Oleh: Asa Winstanley
SEMENTARA saya menulis ini, rakyat Palestina di Gaza telah memulai apa yang salah satu pemimpin mereka sebut sebuah fase baru utama menuju pembebasan Palestina dan kembalinya para pengungsi mereka.
Serangkaian long march, masing-masing menuju pagar pendudukan ilegal yang dipertahankan penjajah Israel di sekitar Jalur Gaza; tujuannya secara penuh kembali ke Palestina. Ini bukanlah simbolisme belaka; para pengungsi benar-benar berniat kembali ke negara mereka – seluruh negara mereka – ke tanah di mana mereka secara brutal diusir ada 1948 karena kejahatan sebagai etnis dan agama yang “salah”.
Sejauh ini 17 orang dilaporkan telah guur oleh penembak jitu (sniper) penjajah Israel, dengan ribuan lebih terluka. Dan itu terjadi hanya dalam satu hari.
Para pengungsi Palestina, dan anak mereka, dan anak dari anak mereka, berbaris menuju rumah, kembali ke tanah di mana mereka dibersihkan secara etnis ketika negara yang sebagian besar dunia putih hari ini akui sebagai “Israel” diciptakan. Meskipun begitu, rakyat Palestina tidak akan pernah mengakui “hak” sebagian besar pemukim Eropa yang mengusir mereka dari tanah kelahiran bersejarah mereka dan membentuk sebuah negara rasis di reruntuhan kota dan desa mereka.
Tanggal 15 Mei 2018 akan menandai 70 tahun sejak Nakba (Bencana) 1948, ketika hampir semua penduduk Palestina disingkirkan dengan kekerasan dari rumah mereka oleh milisi Zionis. Namun tidak seperti kebanyakan konflik lain, para pengungsi telah ditolak hak mereka untuk kembali, yang itu melanggar hukum internasional.
Baca: Turki Kecam Gugurnya 15 Orang dalam Long March ‘Kembali ke Palestina’ yang Terjajah
Kemarin di Gaza, para pengungsi berusaha kembali ke rumah-rumah mereka; tidak lebih, tidak kurang. Long march ‘Kembali ke Palestina’ yang terjajah akan menjadi sebuah kampanye berkelanjutan yang hal itu dapat menjadi perbedaan strategis yang menentukan dan penting.
Propaganda Israel dan juru bicaranya di luar negeri – seperti Perwakilan utama Yahudi Inggri – menggambarkan para demonstran yang tidak bersenjata sebagai “boneka” atau “bidak” Hamas. Ini sebuah kebohongan, tujuannya tidak lain untuk mengaburkan serangkaian tindakan pembunuhan.
Ironi dari kebohongan ini ialah bahwa kebalikannya itu benar. Dukungan yang kepemimpinan politik Hamas di Gaza berikan pada demonstrasi long march untuk HAM, faktanya, disebabkan oleh tekanan rakyat pada gerakan itu untuk segera bertindak, bukan sebaliknya.
Selama bertahun-tahun, secara teratur kelompok-kelompok kecil pemuda Palestina yang berkomitmen telah melakukan demonstrasi di pagar perbatasan, berdiri jauh di dalam perbatasan Gaza. Ketika mereka melakukan hal itu, mereka biasanya ditembak dan dibunuh oleh para pembunuh berseragam tentara penjajah Israel.
Pembunuhan ini tidak menarik bagi judul berita media mainstream, dan tidak ada pengecaman keras dari para politisi Barat. Jika rakyat Palestina hanya mengandalkan para politisi semacam itu, mereka sepenuhnya akan berdiri sendiri.
Baca: 15 Orang Gugur dalam Long March ‘Kembali ke Palestina’ yang Terjajah
Itu mungkin akan berubah, karena penyelenggara long march telah merencanakan serangkaian event selama beberapa minggu ke depan. Inisiatif baru ini telah sukses meningkatkan kesadaran internasional akan penderitaan rakyat Palestina.
Selama bertahun-tahun, badan bantuan Barat telah memprediksi bahwa Gaza akan segera “tidak dapat dihuni”. Tahun lalu, sebuah laporan PBB mengatakan bahwa awal mematikan telah dilewati. Situasi kemanusiaan telah memburuk karena pengepungan yang dipimpin Israel dan blokade brutal Jalur Gaza, dibantu dan didukung oleh rezim Mesir.
Orang-orang di Gaza benar-benar sudah tidak tahan. Mereka tahu betul bahwa ada kemungkinan besar mereka akan dibunuh dengan keji oleh Israel, namun tetap bergabung dengan long march terlepas dari kenyataan mengerikan itu.
Gerakan ini akan meningkatkan tekanan pada Israel untuk membalikkan kebijakan-puluhan tahun yang menghalangi pengungsi Palestina dari mencapai hak asasi manusia mereka yang sangat legal dan mendasar: berakhirnya pendudukan/penjajahan militer Israel; kesetaraan penuh hukum dan sipil; dan hak penuh untuk kembali bagi setiap individu pengungsi. Tidak ada yang bisa “dinegosiasikan” dari ketiga poin ini.
Sebagaimana perpecahan sebagai badan politik Palestina telah terjadi di masa lalu, terdapat sejumlah konsensus nasional terkait masalah-masalah diantara rakyat Palestina di Tepi Barat terjajah dan Jalur Gaza, di Palestina 1948 yang terjajah (saat ini Israel), dan dalam diaspora. Tidak kurang dari hak penuh untuk kembali akan melakukannya.
Hal utama yang kita di Inggris dapat lakukan saat ini untuk mendukung Palestina ialah dengan menekan politisi-politisi kita untuk membalikkan dukungan tanpa ragu mereka terhadap penjajahan dan penindasan Israel. Harus termasuk BDS total – boikot, divestasi dan sanksi – terhadap Israel dengan segera.*
Wartawan investigatif The elektronik berbasis di Inggris dan kolumnis di Middle East Monitor. @AsaWinstanle. Artikel diterjemahkan Nashirul Haq AR