Oleh: Suci Ayu Latifah
SEMENJAK dikeluarkannya program gerakan literasi oleh mantan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, muncullah kelompok maupun aktivis pegiat literasi diberbagai kota. Tidak muluk-muluk, dua komunitas tersebut dibangun berlatarbelakang keprihatinan Indonesia yang semakin rawan itu. Kepekaan dan kesadaran masyarakat yang lemah terkait pentingnya berliterasi.
Istilah literasi, sering diartikan sebagai melek aksara atau kemampuan membaca dan menulis. Kedua kemampuan yang menonjol itu, seakan-akan menjadi asupan sehari-hari oleh kelompok maupun aktivis literasi pada umumnya. Mereka gencar-gencarnya menyuarakan literasi sebagai bagian dari tonggak kehidupan. Tanpa literasi berarti mati—tidak berkembang, terpuruk dan terbelakang.
Literasi pada hakikatnya, pondasi proses belajar seseorang. Gerakan literasi yang telah digaung-gaungkan itu dapat mengasah rasa keingintahuan yang tinggi, mengasah kepekaan sosial, dan menambah wawasan serta keilmuan seseorang. Baik dalam bidang apapun, seperti: bidang agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Gerakan literasi adalah gerakan yang baik dan seharusnya digerakkan sejak dulu. Mengapa demikian? Karena berdasarkan pengamatan UNESCO 2012, tercatat indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, setiap 1.000 orang hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca buku 0-1 buku per tahunnya.
Coba perhatikan negara Jepang dan Amerika. Rata-rata masyarakat membaca 10-20 buku per tahun. Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN yang membaca 2-3 buku per tahunnya, negara kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas, 22/02/2016). Dengan begitu, munculnya komunitas penggerak literasi haruslah sebanding lurus dengan gerakan literasi di lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu kelompok sosial kemasyarakatan. Keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, anak, atau mungkin orang tua dari salah satu ayah atau ibu. Tidak perlu rumit-rumit, budaya literasi dalam keluarga cukuplah sederhana. Misalnya, seorang ibu membacakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya. Atau, budaya membaca koran di pagi hari sambil menikmati secangkir teh atau kopi, dilengkapi dengan makanan kecil, betapa nikmatnya.
Tanpa kita sadari, aktivitas membaca yang semula terasa berat akan menjadi suatu kebiasaan yang sangat disesalkan jika tidak dilakukan. Semua anggota keluarga berebut informasi yang dikabarkan dalam media cetak, misalnya. Mereka berlomba-lomba menemukan berita atau topik yang sedang ramai diperbincangkan. Dengan begitu, terciptalah aktivitas membaca sebagai kompetisi untuk mendapatkan pemberitaan suatu bacaan lebih dulu, sebelum dibaca orang lain, atau mendapat bocoran dari orang lain. Akhirnya indikasi membaca menjadi suatu kebiasaan, sangatlah lumrah dilakukan. Seperti ungkapan Jawa “witing tresno jalaran songko kulino.”
Jangan dianggap remeh, kasus tersebut kini menjadi kasus terheboh beberapa pekan ini. Berbagai media massa memaparkan berita demikian. Dan sering kali yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Di antaranya yang sering terjadi adalah kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (Rancangan Undang-Undang pengganti Komisi Nasional (KomNas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Untuk itu, dalam rangka meminimalisir penyimpangan yang menimpal kaum perempuan (remaja) peran keluarga sangat dibutuhkan. Setiap anggota keluarga harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan dan menjaga. Menghindari hal-hal yang sekiranya bersifat merugikan dirinya maupun orang lain.
Dalam hal ini, budaya literasi yang tengah buming itu sangatlah strategis sebagai sarana pembelajaran utama dalam keluarga, yaitu pembelajaran yang berkaitan tingkah laku, abad bergaul, dan lain sebagainya. Namun yang perlu digaris bawahi, semua anggota keluarga harus bersama-sama untuk memberdayakan budaya tersebut. Jika salah satu di antara anggota keluarga tidak berliterasi, maka akan menghambat seseorang berkeinginan membangun budaya literasi.
Kesadaran berliterasi keluarga haruslah mendapatkan perhatian khusus. Tidak pun sadar, tapi terlebihlah dulu peka dan tanggap pentingnya berliterasi. Hakikatnya, literasi dalam lingkungan keluarga untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Pendukung penciptaan gerakan literasi, seorang ibu yang jangkauannya paling dekat dengan anak harus berperan aktif.
Untuk itu, dalam mewujudkan keselarasan itu dibutuhan kesadaran diri, terutama dari unit terkecil kehidupan, yaitu keluarga.
Keluarga literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia.*
Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo