RUMAH di Jalan Dharmahusada Indah Surabaya no 5 itu nampak sepi. Sesaat kemudian seorang pria ramah membukakan pintu pagar dan mempersilakan Suara Hidayatullah masuk ruang kerjanya. “Maaf, sepi karena karyawan lainnya sudah pulang,” ujar pria itu.
Pria itu bernama Ainul Yaqin (45), koordinator Tim Auditor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM)- MUI Propinsi Jawa Timur. Sedangkan rumah itu adalah kantor MUI Jawa Timur.
Jangan membayangkan sebuah kantor lembaga auditor yang megah dan mentereng. LP POM hanya menempati salah satu ruangan dari rumah pinjaman dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu.
Ruangan itu berukuran 4 x 6 meter persegi dilengkapi lima meja kerja, 3 unit komputer pc, 1 telepon/faks, dan 1 kulkas mini dan 3 rak buku yang berisi dokumen-dokumen penting perusahaan yang mengajukan sertivikasi halal.
Tapi jangan keliru, meski kondisi ruang kantornya tak layak disebut sebuah kantor lembaga auditor, di tempat inilah keputusan-keputusan penting sertifikasi halal di seluruh Jawa Timur dikeluarkan. Dari kantor sederhana inilah jutaan Muslim merasakan manfaatnya.
Ainul mengaku, jika pekerjaanya banyak, ia terpaksa harus menginap di kantor itu, untuk memeriksa dokumen-dokumen penting. Lagi pula, menurutnya, jika pulang ke rumah, akan butuh waktu terlalu lama yang hanya akan menambah biaya. Harap maklum, tempat kerja Ainul berada di Kota Surabaya, sedang tinggalnya masih di rumah mertua yang lokasinya berada di sebuah desa kecil di Kabupaten Gresik, berjarak lebih dari 4o Kilometer.
Karenanya, untuk menghemat waktu dan biaya, biasanya, ia hanya akan pulang pada Sabtu malam dan kembali pada Senin dengan menggunakan motor kesayangannya, Honda Supra X-125. “Lumayan, bisa mengirit biaya, “ akunya.
Aktivitas bolak-balik seperti ini sudah dilakoninya lebih dari 19 tahun, semenjak ia bergabung di LPPOM tahun 1995.
Pas-pasan
Meski pekerjaanya auditor, Ainul dan semua staf LPPOM, tidak digaji layaknya seorang auditor sungguhan. Gaji bulanannya bahkan lebih rendah dari buruh pabrik. Bersama 5 karyawan tetap lain, ia hanya memperoleh gaji Rp. 900.000/perbulannya .
Ainul bertutur, tahun 1994, sesaat setelah lulus dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, ia bekerja di sebuah apotik di Madura. Saat itu ia digaji Rp 1 juta perbulan.
Lima tahun bekerja di apotik, seorang guru besar fakultas farmasi, yang juga dosennya di saat masih kuliah, mengajaknya bergabung di LPPOM-MUI Jawa Timur. Ainul, yang sejak mahasiswa dikenal sangat aktiv di organisasi kegiatan Islam, tiba-tiba muncul kembali idealismenya. Ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya dan memperkuat lembaga penelitian makanan yang kedudukannya di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Profesional
Meski gajinya pas-pasan, Ainul mangaku tak mau dianggap bekerja secara asal. Ia, bersama tim auditor LPPOM lainnya bahkan bekerja sangat professional seperti auditor dan lembaga peneliti lain. Ia mengaku bekerja dengan sungguh-sungguh, siapapun klien nya.
Sebagai auditor, ia mengaku berkali-kali mendapatkan “amplop”. Namun uang seperti itu ia dikembalikan lagi ke perusahaan bersangkutan. Menurut Ainul, untuk proses sertifikasi, LPPOM hanya menarik uang pendaftaran sebesar Rp. 100 ribu dan biaya transport ke perusahaan yang meminfa sertifikasi. Selain itu, tak ada biaya lagi. Uang pendaftaran sertifikasi itulah yang kemudian dikelola untuk kebutuhan kantor di LPPOM meliputi bayar tagihan litrik, telepon dan gaji karyawan. Ainul heran, meski kondisinya seperti ini, masih saja ada tuduhan LPPOM-MUI melakukan korupsi. “Begini saja kami masih dituduh korupsi,” ujarnya.
Didirikan sejak Januari 1989, kini LPPOM Jawa Timur memiliki 5 staf resmi, 30 orang auditor (17-nya adalah volunteer) meliputi 4 orang guru besar (Unair, ITS dan Unibraw-Malang) , 7 orang doktor ahli, 15 orang berpendidikan S2, 4 orang berpendidikan S1 dengan berbagai latar belakang dan disiplin ilmu.
Tiap bulan LP POM rata-rata mengeluarkan sertivikasi halal untuk 10-15 perusahaan. Menurut Ainul, sertifikasi dikeluarkan setelah melalui mekanisma proses. Di antaranya, telah melalui survey dari tim auditor hingga melalui sidang komisi fatwa yang melibatkan para ulama ahli hukum Islam. Proses yang tidak sederhana inilah yang terkadang membuat pemohon sertifikasi menjadi tidak sabar. “Karena itulah, kadang dikesankan mengajukan sertifikasi itu lama dan berbelit-belit. Mereka tak paham bahwa ini menyangkut masalah halal yang hubungannya dengan jutaan umat,” ujar Ainul.
Begitu bangganya ia bekerja di tempat ini, Ainul tak bisa menceritakan dengan kata-kata dan angka. “Ini menyangkut ruhani. Ada kenikmatan tersendiri bekerja di sebuah lembaga perjuangan, “ begitu akunya.
Gara-gara itu pulalah, sampai ia lupa berfikir memiliki rumah. Pernah suatu ketika istri tercintanya, Enik Jam’iyah (35) menanyakan kapan ia bisa memiliki rumah. Ainul hanya menjawab dengan tersenyum. “Ya, yang penting kita tidak tidur di jalanan. He..he..he..” *