Hidayatullah.com | SEMENJAK saya kuliah semester 3, saya sudah terbiasa bekerja. Ya, bekerja untuk bisa bertahan hidup, dan membayar SPP tiap semester. Karena saat itu bapak saya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga (Rahimahullah) telah menghadap Sang Khaliq, sedangkan ibu saya tidak bekerja. Maka kuliah sambil bekerjapun harus dilakukan selama 3 tahun sampai saya lulus.
Sambil kuliah, saya bekerja di Unit Pelaksana Teknis Komputer dan Laboratorium Komputer terpadu di kampus. Alhamdulillah semuanya dimudahkan Allah SWT, hingga saya bisa lulus kuliah dengan predikat terbaik di Jurusan Teknik Mesin.
Tak lama setelah selesai wisuda, saya melamar di perusahaan rokok. Akhirnya diterima di perusahaan itu sebagai Junior Supervisor. Imbalan gajinya berlipat-lipat dibandingkan gaji saat masih bekerja di kampus. Alhamdulillah, saat itu sungguh senang rasanya.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun ke tahun saya lalui, saya terus belajar dan bekerja keras. Saya meniti karir dan mengejar prestasi selama 9 tahun di perusahaan itu.
Prestasi demi prestasi berhasil saya raih. Terakhir saya berposisi sebagai kepala teknik maintenance, dan tentunya dengan gaji dan fasilitas yang sangat baik.
Namun entah mengapa, selama 9 tahun ini hidup saya kurang tenang dan bahagia. Dengan mengandalkan gaji besar yang saya dapat, pola hidup sudah mulai berubah. Misalnya tertarik akan kredit ini dan itu. Akhirnya gaji sebulan pun tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Singkatnya, gaji tinggi itu seolah lewat begitu saja tak berbekas. Saya tidak bisa menabung, bahkan justru nambah utang semisal di koperasi karyawan. Saya pun mulai terjerat utang dan riba.
Semakin hari rasanya tidak semakin tenang hidup ini. Masalah demi masalah berdatangan silih berganti. Kenapa semua bisa menjadi seperti ini, ya Rabb?
Saat itu saya banyak merenung, terus minta petunjuk dan pertolongan Allah SWT, agar bisa diberikan kemudahan untuk menghadapi ini semua.
Suatu saat saya mengikuti sebuah kajian. Ada jamaah yang bertanya, “Ustadz, bagaimana hukumnya bekerja di perusahaan rokok?”
Ustadz tersebut lantas menjelaskan panjang lebar tentang mudharatnya rokok, bekerja di perusahaan rokok, hingga hal-hal lainnya. Kesimpulannya, pekerjaan itu harus dihindari.
“Kalau Anda punya anak kecil, apakah Anda perbolehkan dan rela dia merokok?” tanya ustadz itu kepada jamaah.
Jleb! Saya lantas teringat anak-anak saya yang masih kecil.
Saya merasa tertohok, tapi tetap berusaha membela diri. Toh saya niatkan pekerjaan itu untuk memberi nafkah keluarga. Saya sendiri tidak merokok, meski setiap hari bergelut dengan dunia rokok.
Sempat ada teman yang mengatakan, “Kalau nyemplung (mencebur) di laut itu ya harus merasakan air asin. Bekerja di perusahaan rokok kok tidak merokok, itu namanya tidak nyemplung.”
Akhirnya saya berusaha “belajar” merokok supaya bisa “menjiwai” pekerjaan. Namun ternyata tidak ada nikmatnya. Saya pun tetap tidak merokok, meskipun di kantor mendapat fasilitas bisa merokok sepuasnya.
Beratnya Ujian
Nah, pesan ustadz itu terasa menggelisahkan. Apalagi jika mengingat kehidupan saya sehari-hari yang tidak kunjung merasakan kenyamanan dan ketenangan. Inikah yang namanya hidup kurang berkah?
Saya kemudian memutuskan untuk resign. Atasan saya berusaha mencegah, dengan mengatakan, “Apa gaji kamu kurang? Akan saya siapkan dan uruskan kenaikkan gaji dan grade kamu.”
Proses resign sempat ditunda-tunda. Akhirnya saya melamar bekerja di perusahaan lain. Setelah diterima, barulah saya bisa lepas dari perusahaan rokok itu. Alhamdulillah.
Namun di perusahaan baru itu hanya saya jalani sekitar empat bulan, karena memang itu hanya strategi agar bisa lepas dari perusahaan rokok. Selanjutnya, saya memulai usaha sendiri.
Awalnya merintis usaha bersama istri tercinta dengan jualan busana Muslimah. Ternyata tidak mudah juga, karena perlu ilmu dan pengalaman.
Akhirnya usaha ini tidak jalan. Sisa barangnya saya bagi-bagi ke siapapun yang berminat. Saya niatkan untuk sedekah, semoga bisa membersihkan riba dan harta haram yang selama ini saya peroleh.
Kemudian saya mencoba usaha lain dengan jualan sprei waterproof dan sari kedelai. Awalnya berjalan baik, namun lama-lama tersendat karena ketatnya persaingan. Usaha ini pun akhirnya berhenti.
Ekonomi keluarga jadi morat-marit. Uang tabungan yang berasal dari pesangon perusahaan akhirnya habis. Masya’Allah, betapa berat ujian ini.
Namun saya berusaha untuk terus maju, tidak ingin kembali ke kehidupan kelam masa lalu. Beruntung saya kenal dengan teman-teman yang juga hijrah dari gelimang riba dan berbagai aktivitas negatif lainnya. Mereka terus memotivasi sehingga bisa menguatkan hati.
Memang inilah salah satu titik cobaan terberat bagi teman-teman yang hijrah. Bermula dari kehidupan mapan (secara ekonomi), ada gaji bulanan, gaya hidup serba ada, lantas tidak memiliki penghasilan yang jelas. Tidak semua teman mampu menjalaninya.
Alhamdulillah, saya bersama beberapa teman kini berlabuh di sebuah perusahaan yang kondusif untuk mensinergikan antara aktivitas ibadah dan muamalah. Di perusahaan ini, saya bisa leluasa beribadah, mengaji, ta’lim, dan sebagainya, dengan tetap beraktivitas secara profesional.
Satu hal yang lebih membahagiakan, perusahaan kami juga sering berbagi kepada sesama. Misalnya menyalurkan bantuan ke daerah bencana dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial.
Saya kemudian ingat sabda Nabi ﷺ, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (Riwayat Ahmad dan ath-Thabrani).
Kini saya merasakan hidup ini lebih nyaman dan bermakna. Semoga bisa istiqamah. Amin.*/Diceritakan Yulianto kepada Majalah Suara Hidayatullah