Hidayatullah.com- Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ikut mengomentari pembubaran organisasi Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah hari ini, Rabu (30/12/2020).
Pjs Ketua Umum PP KAMMI, Susanto Triyogo menilai pembubaran FPI yang dilakukan pemerintah semakin mencerminkan gambaran pemerintah yang semakin otoriter.
“Kita sudah melihat, sejak setelah HTI dibubarkan, lahirnya Omnibus Law, serta pembubaran FPI cenderung mencerminkan bagaimana wajah pemerintahan saat ini. Di negara demokrasi, hal ini tidak akan terjadi,” kata Susanto dalam keterangan tertulis, Rabu (30/12/2020).
Susanto meminta pemerintah untuk lebih bijaksana dalam menghadapi setiap perbedaan di dalam negara demokrasi. Selain itu, ia mewanti-wanti jika hal ini terus terjadi, maka demokrasi yang diperjuangkan selama ini menjadi sia-sia dan mengarah kepada kemunduran.
“Kalau pemerintah selalu bersikap represif terhadap pihak yang berbeda pandangan dan yang menyampaikan kritik, maka demokrasi di negara kita akan mati,” ujar Susanto.
Baca: Amnesty: FPI Dibubarkan Sepihak, Kebebasan Sipil Semakin Tergerus, UU Ormas Harus Diubah
Senada itu, Abdussalam, Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Pusat juga menambahkan, pembubaran ormas FPI jelas-jelas memunculkan wajah otoriter.
“Negara demokratis mana yang dengan cara kasar seperti ini ketika ada golongan yang kritis terhadap pemerintah. Jelas sekali cara-cara seperti ini hanya menampilkan wajah otoriter yang sesungguhnya,” kata Abdussalam menambahkan.
“Ormas adalah salah satu unsur demokrasi yang harus dihormati keberadaannya. Jikalau Pemerintah bisa sesuka hatinya memilih mana yang boleh mana yang tidak, maka dipastikan unsur demokrasi di negara kita sudah pincang sebelah,” pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dan enam kementerian dan lembaga terkait telah mengumumkan bahwa Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB).
Diketahui SKB tersebut ditandatangani oleh enam menteri dan lembaga dengan Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI itu, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar.
Adapun pembacaan tujuh butir poin SKB itu diwakilkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej.
“Bahwa untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika,” kata Edward Omar di kantor MenkoPolhukam, Jakarta, Rabu (30/12/2020) siang.
Pertama, kata Edward Omar, pemerintah menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan.
Baca: Pemerintah Bubarkan FPI, Wartawan Diusir dari Petamburan III
Kedua, meski Front Pembela Islam sebagai organisasi kemasyarakatan telah bubar namun pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.
“Ketiga, melarang penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum NKRI,”tuturnya.
Keempat, apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, aparat penegak hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam.
Kelima, kata dia, meminta kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dan juga untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum setiap kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam.
Keenam, lanjut dia, Kementerian dan Lembaga yang menandatangi Surat Keputusan Bersama ini agar melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Ketujuh, Keputusan bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2020,” ucap Eddy menegaskan.*