Hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah pada jiwa anak didik menyebabkan pergeseran makna dan nilai pendidikan, inilah problem pendidikan Islam
Hidayatullah.com | PADA era globalisasi, umat Islam sedang dihadapkan dengan krisis pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, dan lainnya. Proses identifikasi akar persoalan penyebab umat Islam mengalami krisis dan kemunduran telah dibahas oleh para pemikir Muslim dan kaum cendikiawan.
Menurut Abdul Hamid Sulayman, akar penyebab krisis yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik atau teknologi melainkan akar permasalahannya terjangkitnya umat Islam dewasa ini dengan krisis intelektualisme atau pemikiran. Meminjam bahasa Abu Sulayman disebut dengan “Crisis of thought” (Abdul Hamid Abu Sulayman, A Crisis of Muslim Mind).
Sebenarnya, permasalahan krisis intelektualisme atau pemikiran ini bersumber dari pola pendidikan, karena sejatinya pemikiran adalah hasil dari sebuah pendidikan. Krisis pemikiran merupakan akibat dari problem pendidikan.
Penyebab umat Islam “mundur”
Syakib Arsalan menulis buku berjudul “Limadza Taakharal Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non-Muslim Maju?) terbit pertama kali pada 1349 H.
Dalam bukunya, beliau menjelaskan kemajuan umat Islam pada masa awal penyebarannya terjadi karena perubahan sikap bangsa Arab dan kabilah-kabilahnya setelah menerima cahaya Islam yaitu seruan Rasulullah ﷺ. Mereka dengan sungguh-sungguh mengikuti dan menaatinya.
Islam menjadikan mereka dari terpecah-belah dan bercerai-berai menjadi satu, dari sifat keras hati menjadi lunak, ramah tamah dan kasih sayang, dan dari penyembah berhala menjadi penyembah Allah SWT.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bila kaum Muslimin berilmu dan beramal, maka sunnatullah akan memberikan kemuliaan atau pertolongan (nasr) kepada kaum Muslimin. Sebaliknya jika umat Islam tidak berilmu dan beramal, maka umat Islam akan mundur.
Syakib Arsalan menyatakan, agar bangsa-bangsa Muslim ini mulia, maka perlu berjihad dengan harta dan jiwa. Sesuai firman Allah SWT:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشْتَرَىٰ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلْجَنَّةَ ۚ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS: at-Taubah: 111).
Syakib Arsalan juga mengatakan diantara sebab-sebab lain mundurnya umat Islam adalah karena kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat penakut, pengecut, cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut), juga banyaknya ulama su’ (buruk). Selain itu sebab pokok lainnya adalah kebejatan moral dan kerusakan budi para pemimpin.
Kebodohan ini menjadi sebab utama penyebab kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, pendidikan solusinya.
Persoalan mendasar pendidikan
Penjajahan besar-besaran di pertengahan abad ke-19 terjadi ke dalam dunia Islam. Hampir tidak ada satupun negara Muslim yang lepas dari cengkraman penjajah ini.
Penjajahan tidak hanya merampas kekayaan alam bangsa-bangsa Muslim. Penjajahan juga meliputi berbagai dimensi dan nilai, dari sisi pendidikan, politik, budaya, ekonomi, masyarakat, bahkan agamapun menjadi sasaran penjajahan.
Penjajahan bertujuan mengubah sistem yang ada, dari sistem syariah Islam menjadi sistem sekuler Barat. Dampaknya, penjajahan ini pun masuk dalam ranah pendidikan yang berujung pada pendidikan sekuler, padahal pendidikan adalah benteng terakhir.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini begitu kompleks. Mulai dari sisi ledakan informasi yang serba mudah dan cepat, teknologi canggih, industrialisasi, globalisasi dan liberalisasi, dan etika moral, hingga tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan semakin tinggi.
Ini berimbas kepada penyelenggara dunia pendidikan saat ini, yang mana mereka dituntut agar dapat mengeluarkan output (anak didik) seperti keinginan masyarakat, yang mampu bersaing (survive) dalam berbagai kondisi.
Terkadang untuk meraih hal tersebut, penipuan pun dilakukan. Beberapa kasus menunjukkan banyak sekolah yang untuk mengejar target lulus 100% mengatrol nilai hasil raport anak didik mereka.
Pengelola pendidikan membantu jawaban kepada anak didik ketika proses ujian berlangsung. Kejujuran dan tanggung jawab sudah tidak diindahkan lagi. Padahal, pemerintah menggalakkan program pendidikan karakter.
Dr Nirwan Syafrin, seorang cendekiawan Muslim dan peneliti INSISTS menjelaskan persoalan mendasar yang menyebabkan mundurnya pendidikan kita adalah karena hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah baik dalam diri anak didik maupun diri pendidiknya.
Hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah ini pada jiwa anak didik dan pendidik akan menyebabkan pergeseran makna dan nilai pendidikan. Lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi pada akhlak, adab dan Iman, tapi pada secarik kertas yang bernama ijazah.
Sehingga dengan kondisi seperti ini, lembaga pendidikan telah beralih fungsi, yang awalnya mencetak kader-kader bangsa yang berakhlak mulia bergeser menjadi “robot” bernama manusia. Jadi, unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah dalam pendidikan bagaikan ruh yang menggerakkan semua aktifitas pendidikan.
