Hidayatullah.com—Aliansi Cinta Keluarga (AILA) menyebut penerapan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) terbaru tentang kekerasan seksual rawan “dimonopoli”. Hal itu terkait proses pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual yang dibentuk oleh panitia seleksi.
Syarat pembentukan Satgas tersebut disebutkan dalam pasal 24 ayat (4) yang berbunyi: “Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual; b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; c.pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual…”.
Kriteria tersebut, menurut AILA, berpotensi terjadinya “monopoli” pihak yang terlibat dalam penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan hanya oleh gerakan perempuan yang menjadikan feminisme sebagai paradigma perjuangannya.
“Karena gerakan feminisme itulah yang menjadikan wacana kekerasan seksual dan bias gender sebagai basis aktivismenya. Sementara banyak dari gerakan perempuan lain yang juga terlibat dalam mendampingi korban kejahatan seksual namun tidak menjadikan paradigma gender ala feminisme sebagai fondasi gerakannya rentan dimarginalkan keterlibatannya dalam upaya penanganan fenomena kejahatan seksual di dunia pendidikan ini,” ungkap AILA dalam rilis pernyataannya pada Kamis, (28/10/2021).
Termasuk juga, ungkap AILA, gerakan berbasis keagamaan yang tidak secara tersurat menjadikan wacana gender dan kekerasan seksual sebagai basis gerakannya juga rentan untuk dimarjinalkan keterlibatannya dalam mengatasi problem kejahatan seksual di dunia pendidikan saat ini.
Dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, papar AILA, Permendikbud Ristek ini tidak memberikan ruang yang memadai terlibatnya peran keluarga serta penguatan nilai-nilai moral dan agama di lingkungan pendidikan tinggi.
“Padahal tidak bisa dipungkiri, keluarga beserta penanaman nilai moral dan agama memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan sekaligus penanganan terjadinya kejahatan seksual.”
Sementara, dalam pasal 6 ayat (2) disebutkan : “.. mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian”. Terkait hal ini, AILA menyatakan semestinya keluarga dan lembaga keagamaan harus memiliki peran aktif dalam memastikan bahwa Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual adalah modul yang disusun dengan landasan filosifis yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama yang dianut oleh Bangsa Indonesia.
“Hal ini perlu ditegaskan, mengingat modul pendidikan seksual komprehensif (Comprehensif Sexuality EducationCSE) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara global.”
Padahal modul CSE berdasarkan kajian kritis yang dilakukan oleh AILA Indonesia dan berbagai gerakan pro keluarga di seluruh dunia hanya akan membentuk paradigma peserta didik terkait seksualitas ke arah kebebasan seksual berbasis konsen.
Oleh karena itu, AILA pun menyerukan agar Permedikbud no 30 tahun 2021 yang ditandatangani Mendikbud pada tanggal 31 Agustus dan berlaku mulai pada 3 September 2021 tersebut direvisi. “Kami berharap agar Permendikbud no 30 tahun 2021 tersebut dapat direvisi atau digantikan dengan aturan baru yang lebih sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan yang Maha Esa dan juga konsep kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” ungkapnya.*