Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Sejak tahun 2014 simbol Tiga Jari, dipakai sebagai simbol perlawanan para aktivis pro demokrasi dan mahasiswa di Thailand. Perlawanan atas militer yang menodai demokrasi dengan memilih jalan kudeta.
Para demonstran dengan yel-yelnya, maupun yang hanya diam terpaku, duduk manis tapi dengan jumlah massa yang banyak. Dengan tangan diangkat, tidak dengan mengepal tinju, tapi hanya tiga jari ditelunjukkan ke atas.
Tiga jari itu menjadi simbol para demonstran dalam memprotes kesewenang-wenangan. Simbol Tiga Jari itu, setidaknya akhir-akhir ini lebih populer dibanding kepal tangan.
Apa makna simbol Tiga Jari itu, tidak ada yang bisa menjelaskan dengan pasti. Tapi jika kepal tangan pastilah maknanya kemarahan, dan akan melawan bahkan dengan kekerasan.
Tapi yang jelas simbol Tiga Jari itu awalnya diilhami dari film The Hunger Games. Sebuah film fiksi, diadaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Suzane Collins.
Film ini dirilis tahun 2012, dan termasuk film box office. Didalam film itu simbol Tiga Jari dimunculkan sebagai bentuk protes atas kesewenang-wenangan.
Simbol Tiga Jari, atau disebut sebagai Three Finger Salute. Dan itu pada jari tangan kiri, yakni pada jari telunjuk, jari tengah dan jari manis, yang diangkat ke atas.
Simbol Tiga Jari itu, bisa juga diserupakan dengan frase Revolusi Perancis, yaitu tentang kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan. Sebuah bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan rezim otoriterian.
Maka simbol Tiga Jari dari film fiksi itu lalu dipakai para demonstran di Thailand pada 2014, dan juga pada aksi-aksi demo yang dilakukan setelahmya. Itu diawali oleh seorang tenaga medis, yang mempopulerkan awal, lalu menggelinding dan diikuti lainnya.
Simbol Tiga Jari itu bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan militer yang melakukan kudeta. Dan militer Thailand kerap melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Bisa disebut langganan kudeta.
Simbol Tiga Jari itu, saat-saat ini menular dan dipakai para demonstran di Yangon, ibu kota Myanmar, sebagai bentuk protes pada militer yang mengkudeta Presiden Win Myint, dan menangkap Aung Sang Suu Kyi.
Simbol yang Menggerakkan
Simbol-simbol terus dimunculkan dalam aksi demonstrasi atas kesewenang-wenangan, penelikungan demokrasi, kesetaraan dan HAM.
Maka simbol bisa dengan gerakan tangan yang menghunjam ke langit. Tapi ada aksi demonstrasi dengan simbol warna pakaian yang dikenakan, sebagai penanda dari kelompoknya, dan bisa dimaknai akan tujuan dari aksi itu dilakukan.
Saat menjungkalkan rezim diktator Ferdinand Marcos, dan itu dimulai dari terbunuhnya tokoh oposisi yang mengasingkan diri ke Amerika Serikat, Benigno Aquino Jr, (1980).
Pada 21 Agustus 1983, saat ia balik ke negerinya, dan tengah turun dari tangga pesawat, ia tersungkur oleh tembakan yang menghantam kepalanya. Mati seketika.
Lalu oposisi yang tadinya berserakan cuma kelompok-kelompok kecil, lalu bersatu menjadi kekuatan dahsyat melawan tirani Marcos.
Monina Alarey Mercado, dalam An Eyewitness History People Power: the Philippine Revolution of 1986 (1987), melukiskan semangat kekuatan rakyat melawan kediktatoran Marcos hingga menumbangkannya. Inilah yang lalu dikenal sebagai gerakan people power.
