Hidayatullah.com | TIGA orang santri terlihat sibuk dengan aktifitasnya, di antara mereka ada yang sedang berdiri memperhatikan para santri supaya bergegas menuju masjid, satunya lagi memindahkan karpet masjid yang basah terkena hujan menuju sebuah bangunan dan diterima oleh temannya lainnya untuk untuk dijemur. Seperti biasa, saya mencoba menyapa mereka satu persatu para santri.
Tanpa diduga santri pertama dengan ketus menjawab, “Ustadz saya masih sibuk menggerakan para santri.” Santri kedua mendesah sambil menjawab, “Saya sedang menjalankan tugas, Ustad.” Sementara santri ketiga sambil tersenyum dan sesekali bershalawat menjawab, “Saya sedang sedang mengkader, Ustad,” katanya.
Cerita sederhana ini mewakili cara pandang semua orang terhadap apa yang sedang dia lakukan. Ada santri bahkan guru yang setiap hari mengeluh dengan aktifitasnya yang membosankan. Dia belum memiliki pandangan jauh ke depan, belum bisa memaknai apa yang dilakukan.
Santri kedua sudah mulai bisa memaknai, dia ingin menjalankan sebuah tugas yang diamanahkan, namun masih sebatas melaksanakan. Santri ketiga bersemangat dan berbahagia, karena sudah menemukan arti dari sebuah pengabdian, yaitu bukan hanya perbuatan fisik yang terikat dengan waktu sesaat, tapi jauh menembus waktu, yang dalam ucapan seorang kiai, yang baru wafat minggu ini, “Kita harus bergerak, tergerak, menggerakan.”
Santri ketiga sadar bahwa apa yang dia lakukan dengan penuh kesadaran akan menjadi contoh, uswah hasanah, atau bahasa lainnya disebut leaving a legacy (meninggalkan warisan). Menurut para psikologi keinginan atau kebutuhan meninggalkan warisan merupakan fitrah tertinggi manusia, setelah kebutuhan untuk hidup, dicintai dan juga kebutuhan belajar.
Pertanyaannya apakah hanya dengan menjemur karpet basah sudah menjadi sebuah warisan? Jawabannya kembali kepada cara pandang masing-masing tentunya, yaitu bagaimana memaknai apa yang dilakukan.
Bagi saya peribadi menjemur karpet itu merupakan sebuah pengabdian, khidmah, memberikan kenyamanan bagi orang-orang yang melakukan ibadah, shalat, I’tikaf, membaca Al-Qur’an, belajar bersama. Menanamkan nilai pengabdian kepada pelaku, bahwa menjadi pemimpin adalah berkhidmah, sebagaimana yang sering disebukan raisul qaumi khadimuhun, pemimpin suatu kaum adalah pelayannya.
Lord Hallifax seorang penulis handal berkata dalam salah satu karangannya, “Service is the rent the we pay for our room en earth.” Apabila kita artikan secara bebas, bahwa pelayanan merupakan harga yang harus kita bayar untuk tempat kita di bumi.
Maka tidak heran ketika ada seorang syaikh yang memaksakan diri menanam pohon Zaitun di masa tuanya, yang mebuat seorang kaisar keheranan, karena secara fisik syaikh tersebut tidak mungkin bisa menikmati buah Zaitun yang dia tanam. Tapi dengan penuh keyakinan dengan aura keiklasan, syaikh tersebut menjawab, saya hanya berusaha memberikan warisan.
Memberikan warisan dalam artian memberikan manfaat, sumbangan yang mana hal itu masih terus terasa, baik langsung atau tidak langsung ketika pemberi warisan sudah tidak ada. Dia bukan hanya sekedar hidup tapi dia menghidupi, bukan hanya sekedah bergerak tapi menggerakan, bukan hanya sekedar berjuang tapi memperjuangkan, bukan hanya sekedar melaksanakan tapi dia mengkaderkan.
Ada banyak hal yang bisa menjadi warisan yang bermanfaat, dalam konteks kehidupan pesantren salah satunya adalah kaderisasi. Dia menjadi penentu stabilitas pesantren ketika ditinggal pendiri, dia akan menjadikan sebuah amalan yang terus meberikan pahala, kaderisasi merangkum tiga warisan yang sering disebutkan sang Nabi, yaitus sodaqah, baik fisik maupun non fisik, bangunan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ilmu yang bermanfaat, karena terus dipraktekan dan diajarkan dan itu juga merupakan sadaqah yang utama, belajar kemudian mengajarkannya. Anak sholeh yang medoakan, dalam pendidikan, anak didik merupakan anak idiologis, yang do’a-do’anya serta perbuatan baiknya akan terus sampai kepada para guru, kiai dan orang-orang yang mengkadernya.
Tulisan ini saya peruntukan kepada kiai saya alm Dr. KH. Adullah Syukri Zarkasyi MA, yang ketika saya tulis namanya, untuk kesekian kalinya air mata ini mengalir. Semoga saya bisa menjadi kader beliau walaupun itu masih sangat jauh sekali panggang dari pada api.
Dalam ingatan kami, setiap kali mendengar ceramah-ceramah beliau semasa di pesantren dulu, membuat jiwa ini ingin langsung bergerak, menggerakan, mengkader para santri.
Tahun 2010 awal penulis pulang, sebagai alumni S1, dalam kebingungan dan kebimbingan penulis bermimpi, bertemu beliau, dengan senyum yang menawan, kami selalu diberi nasehat, “Kamu harus kuat, kamu harus kuat, mimpi yang tidak lama itu menjadi penyemangat untuk terus berbuat, bangkit dan tidak mudah menyerah.”
Semoga almarhun husnul khatimah dan semuan yang membaca tulisan ini bisa mejadi pewaris nilai-nilai dan kader-kader perjuangannya.*
Muhammad Irfanudin Kurniawan
Dosen STAI Darunnajah Jakarta
Ulujami, 27 Oktober 2020