Hidayatullah.com–Myanmar telah menyerahkan laporan kedua ke Mahkamah Internasional (ICJ) sesuai dengan perintah pengadilan untuk melindungi komunitas Rohingya. Laporan tersebut diajukan oleh perwakilan pemerintah Myanmar pada Senin sesuai dengan perintah pengadilan untuk melindungi Rohingya dari genosida.
Namun, laporan tersebut tidak akan dipublikasikan saat ini, kata kelompok hak asasi manusia Global Justice Center yang berbasis di AS dalam sebuah pernyataan. Pada November 2019, Gambia membuka kasus di ICJ terhadap Myanmar karena gagal mencegah atau menghukum tindakan genosida terhadap Muslim Rohingya.
Sebelumnya pada bulan Januari, ICJ mengeluarkan “keputusan sementara” untuk Myanmar yang mewajibkan negara mayoritas Buddha itu untuk mencegah tindakan genosida, memastikan pasukan militer dan polisi tidak melakukan tindakan genosida. ICJ juga meminta Myanmar menyimpan semua bukti tindakan genosida, dan melaporkan kepatuhan tindakan sementara terhadap hal ini.
Myanmar seharusnya mengajukan laporan ke pengadilan setiap enam bulan sekali, laporan yang pertama diajukan pada Mei.
“Kami menyambut baik laporan kedua Myanmar, tetapi hanya memenuhi tenggat waktu teknis pengadilan saja tidak cukup,” kata Grant Shubin, direktur hukum dari Global Justice Center. “Sejak perintah tindakan sementara dikeluarkan, Myanmar tidak melakukan apa pun untuk mengatasi akar penyebab diskriminasi dan impunitas yang menimbulkan risiko genosida terhadap Rohingya yang sedang berlangsung,” sebut Shubin dikutip Anadolu Agency.
Laporan kedua diajukan oleh Myanmar di tengah tuduhan bahwa komunitas minoritas Rohingya dijauhkan dari pemilihan umum kedua negara yang diadakan awal bulan ini. Faktanya, pemerintah telah meningkatkan diskriminasi dalam pemilihan bulan ini yang mencabut hak pemilih Rohingya dan memblokir kandidat warga Rohingya untuk mencalonkan diri.
“Kepatuhan terhadap perintah tersebut membutuhkan reformasi hukum yang komprehensif untuk membongkar diskriminasi sistemik terhadap Rohingya serta melucuti supremasi dan otonominya dari militer,” kata Shubin.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai masyarakat yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang meningkat akan serangan sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012. Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan dari mereka wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017, mendorong jumlah orang yang dianiaya di Bangladesh melebihi 1,2 juta.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen pada Selasa mengatakan negaranya akan memulai kampanye penggalangan dana untuk mendukung perjuangan hukum Gambia terhadap Myanmar di ICJ. Dhaka akan meminta negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendukung negara Afrika Barat itu dengan bantuan keuangan selama sesi ke-47 Dewan Menteri Luar Negeri OKI yang beranggotakan 57 orang di Niger pada 27-28 November.
“Kami akan mencairkan dana kami ke OKI untuk mendukung Gambia menjalankan kasus di ICJ karena mereka membutuhkan dukungan keuangan setelah menunjuk pengacara untuk kasus tersebut,” kata Momen kepada kantor berita Bangladesh sebelum berangkat ke Niger.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut laporan dari Ontario International Development Agency (OIDA). Lebih dari 34.000 Rohingya dibakar, lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, dan sebanyak 18.000 perempuan dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, kata laporan OIDA, berjudul Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terungkap. Lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan sekitar 113.000 lainnya dirusak, tutur OIDA.*