Oleh: Abu Taqi Mayestino
Hidayatullah.com | SECARA umum, Hari Natal bagi yang merayakannya, dimaknai sebagai peringatan hari kelahiran Yesus Kristus yang juga dikenal dengan nama Isho atau Esau atau Yeshua. Dalam Islam dikenal sebagai ‘Isa Al Masih bin Maryaam ‘alaihis salaam. Seorang Rosul yang sama-sama diyakini Kristen dan Islam akan kembali ke Bumi.
Di dalam khazanah Kristen hal ini disebut parousia. Di antaranya, di Matius 24:30-31, juga dibahas di Tessalonika mengenai musuh Kristus atau Anti Kristus, dsb. Ini adalah yang di antara beberapa kalimaatun sawa’, hal yang lebih-kurang, sama. Namun ada perbedaan mendasar.
Mayoritas kaum Kristen memaknai beliau sebagai 1 dari 3 oknum Ketuhanan dalam Trinitas atau Triunitas. Setidaknya, selama ratusan tahun pertemuan konisli, khususnya sejak Konsili Nicea lalu Konsili Chalcedon, Yesus dimaknai sebagai Anak Tuhan, yang juga Tuhan sekaligus. Sebagai Anthropomorfisme, Firman yang menjadi manusia tetapi juga Tuhan, dll.
Sedangkan Muslimiin yang beragama tauhid, agama Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa murni dengan 124.000 nabi dan rosul sejak awal jaman, memaknai beliau sebagai Rasulullah, utusan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum lebih jauh, mungkin ada pertanyaan, mengapa kaum Muslimiin membahas ini? Cukuplah bahwa nama beliau disebutkan berkali-kali di Al Qur’aan juga di Hadits. Bahkan ada 1 Surah Al Qur’aan dengan nama ibu beliau, Maryaam, surah nomor 19.
Dan bahwa ada 124.000 nabi dan rosul dalam Islam, termasuk Nabi Isa. Muslimiin diperintahkanNya, untuk mempelajari segala kisah umat terdahulu, dan belajar dari kesalahan dan kebenaran mereka.
Tapi Islam juga diperingatkan tidak tasyabbuh (meniru). Hadits: Dari Ibnu ‘Umar, Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HE: Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031).
Meniru saja, dihindari, dalam agama tauhid ini. Apalagi sampai benar-benar melakukan kebiasaan kaum lain.
Dalam Kristen sendiri Natal juga polemik. Herbert W. Armstrong dalam buku “The Plain Truth About Christmas” menyebutkan perayaan Natal baru menjadi hari raya resmi Kristen di abad V Masehi, ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma. “Perayaan yang masuk dalam ajaran Kristen Katolik Roma ini berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala,” tulis Armstrong (halaman 7).
Encyclopedia Britannica edisi 1946 menyebutkan, Natal bukanlah upacara gereja abad pertama. Yesus Kristus atau para muridnya tidak pernah menyelenggarakannya, dan Bibel juga tidak pernah menganjurkannya. Upacara ini diambil oleh gereja dari kepercayaan penyembah berhala.
Juga Encyclopedia Americana edisi 1944: Menurut para ahli, pada abad-abad permulaan, Natal tidak pernah dirayakan oleh umat Kristen. Pada umumnya umat Kristen hanya merayakan hari kematian orang-orang terkemuka saja, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran orang tersebut.
Perayaan Natal yang dianggap sebagai hari kelahiran Yesus mulai diresmikan pada abad ke-4 Masehi. Pada abad ke-5 Masehi Gereja Barat memerintahkan kepada umat Kristen untuk merayakan hari kelahiran Yesus, yang diambil dari hari pesta bangsa Roma yang merayakan hari “Kelahiran Dewa Matahari”. Sebab tidak seorangpun mengetahui hari kelahiran Yesus.