Dan ruh itu bisa berwujud niat yang ikhlas, yang hanya mengharap ridha Allah SWT. Ruh inilah yang harus selalu ditanamkan dan ditumbuhkan dalam jiwa-jiwa setiap pendidik.
KH. R. Zainuddin Fananie dalam bukunya Pedoman Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidikan itu adalah sebuah jawaban atas persoalan universal umat manusia. Pendidikan merupakan usaha (ikhtiar) mencari hasil yang akan menjadi isi peti harapan dikemudian hari, pendidikan pun adalah cara berinvestasi bagi masa depan.
Menurut Kiai Zainuddin Fananie, pendidikan bukan hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh guru-guru sekolah atau ibu bapak didalam rumah tangga saja. Namun, pendidikan yang dimaksud meliputi segala aktifitas yang mempengaruhi kebaikan dan perbaikan jiwa manusia semenjak kecil hingga dewasa. Bahkan bagi mereka yang sudah tua pun masih melakukan kegiatan pendidikan. (KH R Zainuddin Fannani, Pedoman Pendidikan Islam).
Dengan pendidikan, kehidupan manusia akan dipenuhi kebaikan sebenar-benarnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali, bahwa pendidikan dimaksudkan agar manusia dekat dengan tuhannya.
Sedangkan az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim menekankan perlunya aspek-aspek agama dalam pendidikan. Dan ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerjasama yang sinergis dari semua pihak.
Pesantren, lembaga pendidikan dan dakwah
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Meskipun kapan dan dimana dimulai adanya pondok pesantren itu tidak dapat diketahui secara pasti, namun pesantren itu sudah ada pada abad ke-17 di Indonesia, seperti Pondok Pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik (1619), Pesantren Sunan Bonang di Tuban, Pesantren Sunan Ampel di Surabaya dan sebagainya. (H. A. Timur Djaelani MA, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, cet 3, 1983).
Amal Fathullah Zarkasyi dalam buku Solusi Islam mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan salah satu bentuk Indigenous Culture yang berarti bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan dengan pola kiai, murid, dan asrama telah dikenal dalam kisah dan cerita rakyat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas Indonesia, pondok pesantren mengalami pertumbuhan dan penyebaran pesat sampai ke pelosok pedesaan. Hal ini didasari oleh ajaran Islam yang bersifat universal, terbuka bagi setiap orang, serta tersusun dalam naskah dan tulisan yang jelas.
Jadi Pondok Pesantren menjadi solusi yang tepat dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia, karena Pondok Pesantren memadukan unsur-unsur pendidikan yang amat penting. Pertama, ibadah untuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT.
Kedua, tabligh untuk penyebaran ilmu, Ketiga, amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan menjamurnya pondok-pondok pesantren sekarang ini, berarti membuktikan betapa besarnya peranan pesantren dalam mencetak kader, membimbing umat dalam rangka mengembangkan sumber daya umat manusia yang dilandasi oleh iman dan takwa, yang bertujuan menciptakan manusia-manusia yang jujur, percaya diri dan bertanggung jawab dalam mengemban misi dakwah Islam, dengan dedikasi tinggi untuk menegakkan perjuangan Li’ilai Kalimatillah.
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, Pertama; akar penyebab krisis yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik atau teknologi melainkan akar permasalahannya terletak pada pendidikan.
Di sisi lain masyarakat atau bangsa saat ini berada dalam arena persaingan (competition) dalam segala bidang, dan kompetisi ini hanya mungkin dihadapi bila semua warga bangsa menyadari kewajibannya. Dan untuk menumbuhkan kesadaran itu, langkahnya adalah dengan pendidikan.
Kedua, penyebab lain mundurnya umat Islam ini karena lemahnya semangat persatuan, solidaritas dan loyalitas dikalangan umat Islam itu sendiri. Sebab-sebab lainnya adalah karena kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat penakut, pengecut, cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut), juga banyaknya ulama su’ (buruk).
Ketiga, persoalan yang mendasar yang menyebabkan mundurnya pendidikan kita adalah karena hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah baik dalam diri anak didik maupun diri pendidiknya. Persoalan ini menjadi persoalan yang sangat mendasar. Hilangnya unsur tersebut berakibat pada bergesernya nilai pendidikan.
Keempat, sebagai solusi dari permasalahan pendidikan diatas Pondok Pesantren perlu tampil untuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT, menyebarkan ilmu, dan mewujudkan amal shalih dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Wallahu A’lam Bisshawab.*/ Dasram Effendi, alumni ISID Gontor (Majalah Gontor)
Zaman Revolusi Media | Media lemah, da’wah lemah, ummat ikut lemah. Media kuat, da’wah kuat dan ummat ikut kuat
Langkah Nyata | Waqafkan sebagian harta kita untuk media, demi menjernihkan akal dan hati manusia
Yuk Ikut.. Waqaf Dakwah Media
Rekening Waqaf Media Hidayatullah:
BCA 128072.0000 Yayasan Baitul Maal Hidayatullah
BSI (Kode 451) 717.8181.879 Dompet Dakwah Media