Oleh: Catur Sriherwanto
TANGGAL 4 April 2015 lalu terjadi Gerhana Bulan. Kaum Muslimin diajak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menunaikan Shalat Gerhana. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi Wassallam.
“ … kemudian Beliau (SAW) berbalik badan dan matahari mulai terang, lalu dia berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji Allah dengan berbagai pujian, kemudian bersabda: Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)
Meskipun gerhana ini hanyalah sedikit di antara sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang tak terhitung, namun menariknya kita dianjurkan shalat gerhana.
Padahal fenomena meteor yang melintasi bumi, tsunami laut, gunung meletus, hujan badai, dan lain sebagainya juga merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. Namun tidak ada yang namanya shalat meteor, shalat vulkanik, shalat hujan badai, dan semacamnya. Mengapa demikian?
Wallaahu a’lam. Yang pasti Jika setiap tanda-tanda kebesaran Allah yang kita saksikan harus diikuti oleh shalat, maka betapa beratnya hidup ini. Karena setiap detak jantung, setiap desah nafas, dan setiap kedipan mata adalah tanda-tanda kebesaran Allah pula.
Bayangkan jika itu semua harus diikuti dengan shalat, maka setiap detik kita akan dianjurkan shalat karena terjadinya fenomena kebesaran Allah tersebut.
Sungguh, betapa tidak nyamannya hidup ini jika harus shalat satu kali setiap detik, atau setara dengan shalat 60 kali setiap menit, 3.600 kali setiap jam, dan 86.400 kali setiap 24 jam alias sehari semalam. Manusia mana yang sanggup? Sungguh, Allah Yang Maha Penyayang tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.
Yang jelas, ada hal istimewa seputar gerhana bulan dan matahari, di mana kaum Muslimin dianjurkan untuk shalat sunnah dalam rangka mengagungkan Allah atas tanda-tanda kebesaran-Nya tersebut.
Yah, fenomena yang terkait erat dengan bumi, bulan, matahari besarta pergerakannya. Tentang hal ini Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, jika Dialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushilat: 41).
Saat seseorang menulis karya untuk dibaca orang lain, apakah itu cerpen, essay, karya ilmiah, skripsi, surat resmi maupun artikel, maka sang penulis pastilah memilih kata dengan hati-hati. Setiap kata dipilih, ditempatkan, dan dirangkaikan dengan kata lain agar memiliki makna tertentu.
Demikian halnya, setiap kata dalam Al Qur’an sudah pasti memiliki makna mendalam yang luar biasa, karena Allah-lah yang merangkai huruf demi huruf, dan kata demi kata dalam Al Qur‘an.
Kata “malam“ dan “siang“ dalam ayat yang dinukil sebelumnya sudah pasti bukanlah fenomena biasa, bukan sekadar perlambang gelap dan terang. Malam dan siang terjadi karena rotasi bumi, yakni perputaran bumi pada porosnya. Pernahkah kita merenung, fenomena apa saja yang bakal terjadi jika Allah secara mendadak menghentikan rotasi bumi?
Jika Allah tiba-tiba memerintahkan bumi berhenti berputar pada sumbunya, maka planet yang kita huni ini akan berhenti mendadak dari kecepatan berputarnya ± 1670 km/jam (sekitar 460 m/detik di wilayah khatulistiwa). Bayangkan jika kita berada di kendaraan bak terbuka dengan kecepatan seperti itu, lalu sang supir menginjak rem secara tiba-tiba sehingga kendaraan yang kita tumpangi mendadak berhenti, apa yang terjadi? Sudah pasti seluruh isi mobil bak akan terlempar keluar.
Yah benar, jika bumi mendadak berhenti berotasi, maka seluruh yang ada di permukaan bumi akan terlempar berhamburan ke atmosfer. Semua manusia, binatang, tumbuhan, tanah, air laut, danau, sungai, bangunan, dan apa pun yang ada di muka bumi, yang tidak tertancap kuat pada kerak bumi, akan terlempar ke udara. Air laut terlempar ke daratan, terjadi gelombang laut tsunami mahadahsyat dalam waktu singkat. Setelah beterbangan di udara sekian lama, maka semua benda itu akan jatuh kembali dan luluh lantak menghantam bumi. Yang tampak adalah kebinasaan dan kehancuran di seantero bumi.
Selain itu, malam dan siang tidak lagi masing-masing 12 jam lamanya. Tapi bumi akan mengalami 6 bulan malam dan 6 bulan siang. Hanya ada sekali siang dan sekali malam dalam satu tahun. Permukaan bumi yang mengalami siang selama 6 bulan akan dipanggang oleh sinar matahari selama itu. Tetumbuhan dan permukaan bumi akan mengering. Sebaliknya, malam selama 6 bulan akan menjadikan separuh permukaan bumi lainnya gulita dan sedingin es.
Berhenti berputarnya bumi berarti pula hilangnya bentuk bulat telur bumi. Daerah equator yang menonjol akibat rotasi, akan kehilangan tonjolannya sehingga bumi akan berbentuk bulat bola. Akibatnya air laut di daerah equator akan surut dan mengalir membanjiri wilayah sekitar kutub utara dan selatan, sehingga kota-kota, daratan, dan benua di wilayah paling utara dan paling selatan bumi akan tenggelam. Sebaliknya terdapat benua raksasa ibarat sabuk daratan tunggal yang mengitari wilayah equator.
Sinar matahari yang kita nikmati ini adalah sinar yang sebenarnya bercampur dengan sinar dan radiasi berbahaya. Namun sinar dan radiasi berbahaya ini telah disaring oleh sabuk Van Allen yang menyelimuti bumi, sehingga tidak bisa masuk ke atmosfer bumi. Hanya sinar-sinar yang aman dan dibutuhkan kehidupan di bumi saja yang bisa tembus dan sampai ke kita.
Sabuk Van Allen adalah medan magnet raksasa yang membungkus bumi, yang terjadi akibat rotasi bumi. Berhentinya rotasi bumi akan melemahkan lapisan Van Allen, yang selama ini melindungi kehidupan di bumi dari radiasi kosmik dan pancaran partikel-partikel berenergi tinggi berbahaya lainnya yang berasal dari aktifitas benda-benda ruang angkasa. Singkat kata, jika bumi berhenti mengitari sumbunya, maka tidak ada lagi perlindungan sabuk Van Allen terhadap bumi, dan kehidupan di bumi bakal musnah oleh hantaman sinar dan radiasi berbahaya dari matahari maupun benda angkasa lainnya.
Singkat kata, “malam dan siang“ bukanlah sekedar dua kata sederhana perlambang gelap dan terang. “Malam dan siang“ adalah fenomena mahadahsyat, dua di antara sekian banyak tanda-tanda Kebesaran Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata‘ala. Tanpa malam dan siang, takkan ada kehidupan di bumi senyaman sekarang. Mahasuci Allah, Pencipta satu-satunya yang patut kita sembah.*
Penulis doctor of natural sciences dari Universität Hamburg, Germany. Kini bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)