Lalu New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge, Christmas: Adat kepercayaan pagan Brumalia dan Saturnalia yang sudah sangat akrab di masyarakat Roma diambil Kristen. Perayaan ini dilestarikan oleh Kristen dengan sedikit mengubah jiwa dan tatacaranya. Bahkan para pendeta Kristen di Barat dan di Timur Dekat menentang perayaan kelahiran Yesus yang dianggap meniru agama berhala. Di samping itu Kristen Mesopotamia yang menuding Kristen Barat (Katholik Roma) telah mengadopsi model penyembahan kepada Dewa Matahari.
Bahkan pemimpin Katholik, Paus Benedictus XVI menulis buku, ‘Jesus of Nazareth: The Infancy Narrative’ yang diluncurkan Rabu (21/11/2012). Ia membongkar beberapa fakta yang mengejutkan seputar kelahiran Yesus Kristus.
Fatwa MUI
MUI sendiri dalam fatwa yang dikeluarkan tahun 1981, di masa kepemimpinan Buya HAMKA, menyatakan:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, tetapi Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Di sebagian orang mungkin akan bertanya, bukankah ucapan Natal bagi kaum Muslim sebagai benyuk toleransi? bagian dari kebhinnekaan, tolong-menolong, dan sebagainya?
Tentu Muslimiin paham, hanya dengan ucapan saja, maka ‘aqad nikah, sah. Dan berkonsekuensi dunia-akhirat. Demikian pula dalam hal Natal, ucapan selamat merayakan sesuatu yang dimaknai mereka sebagai kelahiran Anak Tuhan, yang dalam Islam telah menyangkut urusan akidah?
Tahun Baru
Dalam penanggalan Masehi (Gregorian) kita mengenal perayaan Tahun Baru Masehi, yang jatuh 31 Desember sampai 1 Januari. Dahulu, hal ini dilakukan untuk menyambut mulai munculnya Matahari. Peristiwa ini ditandai perayaan kaum Pagan Eropa, yang identik dengan pesta, bermabuk-mabukan, seks bebas, dsb.
Bagi Romawi Kuno dilakukan dengan membuat pengorbanan kepada dewa Janus, dewa bermuka dua menatap ke depan dan ke belakang. Hal ini dilakukan dengan harapan mendapatkan keberuntungan di masa depan, setelah tahun baru. Selain itu, mereka mendekorasi rumahnya, berpesta-pora. Bisa juga dengan pohon yang berhias.
Orang Mesir Kuno merayakannya bertepatan dengan banjir besar tahunan sungai Nil ketika terlihat bintang Sirius. Fenisia dan Persia menandai tahun barunya dengan musim semi Equinox. Yunani Kuno mengadakan perayaan tahun baru saat titik balik Matahari musim dingin. Imlek, tahun baru China, dilakukan pada bulan baru kedua setelah titik balik matahari musim dingin juga. Dan sebagainya.
Perayaan tahun baru yang paling awal tercatat dalam sejarah terjadi pada masa Mesopotamia Kuno, terkait dengan kegiatan religius dan mitologi setempat. Perayaan yang dikenal dengan nama Akitu oleh orang-orang Babylonia ini ditandai dengan durasi waktu siang sama dengan durasi waktu malam, atau istilahnya ekuinox vernal. Tepat terjadi di akhir Maret (menurut penanggalan modern), dianggap sebagai perwakilan dunia alami yang kembali.
Yang jadi pertanyaan, mengapa kita ikutan memperingati? Padahal penanggalan Masehi (Gregorian) ini dikenal tidak akurat, karena berdasarkan pergerakan Matahari. Jauh lebih akurat penanggalan Qomariyyaah, Hijriyah.
Jadi, bukankan lebih tepat kita menggunakan waktu dan indera serta tubuh kita untuk hal hal yang lebih jelas dan mendapat diridhoi Allah. Yang tidak kalah penting jelas dalil dan hukumnya.*
Abdullah Wasi’an Foundation, Komisi Nasional Anti Pemurtadan (KNAP)