MENIKMATI hiburan, tertawa, dan bersantai adalah kebutuhan manusia. Akan sangat bermanfaat jika kita menikmatinya secara cukup. Namun akan jadi masalah jika dilakukan terlalu banyak sehingga waktu terbuang percuma.
Salah satu sarana hiburan masa kini adalah media sosial (Medsos). Sarana yang satu ini bisa jadi sangat menyita waktu dan perhatian seseorang.
Penggunanya dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orangtua. Hampir semua orang memakainya karena media sosial ini sebagai simbol eksistensi seseorang dalam bersosial.
Media sosial memang bisa difungsikan sebagai alat refreshing yang menghibur, namun harus bisa dijadikan sarana menimba ilmu pula.
Maka mesti ada yang memposting sesuatu yang bermanfaat di dalamnya, yakni tentang mengingatkan kebaikan dan share ilmu agar isinya seimbang.
Jadi fungsi medsos bukan sekedar untuk menikmati hiburan yang hanya membuat tertawa-tawa dan membuat otak berhenti berpikir saja, melainkan untuk mengambil nasehat dan ilmu serta sebagai media untuk berbagi/sedekah ilmu sehingga ia isinya tidak hanya postingan makanan, lelucon, selfie, dan curhatan saja.
Namun khusus jika melakukan dakwah dan membagi ilmu di sosial media, tidak semua “teman sosmed” akan senang. Pasti saja akan ada yang merasa tidak suka dan bahkan tersinggung dengan apa yang kita posting.
Entah itu karena postingan kita isi kata-katanya terlalu keras dan tidak tepat, atau mungkin juga karena teman sosmed beda pemahaman sehingga ia merasa terserang oleh postingan kita, lalu bisa juga karena ia salah tafsir/salah persepsi ketika membaca postingan kita, hingga karena ia merasa bahwa kita tidak pantas memposting ilmu/dakwah karena kita bukan siapa-siapa.
Reaksi penolakan pun bermacam-macam, dari mulai nyinyir dengan membuat status yang ditujukan untuk si pendakwah/pembagi ilmu, lalu mendebat hingga memberi komentar-komentar meledek dan cacian. Sampai ada juga yang menolak tanpa basa-basi, yakni dengan langsung memblokir akun kita atau meng-unfriend/unfollow/unshare meski dalam dunia nyata ia berteman baik dan sangat akrab.
Maka dari itu, ini merupakan sebuah tantangan bagi para da’i (pendakwah) yang menggunakan media sosial sebagai alat dakwahnya agar dapat lebih hati-hati dan bijak dalam memposting konten dakwah.
Ia mesti bisa memilih postingan yang tidak yang kontroversi atau diperdebatkan ulama. Selain itu, postingan dengan isu atau tema yang sifatnya perlu tatap muka langsung sebaiknya tidak diposting. Kalaupun harus diposting, kata-katanya mesti tepat dengan penjelasan mendetail. Hal penting lain yang mesti diperhatikan adalah soal pemilihan waktu yang tepat, lalu dapat memilih kata-kata yang lembut, sopan, dan baik karena di dalam sosmed tidak ada intonasi nada bicara atau ekspresi wajah (meski ada emoticon).
Ia pun mesti bisa memaklumi bahwa tidak semua teman sosmed sehati.
Terakhir, bagi yang di friend list-nya ada da’i sehingga di beranda/home sering melihat postingan-postingan ilmu dan nasehat sebaiknya pintar me-manage hati. Jangan sampai berburuk sangka sehingga mengira teman kita yang sedang berdakwah itu riya, atau sedang mencari popularitas, atau hanya sekedar mencari like/love/retweet semata. Tidak hanya pendakwah, bukankah pengguna medsos yang memposting makanan, selfie, curhatan, lelucon, dan sebagainya pun bisa saja tujuannya hanya pencitraan, bahkan hanya ingin pamer saja, mencari banyak like/love/retweet, atau pujian sehingga dikagumi teman-temannya?
Kemudian jangan sampai pula kita terlalu cepat bereaksi ketika melihat postingannya yang tidak kita setujui sehingga kita membalasnya dengan komentar tanpa ilmu. Bisa saja kita tidak setuju disebabkan oleh kurangnya ilmu yang kita miliki.
Maka dari itu, jika ada teman berdakwah setidaknya kita mesti bersyukur ada teman yang sedang berusaha baik, menyebarkan kebaikan dan mewarnai dunia per-medsos-an. Bukan malah melemahkannya 😉 Wallohu’alam bishowab.*
Muhammad Ridwan
@muhammad_rdwn