. Begitu juga sebaliknya,” papar Lukmanul Hakim.
Lukmanul Hakim lalu memberikan contoh perbedaan dalam menetapkan Idul Fitri.
“Dalam kasus penetapan Idul Fitri, Muhammadiyah dan NU itu kan seringkali berbeda. Apalagi soal fatwa halal suatu produk,” tegasnya.
Jika satu produk harus mengantongi 60 sertifikat halal dari Ormas-ormas Islam, maka ini akan high cost memberatkan pengusaha.
“Misalnya saja satu produk disertifikasi halal oleh satu Ormas Islam dengan tarif satu juta rupiah, dikalikan saja dengan 60 Ormas Islam,” jelasnya.
Lukmanul Hakim menyarankan agar lembaga sertifikasi halal yakni LPPOM MUI dikuatkan saja perannnya.
“Lembaga yang sudah ada dikuatkan saja. Soal auditornya bisa dari berbagai Ormas Islam. Bagaimana pun juga MUI itu kan representatif ulama-ulama yang berasal dari ormas-ormas Islam,” tutup Lukmanul Hakim.*