KALAU pada tulisan sebelumnya dibahas mengenai tanda-tanda sempitnya hati sebagai langkah antisipatif dan preventif, maka tulisan ini berfokus pada solusi bagi sempitnya hati sebagai cara kuratif atau penyembuhan bagi yang sudah terjangkit olehnya.
Dalam buku “al-Ḍaiq” (2004: 113-146) karya Abdullah bin Husain Syuqail disebutkan ada beberapa solusi untuk mengatasi penyakit ini.
Pertama, bertaubat dari dosa dan maksiat. Dalam hidupnya, tidak ada manusia yang pernah luput dari dosa. Dalam suatu hadits disebutkan, setiap Bani Adam pasti melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukannya adalah yang mau bertaubat.
Di dalam surah at-Tahrim ayat 8 juga disebutkan perintah taubat, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian semua kepada Allah.” Dengan baertaubat, dosa-dosa atau maksiat yang menjadi titik hitam dalam hati akan bersinar dan cerah kembali. Sehingga, hati yang sebelumnya sempit akan menjadi lapang kembali.
Hatta bagi orang yang merasa dosanya sudah menumpuk –selama belum sekarat atau menuju maut—peluang untuk taubat masih terbuka lebar. Penulis menyebutkan, “Taubat adalah langkah pasti untuk menuju istiqamah dan menyongsong hidayah Allah, menjauhkan diri dari ketergelinciran dan kenistaan.”
Kedua, kembali kepada Allah dengan amal saleh. Dalam surah al-Furqan ayat 70 disebutkan bahwa orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan yang mereka lakukan akan diganti oleh Allah menjadi kebajikan karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Ketika seseorang yang merasakan kesempitan hati, maka segeralah mengatasinya dengan amal saleh. Amal dalam kategori ini dalam agama ketika memenuhi dua unsur penting: (1) Ikhlas karena Allah Subhanahu wata’ala. (2) Mengikuti syariat atau contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Amal yang ikhlas sangat berpengaruh kepada hati. Karena itulah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah meriwayatkan sabda Nabi, “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jika melakukan ibadah karena Allah dan Rasul-Nya maka yang didapat adalah rida keduanya. Sementara itu, ketika yang dicari adalah dunia, maka yang didapat adalah hanya dunia, itupun kalau dapat sangat besar kemungkinan membuat hati sempit dan semakin jauh dari Allah dan Rasul-Nya.
Mengikuti syariat atau teladan Nabi juga sangat penting. Agama ini menjadi rusak salah satunya ketika banyak orang mengaku beramal saleh –dalam hal ibadah—namun tidak ada contohnya dari Nabi. Padahal, beliau pernah berpesan, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim)
Ketiga, melakukan amal saleh yang membantu penyembuhan sempitnya hati. Sebagai contoh: (1) Mencintai Allah dan kembali kepada-Nya (2) Menunaikan shalat. Tentunya dengan memenuhi syarat dan rukunnya. (3) Berbakti kepada kedua orangtua. (4) Bersabar (5) Dzikir dan doa (6) Membaca al-Qur`an menghayati makna dan kandungannya. (7) Menghadiri majelis dzikir dan ilmu. (8) Sedekah. (9) Jihad. (10) Mengeluarkan penyakit hati atau sifat tercela dari dalam hati (11) Meninggalkan sikap berlebihan.
Dengan melakukan beberapa amalan tersebut, insya Allah hati yang sebelumnya sempit akan menjadi kembali luas dan lega.
Keempat, membentengi diri dari bujuk rayu setan, dorongan yang memerintakan keburukan dan desakan hawa nafsu. Orang akan kesulitan menyebuhkan sempitnya hati ketika tidak membentengi diri dari ketiga hal itu.
Setan sejak Adam hingga hari kiamat akan selalu menggoda dan menggelincirkan manusia. Kalaupun ditakdirkan tidak ada setan, manusia masih punya potensi buruk yang bisa menggelincirkan dirinya, yakni: nafsu ammara bis-sū` atau desakan hawa nafsu. Makanya, dalam kisah Yusuf ada ungkapan bahwa jiwa manusia berpotensi menyuruh kepada keburukan (QS. Yusuf [12]: 53).
Dalam surah asy-Syams ayat 9-10, memang dijelaskan bahwa jiwa manusia itu diberi potensi keburukan dan kebaikan. Jika dia mengikuti kebaikan dengan selalu mensucikannya, maka dia menjadi orang beruntung. Namun, ketika dirinya menuruti jalan yang buruk, dengan mengotori jiwanya, maka dia akan menjadi orang yang rugi.
Demikian juga masalah sempitnya hati, ia bisa diatasi dengan melakukan perbesihan jiwa dari rayuan setan dan potensi buruk jiwa manusia, sehingga merasa lapang dan leluasa melakukan perbuatan-perbuatan kebaikan.
Insya Allah, dengan bertaubat, kembali kepada Allah dengan amal saleh, melakukan amal-amal saleh penunjang dan membentengi diri dari godaan setan dan potensi buruk jiwa, orang yang hatinya sempit menjadi lapang kembali.*/Mahmud Budi Setiawan