Juga dikenal pula sebagai Revolusi Kuning, karena ratusan ribu massa yang mengepung Malacanang, istana tempat Marcos bertempat tinggal. Massa hanya duduk-duduk manis saja berhari-hari. Menampakkan pemandangan lautan manusia dengan pakaian kuning yang dikenakan.
Baju kuning itu merupakan simbol perlawanan. Sampai Marcos dan sang istri, Imelda Marcos, meninggalkan istananya, kalah dalam pemilu yang dipercepat, 1986, dan memilih Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, sebagai tempat tinggalnya, sampai ia meninggal di sana.
Corazon Aquino, janda mendiang Benigno Aquino Jr, disumpah sebagai presiden Filipina menggantikan Marcos. Dihadiri oleh pendukungnya yang memakai pakaian serba kuning, simbol perlawanan.
Ada pula Revolusi Payung Kuning, itu di Hong Kong, jadi simbol perlawanan. Dipilih payung warna kuning, bisa jadi agar warna itu bisa dikenali, dan memang jadi tampak indah dipandang mata. Apa guna memakai payung, itu untuk menghindari gas air mata, yang disemburkan pihak keamanan.
Dipadu dengan baju warna hitam. Warna hitam dipilih dalam aksi Hong Kong, itu sebagai lambang berkabung dan duka. Mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan diadakannya pemilu bebas, dan tuntutan atas berbagai reformasi demokratis di metropolitan Hong Kong.
Sedang kelompok yang mendukung wali kota pro Beijing, memilih warna putih untuk membedakan diri. Jumlahnya tentu tidak sebanyak lawannya.
Saat pemuda Afro-America, George Floyd, yang tewas akibat lehernya ditindih lutut polisi kulit putih di Minnesota, AS, (25 Mei 2020). Maka bukan saja di Amerika suasana kemarahan itu muncul. Tapi juga di belahan dunia lainnya.
Dikenal dengan aksi Blacks Lives Matter. Dunia marah dan menggugat kematian seorang anak manusia, yang kebetulan berkulit hitam. Aksi demo di mana-mana, dan cenderung rusuh. Banyak dari warga kulit putih yang lalu menghitamkan wajahnya ikut dalam protes itu.
Menghitamkan wajah lalu menjadi simbol perlawanan atas ketidakadilan dan hak asasi manusia. Tapi bertolak belakang dengan nasib 6 laskar eks FPI, yang mati mengenaskan dini hari tanggal 7 Desember 2020, ditembak oknum polisi dalam peristiwa Km 50 Jakarta-Cikampek, yang itu tidak disikapi protes massal, sebagaimana George Floyd.
Protes massal atau demonstrasi, pada kasus apa pun, itu diperlukan dalam upaya menuntut keadilan, dan agar peristiwa yang sama tidak terulang. Undang-undang pun membolehkan.
Aksi 411 dan 212 (2016) di Jakarta, oleh umat Islam atas pelecehan ayat dalam kitab suci al-Qur’an, oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bisa dikatakan aksi dengan simbol yang ditampakkan. Baju putih-putih, dan bendera Rasulullah Ar-Rayan dan Al-Liwa berkibaran. Aksi yang konon diikuti jutaaan manusia dari pelosok negeri.
Itulah bentuk pressure setelah jalan pendekatan lainnya tidak juga mendapat respons selayaknya. Karenanya aksi itu dilakukan. Dan membawa Ahok ke penjara.
Aksi-aksi demonstrasi di manapun akan muncul jika ketidakadilan pada berbagai aspek dipertontonkan terus menerus, dan perlakuan hukum yang berat sebelah.
Kita tunggu saja apakah akan muncul lagi simbol-simbol pada aksi demonstrasi lainnya. Apa pun bentuk aksi demonstrasi, pastilah akan dicatat dalam sejarah.
Dan simbol-simbol itu pun akan terus hadir dengan berbagai bentuk, corak dan warnanya, tentu dengan masing-masing maknanya. Namun tetap diharapkan, simbol apa pun itu, akan mampu menggerakkan (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya